Oleh: Lasarus Jehamat
Peneliti Teras Demokrasi Indonesia (TDI);
Koordinator Pusat Studi Kebudayaan dan Pariwisata Undana
Masyarakat NTT dikenal kaya akan budaya. Masyarakat daerah ini berlimpah varian atraksi dan lakon budaya. Praksis budaya NTT ada sejak lahir sampai setelah kematian. Dengan demikian, siklus hidup manusia NTT koeksisten dengan budaya.
Eksistensi dan praksis budaya di NTT dan banyak kelompok masyarakat dapat dijelaskan dengan teori koeksistensi; bahwa ada hubungan erat antara manusia dan budaya yang dilahirkannya. Di mana ada manusia di situ ada budaya yang dihasilkannya.
Sebaliknya. Setiap produk budaya pasti memiliki pencipta budaya yang mangadakan dan menghadirkannya.
Dalam perkembangan, beragam praksis budaya itu dikonversi menjadi aset secara ekonomis.
Untuk tujuan itu, tradisi dan budaya secara umum, dipublikasikan untuk tidak menyebut dijual ke publik. Tujuannya, agar aset itu tidak tidur; modal menjadi tidak mati (de Soto, 2001).
Pemerintah bersama elemen lain kemudian mendorong masyarakat untuk mempromosikan budaya masing-masing.
Maka, berbagai festival budaya dilakukan di mana-mana di banyak daerah. Meski, banyak pula daerah yang apatis dan diam tak berbuat apa-apa.
Turunan dari situ, beberapa daerah kemudian bergerak untuk menjaga peradaban budayanya. Desa yang memiliki ciri kekhususan budaya kemudian dijadikan desa wisata.
Meski, lagi-lagi, saya tidak terlalu setuju dengan konsep dan frasa ‘desa wisata’. Sebab, desa wisata merupakan implikasi logis dari ciri budaya sebuah desa.
Oleh karena itu, yang paling tepat sesungguhnya ‘desa budaya’. Desa budaya adalah desa yang menyimpan aset budaya.
Bahwa aset itu laik dijual, silakan. Namun, dalam logika bisnis, agar aset itu bisa dijual, aset itu diberi merk atau brand. Maka, karena kekayaan budaya, sebuah desa yang unik tersebut diberi merk dagang, desa wisata.
Minus Budaya Wisata
Pertanyaan kritis kemudian ialah apa yang kurang dari keberadaan desa wisata? Sepintas, setelah sebuah daerah secara otoritatif menjadikan sebuah desa sebagai desa wisata, urusannya hanya seputar cara menaikan pendapatan asli desa dari keberadaan desa wisata.
Atau, jika sedikit agak ideal, keberadaan desa wisata sedapat mungkin membangkitkan gairah budaya kaum muda dan generasi milenial. Jika perkara itu terwujud, semuanya beres.
Padahal, ada soal besar lain yang laik diperiksa di sana. Gugatan utamanya ialah apakah produk kebijakan kita hanya sampai pada pembentukan baik regulasi maupun praksis wisata budaya? Jika itu yang terjadi, kita semua sesungguhnya sedang dan tengah dibuai oleh kekuatan lain di luar batas kesadaran kita.
Sebab, menurut saya, yang paling penting dalam perubahan status desa, dari desa biasa ke desa wisata atau desa budaya, bukan hanya soal wisata budaya tetapi budaya wisata.
Kelemahan dasar kebijakan pariwisata kita selama ini ialah absennya membangun budaya wisata masyarakat.
Hal itu dapat dilihat dari cara pandang masyarakat melihat pariwisata. Dalam sebuah riset tak terduga terkait desa wisata di sebuah kabupaten, saya pernah bertanya kepada lima orang tokoh masyarakat dan pemuda.
Pertanyaannya sederhana. Apa tujuan desa wisata menurut Bapak dan Ibu? Jawaban mereka semua ialah bahwa agar budaya di desa dapat dilihat oleh orang lain dari luar desa dan karena itu masyarakat dapat mendapatkan uang dari wisatawan tersebut.
Sepintas jawaban para informan itu benar adanya. Dengan kata lain, menurut kaca mata ekonomistik, itulah sesungguhnya alasan ada dari sebuah desa wisata dan aset wisata budaya di dalamnya. Soal apakah masyarakat desa tersebut mengerti dan memahami dan oleh karena itu memraktikan budaya, jauh dari perhatian.
Padahal, budaya wisata perlu dibangun dan ditumbuhkan. Dengan begitu, masyarakat desa mengerti bahwa mereka pun laik melihat dan memahami serta memraktikan budaya itu setiap saat dan saban hari.
Dengan kata lain, budaya di sebuah desa dibuka dan diperlihatkan ke luar, bukan untuk tujuan konsumsi para wisatawan luar desa semata tetapi terutama sebagai media pembelajaran para generasi muda dan anak-anak desa.
Pengambil kebijakan di level nasional, provinsi, dan kabupaten bahkan desa harus secara serius memikirkan cara menumbuhkan budaya wisata di setiap kepala dan perilaku masyarakat.
Pemerintah jelas tidak bisa bekerja sendiri. Pemerintah di semua level harus mengajak elemen lain seperti lembaga adat, pemuda, perguruan tinggi, LSM, dan media untuk sama-sama merumuskan cara dan mekanisme menumbuhkan budaya wisata.
Budaya wisata harus benar-benar menjadi kebiasaan dan budaya masyarakat. Dengan begitu, masyarakat memiliki pola pikir yang matang tentang esksistensi budayanya dank arena itu setiap budaya laik disosialisasikan ke anak cucu.
Dalam kerangka kebijakan pariwisata, budaya wisata perlu dikembangkan karena potensi besar penduduk Indonesia yang banyak. Kita tidak bisa menolak wisatawan asing dari berbagai negara di dunia. Namun demikian, memanfaatkan kekuatan wisatawan lokal dan domestik, menurut saya merupakan usaha brilian.
Kelemahan dasar kita ialah kita hanya gemar mempromosikan wisata budaya tetapi gagal menumbuhkan budaya wisata di kalangan masyarakat kita. Kita belum terlambat. Yang dinanti ialah praksis membumikan komitmen bersama agar budaya wisata menjadi milik bersama pula.