Oleh: Aven Hadut
Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT
Kemajuan teknologi yang melejit begitu cepat memberikan banyak kemudahan untuk manusia. Teknologi yang merupakan manifestasi peradaban seakan berdampingan dengan manusia itu sendiri. Mereka saling bersebelahan. Ia hadir untuk menjawabi kebutuhan manusia. Salah satunya ialah kebutuhan akan komunikasi.
Komunikasi merupakan kebutuhan dasar manusia. Sebagai kebutuhan dasar manusia, komunikasi adalah sesuatu yang bebas. Manusia memiliki kebebasan dalam hal berkomunikasi, berpendapat, dan mengekspresikan kualitas diri. Kebebasan ini justru mendapat ruang baru dengan kehadiran teknologi, terutama media berbasis digital.
Media ini membuka peluang yang mumpuni bagi manusia untuk menyuarakan aspirasi, argumentasi, pendapat, dan segala sesuatu yang mau ia sampaikan. Namun, manusia salah kaprah dalam menggunakan kebebasannya tersebut. Dengan media berbasis digital, ia memacu kebebasannya seakan tak terikat dengan segala sesuatu yang ada di sekitarnya.
Kebebasannya berupa pendapat, opini, dan informasi disampaikan begitu saja tanpa melihat konsekuensi dan hanya berdalih pada kebebasan subjektif. Oleh karena itu, fenomena hoaks, kebohongan, dan manipulasi memuncak ke permukaan ruang publik.
Aspek kenyataan, kebenaran, dan transparansi suatu persoalan diabaikan atau dipoles dengan kepentingan tertentu. Hoaks bertebaran di berbagai tempat di dalam media berbasis digital. Seorang individu memperoleh secara pribadi sebuah informasi, berita, dan lain-lain.
Semua itu ditafsirkan secara individual dan menolak kebenaran di luar dirinya. Dengan latar belakang fanatisme, seorang individual memproklamasikan kebenaran versi subjetifnyadan membungkam kebenaran dari luar.
Fenomena Hoaks
Dalam definisi Ireton, Posetti, dan UNESCO, hoaks merupakan berita palsu yang yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu (dalam Janner Simarmata dkk, 2019:3).
Dari sini, terlihat bahwa hoaks tak lain adalah suatu penyesatan. Penyesatan tersebut bukan sekadar berangkat dari realitas yang tak ada sama sekali, melainkan bertumbuh dari kenyataan yang diputarbalikkan.
Isu yang diangkat barangkali sungguh-sungguh ada, tetapi pemberitaannya dibungkus dalam suatu distorsi data dan fakta. Akibatnya, semua itu melahirkan suatu informasi yang tidak hanya bias makna, tetapi juga mirip dengan informasi yang natural nyata dan benar.
Pellegrini berpendapat (dalam Janner Simarmata dkk, 2019:3) bahwa hoaks merupakan sebuah kebohongan yang dikarang sedemikian rupa oleh seseorang untuk menutupi atau mengalihkan perhatian dari kebenaran, yang digunakan untuk kepentingan pribadi, baik itu secara intrinsik maupun ekstrinsik.
Hoaks bukanlah sesuatu yang benar-benar baru hadir beriringan dengan pesatnya perkembangan teknologi. Namun, ia adalah sesuatu yang hadir jauh sebelumnya sejak Johannes Gutenberg menciptakan mesin cetak pada tahun 1439 (Janner Simarmata dkk, 2019:3).
Meskipun teknologi itu masih bertaraf sederhana, hoaks sudah hadir bersamaan dengannya. Di sini, teknologi tercipta seakan-akan memberdayakan hoaks itu sendiri. Ia merupakan sesuatu yang lengket dengan teknologi.
Perkembangan teknologi yang jauh lebih maju secara pasti menambah kapasitas hoaks di dalamnya. Pada akhirnya, teknologi khususnya media digital menjadi gudang informasi yang saling tercampur antara yang benar dan yang tidak benar, yang sesuai fakta dan yang hanya asumsi tak berdata.
Misalnya di Indonesia, terdapat lima situs penyedia layanan hoaks dan ujaran kebencian yang terungkap setelah pilpres 2014, yaitu (1) saracennews.com; (2) postmetro.co; (3) nusanews.com; (4) portalpiyungan.co; (5) NBCIndonesia.com.
Di samping itu, data yang dirilis oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada Februari 2017 menunjukkan konten hoaks paling banyak diterima publik melalui media jejaring sosial, seperti facebook, twitter, Instagram, path, line, whatsapp, dan telegram,yaitu sebanyak 92,4 %.
Selain media sosial, penyebaran konten hoaks juga mengandalkan platform media baru yang lain, seperti aplikasi chat sebanyak 62,8%, email 3,1%, dan situs web 34,9% (Mathias Banusu, 2019:5).
Sementara itu, per Februari 2021, KOMINFO menunjukkan ada sekitar 800.000 situs penyebar hoaks (Mikael Niman, 2021). Data ini memperlihatkan bahwa hoaks semakin menumpuk dalam media digital.
Kapasitasnya yang begitu besar manjadi ‘racun’bagi informasi yang sesungguhnya. Di sana tidak ada verifikasi, tak ada pemisahan, dan tak ada batas antara kebenaran dan kepalsuan/kebohongan.
Janner Simarmata dkk (2019:21-22) berpendapat bahwa tujuan orang-orang memproduksi hoaks ialah untuk membuat keresahan, kekacauan, dan konflik. Tujuan ini dikemas dalam suatu selubung kata-kata yang menarik dan berdaya untuk memikat pembaca tanpa terlihat kepalsuannya.
Usaha penipuan dan pengelabuan ini tentu tak secara gamblang diperlihatkan kepada pembaca. Ia dibuat dengan langkah awal agar pengelabuan itu dapat sampai kepada sasaran. Oleh karena itu, ia diproduksi menyerupai kebenaran yang ada dengan memanipulasi data.
Imbasnya ialah pembaca tak mampu mengenal informasi yang benar atau informasi yang salah. Ia terjebak dalam suatu ambiguitas informasi yang ada. Ambivalensi ini merupakan bagian dari motif hoaks. Ia tercipta untuk melahirkan kebingungan dalam diri pembaca.
Khususnya, pembuat hoaks berusaha mengalihkan perhatian kaum akademisi dengan kebenaran-kebenaran atau fakta-fakta yang sudah dimanipulasi. Kaum akademisi yakin kebenaran atau fakta yang mereka peroleh dari media sosial merupakan fakta/kebenaran yang sesungguhnya. Ternyata tidaklah demikian. Kebenaran/fakta sesungguhnya berada di balik selubung kebenaran/fakta yang sudah dimanipulasi.
Apabila kesadaran dan nalar kritis kaum akademisi tidak bisa membedakan kebenaran/fakta yang sesungguhnya dari kebenaran/fakta yang dihasilkan lewat proses manipulasi, nalar kritis mereka kehilangan daya gigitnya.
Ataupun kalau nalar kritis masih ada, ia mudah dimanipulasi oleh kebohongan/kepalsuan. Kalau kesadaran dan nalar kritis kaum akademisi saja mudah ditipu dan dimanipulasi, apalagi daya kritis masyarakat biasa.
Jika hoaks tersebut dapat menimbulkan ambiguitas dalam diri akademisi, dengan sendirinya orang yang tak berpendidikan atau mereka yang memiliki daya kritis yang lemah akan mudah terperangkap dalam lubang pengelabuan pencipta hoaks.
Berpikir Kritis: Perisai di Era Post-Truth
Istilah post-truth merupakan istilah yang muncul pertama tahun 1992 oleh Steve Tesich dalam tulisannya The Government of Lies dalam majalah The Nation. Steve Tesich menulis: “Kita sebagai manusia yang bebaspunya kebebasan untuk menentukan kita ingin hidup di dunia post-truth”.
Hal ini ditulis mengacu pada Perang Teluk dan Iran. Di samping itu, pada tahun 2004, Ralph Keyes, di The Post Truth Era, bersama komedian Stephen Colber, juga menyebutkan hal yang kurang lebih sama: truthiness. Kata ini merujuk kepada sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali.
Istilah post-truth mengalami puncak ketenarannya di tahun 2016. Dua peristiwa yang menjadi momentum saat itu ialah keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
Di tahun 2016, post-truth bahkan menjadi word of the year di kamus Oxford. Oxford dictionary mendefinisikan post-truth sebagai kondisi yang membuatfakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal (Kresnoadi, 2021). Era post-truth adalah era kebohongan. Kepalsuan menjelma menjadi kebenaran yang membuat ketiadaan ukuran akan yang salah dan yang benar karena keduanya hampir sama.
Era ini semakin layak disebut sebagai era pasca-kebenaran mengingat hoaks memenuhi ruang kehidupan. Melubernya produksi hoaks oleh pihak yang tak bertanggung jawab menjadikan pembaca sebagai budak hoaks. Pembaca berada dalam dunia yang mendua antara kebenaran dan kepalsuan,tetapi keduanya tak bisa dibedakan. Fakta-fakta yang sesungguhnya menjadi sulit dipahami dan tak menutup kemungkinan membawa pembaca pada suatu kesimpulan yang keliru dan tidak tepat.
Sebagaimana yang ada di dalam data KOMINFO di atas, yakni ada 800.000 situs penyebar hoaks yang membuat pembaca tak dapat berpaling dari berita bohong atau berita palsu. Mereka dapat saja berpaling dari hoaks yang satu, tetapi pengalihannya seakan memantul ke hoaks yang lain. Di era post-truth ini, pembaca berada di dalam suatu lingkaran hoaks yang berbaur dengan sesuatu yang benar.
Meluapnya berita yang berakar pada data dan fakta yang semu justru akan berdampak pada suatu anggapan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang benar. Kesamaan hoaks pada sumber yang berbeda akan berujung pada asumsi pembaca sebagai sesuatu yang benar. Dengan demikian, bukan tidak mungkin pernyataan Joseph Gobels, ahli propaganda Adolf Hitler, yakni “kebohongan yang dilakukan terus menerus akan menjadi suatu kebenaran”, bisa saja tak meleset.
Perbenturan antara yang benar dan yang menyerupai kebenaran (yang palsu) menempatkan pembaca pada suatu kondisi dilematis. Melabeli sesuatu sebagai benar begitu saja akan menggiring pembaca pada suatu kekeliruan dan penarikan kesimpulan yang salah.
Tidak adanya fondasi yang membedakan kedua hal tersebut akan membawa sasaran pada jerat kesalahan yang fatal. Maka, perlu adanya alat pembedah dalam menakar kebenaran informasi tersebut.
Pembedahan kebenaran hanya dapat dicapai oleh pembaca itu sendiri. Ia harus memiliki sesuatu yang internal untuk membedakan kebenaran dari kepalsuan. Maka, tidaklah cukup upaya menangkal hoaks hanya dengan budaya literasi dan usaha pembandingan berita dengan sumber yang lain. Mesti ada sesuatu yang mendasar dalam diri pembaca untuk mengidentifikasi kebenaran suatu informasi. Pembedah itu ialah berpikir kritis.
Berpikir adalah sesuatu yang orisinal dan otentik di dalam diri manusia. Ia merupakan sesuatu yang inheren di dalam pribadi manusia. Itulah yang membedakan manusia dengan media digital tempat hoaks merebak.
Hoaks yang merupakan ciptaan manusia mesti dilawan oleh manusia itu sendiri. Manusia mesti memicu daya kritisnya dalam menangkal hoaks. Kepalsuan yang dibawa hoaks tersebut harus dibedah dengan pisau kritis manusia sendiri. Ia harus dikaji dan diidentifikasi dengan nalar otentik manusia. Di sini, berpikir kritis memainkan perannya yang amat urgen untuk membentengi pengaruh negatif hoaks.
Halyang diciptakan oleh nalar manusia mesti dicegah pula oleh nalar itu sendiri. Sebab, berpikir kritis adalah sesuatu yang fundamental dalam memisahkan kebenaran dari kepalsuan/kebohongan. Berpikir kritis berarti mempersoalkan, menanyakan, meragukan sesuatu yang ada. Dengan keraguan itu, ada hasrat untuk mencari tahu kebenaran demi mencapai kepastian.
Mengapa demikian? Sebab, hoaks tak hanya tercipta oleh perkembangan teknologi yang kian cepat tetapi juga pemanfaatan redupnya daya nalar manusia (pembaca), sehingga mudah dibodohi, disesati, dan dikelabui pencipta hoaks. Manusia yang adalah pengecap kemajuan iptek seakan dimanjakan, sehingga menimbulkan kemalasan dalam berpikir.
Mirisnya, berpikir malah dilabeli sebagai sesuatu yang kuno ketika media teknologi menyediakan segalanya. Pengaruh ini akan berkecambah pada suatu mentalitas manusia yakni mental instan.
Orang tak lagi berpikir sendiri secara kritis dan menyerahkan semuanya pada kemajuan teknologi. Di sinilah celah hoaks menyelinap dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, pembentengan hoaks dengan menstimulus kemampuan berpikir kritis manusia dapat menutupi keberhasilan intensi pencipta hoaks.
Dengan demikian, di era post-truth seperti ini, berpikir kritis sangat perlu untuk dihadirkan. Dengan berpikir kritis, informasi yang diterima tak hanya dilandasi dengan akal sehat, tetapi menerobos lebih jauh ke dalam kebenaran faktual atau kebenaran yang otentik.
Jadi, berpikir kritis harus menjadi perisai di era pasca-kebenaran ini. Sebab, ia merupakan akar utama yang perlu dimiliki oleh setiap orang dalam menghadapi era post-truth, era yang penuh dengan kebenaran yang palsu atau hoaks.
Berdasarkan ulasan-ulasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kita saat ini sangat membutuhkan perisai berpikir kritis. Dalam hal ini, semua orang perlu memiliki perisai berpikir kritis dalam membaca, menginterpretasi, dan menilai segala sesuatu yang ada di media digital.
Dengan demikian, perisai berpikir kritis dapat membantu kita untuk menghindari diri dari hal-hal yang destruktif di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.