Oleh: Fancy Ballo
Fakta seputar Valentine atau lazim disebut-sebut Hari Kasih Sayang ini memiliki banyak versi mengenai latar belakang munculnya dan juga gaya perayaannya.
Kontroversial, ekstrim, dan atau apresiasi yang baik juga turut mewarnai kehadiran hari yang bisa dibilang sangat fenomenal ini sesuai dengan pegangan pengatahuan mereka akan Valentine’s Day.
Ada yang menilai hari Valentine mengandung unsur seksual sehingga pada kelompok masyarakat tertentu mereka sangat radikal menolak merayakannya.
Kelompok lain melihat hari Valentine sebagai penghormatan terhadap kebaktian kasih sayang sejati dan menyambut hari ini dengan sangat antusias dalam nuansa kasih sayang kekeluargaan dan persaudaraan dengan macam pernak-perniknya.
Komunitas anak muda di beberapa kota menyambut hari ini sebagai ajang untuk saling membagi dan menyatakan cinta dan kasih sayang terhadap sahabat, teman, dan pasangan mereka.
Fakta lain juga yang selalu menjadi perdebatan dalam kalangan non-kristen ialah bahwa ada dari antara mereka yang melarang dan menolak untuk merayakan hari Valentine dengan kedok perayaan ini bernuansa kekristenan.
Pemahaman tentang Valentine’s Day harus sudah bisa bergeser dari wilayah Eropa dengan segala tapak sejarah gelap-terangnya ke Asia Timur dalam ruang paham baru sesuai dengan konteks Asia pada umumnya.
Kita merayakan kasih sayang itu poinnya, jadi kita dapat mengarahkan pengertain kita tentang Valentine’s Day, 14 Februari sebagai kesempatan yang disediakan khusus untuk sejenak keluar dari aktivitas pemberian kasih sayang yang biasa setiap hari kepada momen istimewa melalui ucapan pemberian salam, pesta sebagai ungkapan syukur atas bertahannya suatu persahabatan atau relasi tertentu, saling memberikan bingkisan kado, cokelat, bunga sebagai hadiah, dan lain-lain.
Konsep Valentine’s Day seperti inilah yang kurang lebih bisa secara normal diterima dan dirayakan di Indonesia.
Orang Biara Melihat Valentine’s Day
14 Februari 2019 lalu, komunitas biara kami turut memeriahkan Valentine’s Day dengan seremonial sederhana melalui santap malam bersama dengan menu yang dihidangkan secara istimewa, acara tukar kado, dan rekreasi bersama dalam lagu dan tarian.
Semua orang bersukaria dalam warna persaudaraan dan kekeluargaan. Happy Valentine’s Day.”
Sebenarnya tidak ada hal yang perlu menjadi soal (negatif)dalam keseluruhan acara ini, semua berjalan dengan baik, lalu pada pukul 22.30 kami kembali ke kamar masing-masing dan istirahat.
Sesuatu yang mengganjal dalam benak saya, saat itu sebelum memulai acara saya mencoba menghubungi salah satu konfrater senior guna menghadiri pesta sederhana dalam nuansa Valentine ini.
Konfrater senior ini mempersoalkan acara yang telah kami siapkan, “Seandainya saya sudah tahu dari jauh hari tentang perencanaan ini, saya pasti sudah membatalkannya. Apa yang mau kalian rayakan, di Eropa orang merayakan Valentine’s Day berpasang-pasangan, dan biasanya usai pesta mereka akan saling berpelukan, berciuman, dan sampai melakukan hubungan”.
Beliau memberi penegasan lagi setelah melihat saya yang berdiri tanpa reaksi, [maklum berhadapan dengan senior biasanya akal sehat selalu tunduk, bergerak saja sudah tidak etis apalagi sampai bersuara dengan intensi membantah],“Apakah kamu juga akan merayakannya seperti itu?”.
Bukan sekadar kata-kata yang bernada tidak setuju, tetapi beliau juga menolak untuk menghadiri acara. Saya lalu hanya menyampaikan permohonan maaf, terima kasih, dan kembali ke tempat acara.
Valentine’s Day untuk Siapa?
Berhadapan dengan banyak persepsi orang tentang Valentine yang juga turut memengaruhi sikap mereka dalam menyambut hari Valentine, maka perlulah untuk mempertegas makna eksistensial dari Valentine’s Day.
Esensi dari Valentine’s Day memang perlu sebagaimana sudah tentu diketahui banyak orang yaitu perayaan kasih sayang, mengungkapkan secara simbolis atau dalam bentuk apa pun rasa sayang kepada semua orang yang dicintai dalam hidup mereka.
Yang mau disoroti soal eksistensi Valentine’s Day ialah konteks budaya di mana perayaan dilakukan saat ini, dan siapa yang turut merayakannya. Valentine’s Day memang merupakan tradisi Romawi yang kemudian diadopsi ke seluruh belahan dunia termasuk Indonesia.
Terlepas dari distorsi latar belakang dan sejarah lahirnya, kebutuhan akan kasih sayang adalah hal mendasar dari setiap manusia.
Melihat konteks dunia dewasa ini yang kian kejam dan ganas di sana sini terjadi pemangsaan antarsesama manusia, adalah baik jika momen Valentine’s Day menjadi momentum untuk mengangkat kembali hasrat kasih sayang itu dalam hati dan hidup setiap manusia.
Hidup harus saling mengasihi. Perihal tradisi prayaan Valentine’s Day yang sering kontradiksi itu, sekali lagi orang Eropa merayakan dan mengungkapkan kasih sayang dalam konteks budaya mereka yang berbeda dari konteks budaya kita.
Indonesia menarik esensi Valentine’s Day ke dalam eksistensi keindonesiaannya. Jadi, dengan merayakan Valentine’s Day bukan berarti orang Indonesia kehilangan Identitas budayanya.
Pengungkapan kasih sayang dalam konteks Indonesia, mungkin bisa secara sederhana sebagamana kisah Valentine oleh salah satu komunitas biara yang saya kisahkan di atas.
Valentine’s Day harus dirayakan dalam pengertian secara baru, merayakan pengungkapan bentuk kasih sayang terhadap orang-orang tercinta dalam bingkai budaya di mana kita berada.
Secara idealis kita merayakan esensi Valentine’s Day meskipun pada level esoterik, dengan menanggalkan aspek historis yang sejatinya masih dipengaruhi unsur-unsur paganisme yang kurang menjadi perhatian oleh banyak orang dalam mempersoalkan latar belakang lahirnya Valentine’s Day. Happy Valentine’s Day to the World and for us all.
Konfrater senior dalam kisah tadi [vide supra] membentuk pikirannya berdasarkan budaya di mana ia pernah ada dan hidup, bisa dikatakan ia gagal mengorientasi dirinya dalam lingkup budaya yang baru.
Saat ini, di sini Indonesia bukan Eropa. Di sini biara bukan pasar minggu. Sepatutnya konteks harus selalu dapat dipahami.
Dekontekstualisasi itu baik adanya, tapi tidak bisa dibawah penuh pada konteks saat ini, karena itu pergerakan pikiran harus selalu kontekstual untuk tidak menempatkan kita masuk dalam golongan konservatif.
Inilah salah satu faktor yang menjadi soal orang memandang Valentine’s Day selalu dalam kacamata negatif.
Bahkan Agama juga turut mejadi korban kepicikan dari kelompok atau golongan tertentu yang selalu menempatkan diri mereka dalam ruang tanpa dosa, selalu merasa superior dari yang lain.
Penilaian kontroversial dan ekstrim terhadap perayaan Valentine’s Day, harus segera ditepis dari dunia yang sedang gencar memproklamasikan, toleransi dan cinta damai ini.
Valentine’s Day merupakan Hari kasih Sayang semua umat manusia yang juga momentum menggalang perdamaian dunia. Happy Valentine’s Day.