Oleh: Vayan Yanuarius
Tinggal di Ritapiret
Literasi adalah pintu masuk peradaban dunia. Tanpa ada literasi niscaya dunia tidak akan mengalami perubahan yang signifikan. Itu artinya kita tidak bergerak ke mana-mana selain asik berada di tempat yang sama. Literasi itu hadir dalam pelbagai wajah baik melalui aktivitas membaca, menulis, berdiskusi maupun kegiatan pengembangan kapasitas intelektual lainnya.
Credo dan semboyan yang sering kali kita dengar dari guru pada masa lalu ialah buku sebagai jendela dunia. Pernyataan ini bertujuan agar para siswa harus rajin belajar untuk bisa mengetahui dunia.
Dunia yang dimaksudkan ialah tempat kita berada dan segala sesuatu yang mengitari kehidupan kita. Pembacaan terhadap realitas kehidupan sangat penting agar kita mampu beradaptasi, berinovasi, dan berkreasi.
Literasi Era Digital
Era digital saat ini hemat saya memudahkan kita untuk mengembangkan semangat literasi. Alasannya pertama, hampir semua masyarakat dari lapisan paling atas (orang-orang yang memiliki pendapatan tetap) sampai yang paling bawah (masyarakat biasa) memiliki alat teknologi seperti Handphone, laptop, komputer, televisi, radio, dan lain sebagainya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Layanan Manajemen Konten HootSuite dan Agensi Pemasaran Media Sosial We Are Social dalam tajuk “Digital 2021”.
Berdasarkan laporan itu bahwa Indonesia pada awal tahun 2021 jumlah pengguna internet sebesar 202,6 Juta jiwa.
Jumlah ini meningkat sebesar 15,5 persen atau sekitar 27 juta jiwa dari tahun 2020. Jika disandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini yakni 274, 9 juta jiwa maka pengguna atau pelaku internet di Indonesia mencapai 73,7 persen (Kompas.com, 23/2/2021).
Kedua, di era digital ini semua orang tanpa mengenal batas usia memiliki peluang yang sama untuk mengakses informasi di media sosial. Itu artinya bahwa pengetahuan kita tentang dunia dan segala realitas yang terjadi di dalamnya dapat kita ketahui bersama, entah dia seorang Presiden, DPR, Gubernur, Bupati, Guru, Dosen, petani, pemulung dan sebagainya.
Dunia seperti kampung yang dapat dijangkau dalam kurung waktu yang singkat. Jadi, era digital saat ini tidak ada informasi yang bersifat rahasia. Semua informasi yang dipublikasi di media dapat diakses oleh siapa saja.
Jika kita berpaling sedikit ke masa lalu bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih sangat terbatas. Informasi-informasi yang beredar di belahan dunia lain kadang tidak ketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.
Sehingga, kita bisa mengerti jika pengetahuan dan pemahaman orang-orang masa lalu kurang begitu dalam dan tajam (hal tidak mengakomodasi semua lapisan masyarakat pada masa lalu tetapi pada masyarakat yang rentan tidak mendapatkan informasi).
Dengan demikian, kedua alasan di atas hemat saya menjadi standar bagaimana idealnya membangun fondasi literasi yang kuat pada saat ini.
Generasi saat ini sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak mengembangkan semangat literasi. Alat-alat teknologi yang super canggih telah diciptakan dengan berbagai bentuk. Informasi-informasi yang tersedia di jagat maya sangat beragam dan memiliki kekayaan makna.
Pertanyaan ialah mengapa indeks literasi kita saat ini masih rendah? Seharusnya indeks literasi kita saat ini jauh lebih baik karena ekuivalen dengan jumlah masyarakat pengguna internet.
Kalau kita mau jujur bahwa sebagian besar masyarakat kita yang menggunakan alat-alat teknologi itu lebih asik bermain game, menonton film, dan konten-konten non-produktif disandingkan membaca informasi-informasi penting, membaca artikel ilmiah, opini-opini, diskusi-diskusi.
Sebagai bukti empiris, hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bahwa selama pandemi Covid-19 ini banyak masyarakat yang menghabiskan waktu untuk bermain game online.
Presentasinya sebesar 16,5 persen (inews.id, 23/12/2020). Hal ini berdapak pada kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Dr Siste, seorang pakar adiksi, Kepala Departemen Medik Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Cipto Manggunkusumo (RSCM) pernah mengingatkan kepada pemerintah untuk memperhatikan sekaligus mengawasi masyarakat agar tidak terjebak dalam permainan semacam itu.
“Pemaksaan” sebagai Opsi Strategis
Dalam usaha meningkatkan semangat literasi hemat saya perlu ada unsur pemaksaan.
Pemaksaan yang dimaksudkan bukan pemaksaan dalam arti kekerasan fisik (pukul, berlutut dan lain sebagainya) tetapi pemaksaan yang dimaksud ialah mewajibkan para siswa atau mahasiswa serta para guru atau pendidik untuk membaca artikel atau berita setiap hari.
Khusus untuk siswa dan mahasiswa, para pendidik mewajibkan para peserta didik untuk membaca, meringkas dan mempresentasikan hasil bacaan itu di depan kelas. Setelah itu, dilatih untuk membuat tulisan sederhana sebagai ajang latihan kepada peserta didik.
Metode pemaksaan ini hemat saya akan berafiliasi secara positif hingga menjadi kultur literasi dalam diri peserta didik.
Metode pemaksaan ini pernah saya alami waktu saya mengenyam pendidikan di Seminari St. Yohanes Paulus II, Labuan Bajo-NTT. Metode itu diterapkan pada saat kami di kelas persiapan bawah (KPB: Kelas persiapan sebelum masuk SMA). Proses persiapan selama satu tahun.
Pada masa persiapan ini ada begitu banyak hal yang kami lakukan termasuk usaha mengembangkan semangat belajar dengan menerapkan metode membaca, meringkas dan mempresentasikan di hadapan teman-teman.
Siswa yang mampu meringkas dan mempresentasikan dengan baik akan mendapat nilai yang baik pula di akhir semester.
Sehingga kami semua berpacu untuk memberikan yang terbaik. Sumber bacaan waktu itu masih sangat terbatas, ada koran Flores Pos, Pos Kupang, Kompas dan buku-buku bacaan yang tersedia di perpustakaan.
Kami tidak diperbolehkan untuk menggunakan handphone sehingga kami tidak dapat mengakses informasi lewat internet. Kami membaca opini, berita, tajuk, feature, cerpen dan lain sebagainya.
Kita bisa membayangkan saja bahwa aktivitas itu dilakukan setiap hari selama satu tahun niscaya akan sangat membantu kami untuk menanam semangat membaca.
Seperti di Seminari, metode pemaksaan ini perlu diadopsi oleh sekolah-sekolah di luar yang mungkin belum merasakan iklim akademik seperti ini.
Bahkan sangat diharapkan agar lembaga pendidikan bisa mengeluarkan regulasi yang jelas dan pasti agar peserta didik membangun kesadaran literasi sejak dini.
Apalagi, saat ini hampir semua peserta didik boleh menggunakan handphone. Jadi, informasi-informasi yang beredar di mana saja dapat diakses melalui handphone tersebut.
Perlu diakui bahwa ada begitu banyak manfaat dari pengembangan literasi terhadap pengembangan kualitas kepribadian kita, terlebih khusus pembacaan pelbagai fenomena-fenomena yang muncul di era disrupsi saat ini.
Salah satu manfaat yang sangat terasa ialah membentuk masyarakat yang kritis dan selektif dalam usaha membaca perubahan atau kemajuan dunia saat ini.
Kritis dan selektif itu bukan bersifat in se pada setiap orang tetapi dibangun atas dasar kesadaran tinggi dan komitmen yang jelas. Bagi saya dunia akan lebih baik, beradap, dan harmonis jika dibangun di atas fondasi masyarakat yang mencintai semangat literasi.
Jadi untuk sebuah kebaikan bersama (bonum commune) tidak ada kata terlambat untuk memulai. Selamat semangat literasi.*