Oleh: Oktavianus Baylon
(Mahasiswa STFK Ledalero, Tinggal di Biara Scalabrinian-Maumere)
Demokrasi ialah rahim dan ruang fundamental bagi negara demokratis. Sebagai negara demokratis, semua masyarakat mesti memelihara eksistensi demokrasi. Demokrasi mencakup maksud dan tujuan yang sangat luas dan kompleks. Apalagi kita (Indonesia) mempunyai jamak penduduk, di sini dinamika demokrasi hadir karena dalam demokrasi itu berkaitan dengan kegunaan banyak orang.
Menurut Abraham Lincon seorang cendekiawan Amerika Serikat, demokrasi ialah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Itu berarti bahwa demokrasi mesti dipergulat dan diteguh oleh rakyat yang luas tanpa terkecuali siapapun. Kemudian demokrasi secara keseluruhan mesti dibawah kontrol rakyat itu sendiri.
Ketika rakyat pesimis dan tidak punya otoriter, maka demokrasi tentunya tenggelam dalam situasi yang gelap. Artinya demokrasi akan berproduktif bila rakyat mepredikatkannya secara rekonstruktif.
Di Indonesia, rakyat dilihat sebagai subjek sekaligus objek prima dalam menjalankan demokrasi itu sendiri.
Rakyat, dari golongan manapun mesti partisipatif aktif dalam demokrasi dan berorientasi untuk merehabilitas suatu Negara menuju ke Negara yang peradaban.
Di era globalisasi hari ini, demokrasi dijadikan ruang fundamental dan urgensi sebagai awal pembentukan untuk menuju Negara yang maju dan unggul.
Lebih lanjut, kemurnian demokrasi kita tergantung pada cara kerja dari seorang pemimpin. Pemimpin mesti agen utama dan prima dalam memegang kunci kemajuan suatu negara karena sebagai negara yang berdemokratis.
Seharusnya orientasi seorang pemimpin ialah bagaimana merekonstruksi suatu negara menjadi negara yang produktif, kreatif dan inovatif.
Sehingga dengan demikian, bisa bersaing dengan dunia global. Maka itu, sejak awal ketika demokrasi dibentuk, tujuan utamanya bukan sekedar melahirkan pemimpin, melainkan mesti membentuk dan mengudkasi guna memproduktif pemimpin yang bobot.
Sebenarnya bagian utama pelaksanaan demokrasi ialah praksis politik. Aristoteles dijuluki sebagai perintis ilmu politik, menyebutkan bahwa politik ialah ilmu yang paling tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu lainnya.
Alasan utamanya, karena tujuan dan target akhir politik ialah bagaimana menyelenggarakan kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang sehat, sehingga semua warga merasa dilindungi, diperhatikan dan dibela hak-haknya untuk tumbuh menjadi pribadi yang sehat sesuai minat dan bakatnya. Namun, pernyataan demikian seringkali bahkan tidak pernah dibenarkan oleh masyarakat kita (Indonesia).
Tindakan seperti korupsi, nepotisme, diskriminasi, kepentingan egoistik dibanding kepentingan kommunal, dan money politic masih dilakukan baik rakyat jelata maupun para petinggi negara.
Dapat dikatakan bahwa ternyata praksis demokrasi kita cenderung introvert berenang di air keruh sehingga terjadinya kontaminasi (pencemaran) demokrasi.
Kontaminasi Demokrasi Indonesia
Sebagai warga negara demokratis, kita tentu merindukan demokrasi bersih dan murni.
Dari segi permainan politik misalnya, pasca-pemilihan umum mesti menerapkan pemilu yang bertandaskan Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil atau populer disebut dalam dunia politik kita yaitu LUBERJUDIL.
Namun, itu hanya semboyan semata ketika banyak kandidat melakukan kongkalingkong dalam mempersuasif suara rakyat. Bahkan lebih dari itu, suara rakyat mesti diperbelikan. Sehingga apa yang disebut money politic (politik uang) ternyata masih direalisasikan dalam permainan politik kita (Indonesia) sampai hari ini.
Politik uang dijadikan meriam utama para politisi bertempur di dunia politik guna memanen suara terbanyak.
Bentuk pencemaran lain demokrasi kita ialah problematik koruptif masih begitu tertanam dan merajalela di pelbagai pelosok tanah air. Baik tingkat lokal maupun tingkat sentral.
Pelaku koruptif bahkan rakyat kecilpun terlibat. Lebih lanjut, mentalitas seorang pemimpin seringkali mementingkan keegoisitas ketimbang mementingkan masyarakat secara kommunal.
Hal ini terbukti bahwa ternyata eksistensi pancasila sebagai dasar negara Indonesia masih diseleweng dan disangkal. Lebih tragisnya diabaikan. Sila keempat pancasila tentang keadilan sosial terbukti diiasingkan sampai hari ini. Kementalitas korupsi hingga terciptanya ketidakadilan.
Dengan demikian, pembangunan di daerah tertentu, baik pembangunan kemanusiaan maupun infrastruktur menjadi tidak merata, bahkan dinomorduakan. Maka yang ada hanyalah kepentingan individualistik. Sehingga problem kemiskinan belum tuntas dan jumlahnya malah meningkat.
Sesungguhnya perubahan politik pada 24 tahun lalu saat reformasi terjadi tahun 1998 memberikan harapan besar bagi upaya pemberantasan korupsi dan upaya untuk memajukan demokrasi Indonesia.
Tentu saat ini setelah rezim orde baru jatuh rakyat menghendaki korupsi diberantas, pada saat yang sama rakyat juga berharap demokrasi Indonesia berkualitas dan murni.
Nyatanya, saat ini demokrasi Indonesia justru makin terpuruk. Hal ini disebabkan karena permainan politik kita masih mengedepankan mentalitas koruptif.
Selain masalah-masalah di atas, terjadinya pencemaran demokrasi kita juga bisa dilihat dari segi kehidupan sosial lainnya. Seperti diwarnai dengan multi-praktik sewenang-wenang yang dilakukan baik oleh petinggi maupun rakyat jelata sendiri.
Tindakan nepotisme, diskriminasi, egoistik, terorisme, dan kekerasan seksual masih berpangku di tanah air. Selain itu, seringkali kelompok minoritas dibelakangi dari kelompok mayoritas. Sikap prejudice dan etnosentrisme masih membekas di antara masyarakat.
Melihat pelbagai problematik di atas, masyarakat mesti sadar dan kritis akan pelbagai pola atau cara kinerja kepemimpinan seorang leader. Bukan tidak mungkin, pemimpinlah yang menjadi garda utama dalam suatu wilayah atau Negara guna mengayomi rakyatnya. Karena itu, masyarakat mampu menjeli melihat cara kerja seorang pemimpin, apakah bisa mengatasi persoalan-persoalan di atas. Ketika pemimpin kurang berbobot mesti dikritik, dengan alasan bahwa bertujuan untuk terciptanya leader yang kreatif, produktif dan inovatif serta punya visi yang berorientasi pada kepentingan kommunal bukan individual. Masyarakat tentu punya ruang bebas dan hak untuk melakukan pengkritikan. Sudah momennya cendekiwan-cendekiawan dari masyarakat mengkritisi atas kontaminasi demokrasi kita (Indonesia). Masyarakat yang mengkritik tentu berorientasi rekonstruktif.
Urgensi Kritik Demokrasi
Sesungguhnya kata kritik berakal dalam epistemologi tradisi filsafat. Ditilik dari akar katanya, kritik berasal dari bahasa Yunani “krineih” yang berarti memisahkan/merinci. Kritik adalah bagian dari dinamika hidup demokrasi.
Melalui kritik masyarakat berpartisipatf aktif dalam menjaga keutuhan demokrasi. Tanpa kritik demokrasi berubah menjadi tirani. Akan tetapi, ketika kritik yang bersifat kikis, akan menghambat praksis demokrasi itu sendiri.
Dalam dinamika demokrasi-politik, para kandidat atau mereka yang sudah duduk di atas kursi kemenangan mesti mampu membuka diri agar siap dikritik. Lebih intens, harus mampu mengakui dan menerima adanya kritik dari publik.
Seperti Li Lu, seorang cendekiawan sekaligus aktivis pejuang demokrasi china, sebelumnya mengatakan, “seorang pemimpin sejati harus siap untuk gagal, kecewa, frustasi, dikritik, dikecam, bahkan difitnah. Jika seorang takut mengalami atau menghadapi itu semua, berarti orang itu belum siap untuk menjadi pemimpin”.
Lebih lanjut, mengenai kritik itu urgen penulis sangat mendukung pernyataan Frano Kleden dalam opininya di mana kritik dibutuhkan karena beberapa alasan berikut. Pertama, kritik penting untuk proses pemberdayaan manusia (self-formative process).
Kritik berperan sebagai refleksi diri yang menghasilkan emansipasi dan pencerahan dalam proses pembudayaan manusia dalam komunitas.
Kedua, kritik diperlukan karena kebenaran bukan monopoli (satu orang). Ketiga, kritik adalah pelopor kemajuan komunitas. Kemajuan tidak akan mungkin terjadi seandainya situasi manusia tetap sama.
Kritik terhadap eksistensi demokrasi sangat kompleksitas dan punya implikasi yang sangat luas karena mencakup pelbagai lini kehidupan sosial masyarakat. Maka itu, lini apa yang ingin dikritik mesti terlebih dahulu melihat secara intensif di mana letak kekurangannya.
Karena itu, tidak mengherankan bila ingin menjadi kritikus demokrasi dibutuhkan tekat yang kuat dan punya otoritas tanggung jawab yang tinggi.
Karena dinamika demokrasi kita (Indonesia) juga dijuluki sebagai demokrasi yang cemar, maka segala macam bentuk kritik urgen diadakan.
Kritik terhadap demokrasi kita bukan soal rendahnya eksistensi atau value urgensi demokrasi itu sendiri. Ini menyangkut kritik terhadap sistem kerjanya para petinggi rakyat atau mereka yang menduduki kursi kemenangan setelah permainan politik. Bahkan penulis sangat setuju ketika penetapan demokrasi menjadi identitas bangsa.
Kemurnian demokrasi kita tergantung pada cara kerja dari seorang pemimpin. Pemimpin mesti agen utama dan prima dalam memegang kunci kemajuan suatu negara karena sebagai negara yang berdemokratis.
Seharusnya orientasi seorang pemimpin ialah bagaimana merekonstruksi suatu negara menjadi negara yang produktif, kreatif dan inovatif. Sehingga dengan demikian, bisa bersaing dengan dunia global.
Maka itu sejak awal ketika demokrasi dibentuk, tujuan utamanya bukan sekedar melahirkan pemimpin, melainkan mesti membentuk pemimpin guna menghasilkan pemimpin yang bobot.
Indonesia, negara yang sangat tinggi value demokrasi karena merupakan salah satu identitas bangsa. Sebagai identitas bangsa, demokrasi seharusnya dijalankan pada jalan yang benar sebagaimana orientasi demokrasi itu sendiri.
Oleh sebab itu, tindakan kritik akan sangat urgen dihadirkan bagi siapapun yang ingin mengkritik. Tetapi kritik harus dilakukan kritikus yang hebat. Kritikus dapat benar kritikannya kalau sesuai posisi dan alur yang benar.
Akhirnya, kritik menjadi urgen apabila kritik yang berorientasi rekonstruktif. Kritik yang membangun otomatis dapat mentransformasi negara menjadi maju dan unggul, karena berhasil melahirkan dan membentuk pemimpin yang kredibel.
Bukan tidak mungkin, kita pasti merindukan pemimpin yang sejati. Pemimpin sejati tentu lahir dari demokrasi dan kembali ke dalam demokrasi untuk melakoni suatu bangsa yang kompleks.
Maka itu, kritik salah satu bagian dari dinamika masyarakat sebagaimana bentuk partisipatif guna menghasilkan seorang pemimpin yang ideal dan kreatif demi mengagungkan bangsa.