Internasional, Vox NTT- Pelacuran sering menjadi kisah latar roman masa lalu.
Bahkan di novel-novel, latar warung atau toko pelacur sering dimuat.
“Seperti cerita oleh Pramoedya, jangan-jangan pelacuran mencetuskan suatu peristiwa yang terkenang dalam sejarah,” kata Irfan Nugraha, Tuan Rumah Yayasan Negeri Rempah saat membuka diskusi daring Ngulik Jalur Prostitusi di Pelabuhan Rempah, melansir National Geographic.
Memang, orang sungkan berbicara pelacuran.
Penggunaan istilah pelacur berkonotasi negatif jika dihubungkan dengan manusia, kata Junus Satrio Atmodjo, Pembina Yayasan Negeri Rempah.
Ia melanjutkan, pelacuran menjadi hal yang menarik untuk dibahas.
Pelacuran tidak bisa dilepaskan oleh jalur rempah.
Pelabuhan merupakan rute pergerakan seseorang dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Kita bisa membayangkan para pelaut terdahulu berbulan-bulan di atas kapal, pastinya singgah untuk memenuhi logistik.
Di situlah mula cerita pelacuran.
Pelabuhan menjadi ketersediaan kebutuhan para pelaut dan ketersediaan wanita penghibur.
“Hal yang tak bisa dipisah pada pelayaran adalah batiniah dan badaniah.”
“Di pelabuhan, ia bertemu orang berbeda dan ingin melepaskan hal-hal selama pelayaran.”
“Mereka mencari teman, pelacur itu berasal dari bahasa melayu dari kata lacur, sesuatu yang di luar sistem.”
“Pelacur adalah orang-orang di luar sistem sosial masyarakat, mereka dianggap oleh orang marjinal,” ucap Junus.
Perjalanan laut, terutama jalur khatulistiwa menurut Junus tidaklah mulus.
Badai dan ombak tinggi menerpa perjalanan.
Pelayaran bukan hanya petualangan, tetapi juga menjadi hal yang menakutkan.
Seorang pelaut membutuhkan kasih sayang, melepas kehidupan yang keras karena di kapal, hampir tidak ada waktu untuk istirahat.
Junus mencontohkan, pedagang Tiongkok abad 14 yang membagi kompartemen kapal yang diisi oleh para pedagang.
Para pedagang itu harus menjaga barang dagangannya dari kapal yang bergoyang dan gangguan tikus yang ikut ke kapal, seperti itu gambaran melaut.
Menyewa pelacur adalah cara mengembalikan diri menjadi manusia, ucap Junus.
Menyampaikan cerita-cerita yang tidak bisa diceritakan ke sesama pelaut.
Seorang pelacur tidak datang dengan sendirinya.
Banyak diantaranya diambil paksa, terutama pada abad ke-18 saat perdagangan rempah marak.
Di Jakarta misalnya, mereka yang menjadi pelacur adalah orang yang menjadi budak.
Menurut Junus, pelacuran di Jakarta memiliki hirarki.
Terutama yang lokasinya berada di dalam benteng kota, itu khusus untuk orang Belanda.
Sedangkan yang di luar benteng, seperti di pelabuhan, pelacuran dengan hirarki yang rendah.
“Ada wanita dalam dan luar tembok.”
“Dalam tembok itu yang elit, luar tembok yang agak kurang keren.”
“Dari situ muncul bordil, yang dikelola secara profesional oleh pengusaha Belanda.”
“Mereka membayar pajak, oleh karena itu sah.”
“Rumah bordil menjadi rumah kesenangan,” ucap Junus.
Junus menambahkan, pelacur yang digemari saat itu adalah yang berbadan gemuk.
Risiko penyakit tertular seperti sifilis saat itu pun sudah rawan terjadi.
Sumber: Grid.Id/Suar.Id