Oleh: Markus Makur
Saya tak akan lelah untuk berkeliling di pelosok sambil mengumpulkan cerita dan kisah humanis di kampung. Banyak cerita humanis di kampung yang diabaikan. Disisihkan. Dilupakan. Disingkirkan. Dipinggirkan.
Ini sebuah panggilan profesi sebagai seorang wartawan. Menjadi seorang pewarta tidak harus berada di perkotaan. Banyak juga kisah kehidupan manusia di perkotaan.
Saya tak akan bosan mengangkat kisah miris kehidupan manusia yang menderita di pedalaman.
Saya diutus di tempat-tempat terjauh untuk menggali dan mengumpulkan cerita miris yang dialami manusia yang memiliki keistimewaan dari makhluk lain yakni akal budi. Misi humanis seperti nafas kehidupan.
Selagi detak jantung terus berdenyut, misi humanis menjadi yang utama dalam kehidupan.
Kali ini saya mengangkat jejak telapak kaki saat hati nurani menggerakkan saya untuk bertolak ke pelosok dimana saya tinggal.
Kamis (27/1/2022), saya bertolak dari tempat tinggal saya di daerah perbatasan antara Kabupaten Manggarai Timur dan Ngada. Tepatnya di Kota Waelengga, Ibukota Kecamatan Kota Komba.
Hari itu saya bangun agak pagi karena saya harus menempuh perjalanan jauh. Jam 06.30 Wita, saya sudah sarapan, dilanjutkan mandi pagi dan memakai baju dan celana yang cocok dengan kondisi di lapangan.
Saya biasanya naik angkutan pedesaan rute Waelengga-Borong. Ada angkutan pedesaan menjadi langganan saya saat saya bepergian ke Kota Borong.
Nama angkutan pedesaan itu, Bemo Cahaya Surya. Sopir bemo pedesaan itu adalah Om Nobi Cahaya Surya, biasa disapa Om Bro Cahaya Surya.
Saya dan keluarga kami sudah menganggap Om Bro sudah sebagai keluarga, sebab saat kami sekeluarga berpergian ke Kampung Wajur, Desa Wajur, Kecamatan Kuwus Barat di Manggarai Barat, di Kampung Waekolong, Desa Ranakolong, Kabupaten Manggarai Timur atau ke Maumere, Labuan Bajo dan tempat lain di Pulau Flores, kami selalu menyewa mobilnya.
Om Nobi sangat ramah, bersahabat, akrab, humoris, lucu.
Pagi itu saya dan Om Bro agak terlambat ke Kota Borong karena kami menunggu penumpang lain. Bunyi handphone saya terus berdering. Sesekali saya angkat untuk menginformasikan bahwa saya sedang dalam perjalanan.
Bahkan pesan di aplikasi WhatsApp terus mengirim pesan dari Anggota DPRD Manggarai Timur, Siprianus Habur dan sahabat seperjalanan saya, Om Ambrosius Adir yang biasa disapa Rosis Adir.
Saya sesekali membalas pesan itu untuk menginformasikan tentang perjalanan tersebut.
Rombongan anggota DPRD itu berpacu dengan waktu, sebab hari itu melakukan perjalanan jauh dengan kendaraannya.
Bahkan mereka berada di Kota Borong untuk menjemput saya. Mereka datang dari perkampungan Toka, Desa Nanga Labang, Kecamatan Borong. Sungguh konsisten dan komitmen dengan waktu.
Saya tiba di Kota Borong pukul 09.20 Wita. Mereka sudah parkir mobil di pinggir jalan. Mereka menunggu di pinggiran jalan di kota tersebut.
Minta Maaf
Begitu saya turun dari bemo, saya bertemu mereka dan menyampaikan minta maaf atas keterlambatan dari waktu yang sudah disepakati.
Beberapa kali saya menyampaikan ungkapan minta maaf, bahkan sampai di dalam mobil karena saya sangat terlambat.
Mereka menerima apa yang saya sampaikan. Itulah kebesaran hati untuk saling memaafkan.
Waktu terus berputar. Kami mengikuti aturan waktu yang terus berputar. Sebab waktu yang mengatur kami hari itu.
Bukan kami mengatur waktu. Jarum jam terus berputar tanpa dihentikan oleh manusia. Waktu tak pernah berbicara, hanya waktu itu terus berjalan sesuai aturan alam semesta.
Waktu tidak mengenal manusia melainkan manusia diatur oleh waktu dengan perputaran selama satu kali dua puluh empat jam.
Waktu itu tidak pernah istirahat sedangkan manusia diaturnya waktunya untuk istirahat. Ada istirahat makan, istirahat malam dan lain sebagainya.
Aturan waktu diciptakan manusia untuk mengatur manusia itu sendiri. Di situlah keistimewaan akal budi manusia. Walaupun akal budi memiliki banyak kelemahannya.
Roda mobil Rocky terus berputar dengan kekuatan mesin di jalan berhotmiks dari Kota Borong menuju ke Kampung Toka, Jembatan Wae Laku dan tiba di pinggiran jalan Kampung Sok.
Dari Kota Borong sampai pinggir jalan di kampung Sok dikemudi oleh anggota DPRD, Siprianus Habur. Mobil ini adalah miliknya.
Di bagian depan dan belakang mobil ditulis tagline” Tenda Rinding Habur” makna sederhana dari tagline ini yang saya pahami bahwa Ia sebagai anggota DPRD Manggarai Timur melindungi rakyatnya.
Dalam bahasa Manggarai Tenda berarti lapak-lapak untuk duduk santai, sedang Rinding adalah sebuah dinding di dalam kamar atau dari luar rumah.
Sedangkan Habur adalah nama belakangnya. Saya tak tahu arti Habur. Nama memiliki makna oleh pemilik namanya.
Setiba di Kampung Sok, yang mengemudi mobil adalah sopir yang sudah dipercayanya. Kami meneruskan perjalanan di Jalan Trans Flores Borong-Ruteng melewati kawasan hutan konservasi Ranamese.
Setiba di Pertigaan Bealaing, kami belok kanan menuju kawasan hutan konservasi Banggarangga. Apa arti Banggarangga.
Kalau dipisahkan kalimat ini Bangga dan Rangga dapat diartikan bahwa Bangga arti bangga sedangkan Rangga dalam bahasa Manggarai berarti tanduk hewan.
Selama perjalanan itu kami dihibur oleh suara burung di kawasan hutan Ranamese dan Banggarangga. Betapa alam dengan aneka burung selalu menghibur manusia, tanpa manusia menghibur burung.
Pesan di balik suara burung itu agar hutan di kawasan Ranamese dan Banggarangga tetap terjaga dengan baik sebab burung juga hidup dialam bebas.
Selama perjalanan itu, kami selalu bercerita apa adanya. Cerita humor tentang kehidupan. Cerita lucu supaya kami tertawa.
Bahkan cerita politik lokal. Kisah bermodalkan uang tujuh juta bisa raup suara dan duduk di lembaga legislatif.
Modal politik lokal di Manggarai Timur berbuat baik, jujur, ramah, konsisten. Sesungguhnya apabila kita memiliki kemauan dan keinginan untuk terjun di politik dan mengejar mimpi untuk menjadi wakil rakyat, pertama-tama jangan dulu berpikir modal uang, melainkan kita berada di tengah masyarakat dan berbuat baik.
Masyarakat itu tidak melihat partai politiknya melainkan melihat figur yang terjun ke dunia politik. Berpolitik itu sebuah seni untuk membaca kemungkinan demi kemungkinan.
Semua kita bisa berpolitik. Berpolitik itu bukan sebuah kepastian melainkan sebuah kemungkinan. Berpolitik itu cerdas menghipnotis rakyat dengan retorika.
Tentu di balik retorika itu ada perbuatan baik yang ditanamkan dalam setiap pribadi. Kebaikan-kebaikan itu tumbuh saat terjadi di dalam bilik tempat pemungutan suara saat dilangsungkan pemilihan.
Saya dan Rosis mendengarkan pengalaman yang sangat berharga. Pengalaman adalah guru lapangan.
Tidak gampang untuk duduk tiga periode di lembaga DPRD dengan persaingan yang ketat saat dilangsungkan pemilihan secara langsung.
Berpolitik harus siap menang dan kalah. Sebab tidak ada semuanya menang, tidak ada seimbang, tidak ada semuanya kalah. Berpolitik itu antara menang dan kalah.
Biasanya dalam keadaan santai, semua pengalaman dikisahkan.
Tiba di Perhentian Pertama di Kampung Tangkul
Kurang lebih jam 11.45 Wita, kami tiba di Kampung Tangkul, Desa Rendenao. Itu semacam perhentian pertama dalam misi pelayanan kasih hari itu. Hari itu ada lima belas perhentian yang kami tapaki.
Kami tiba di rumah Kepala Desa Rendenao. Minum kopi pahit Colol. Cuaca kurang bersahabat.
Hujan dan dingin. Tak lama kemudian, Pastor Paroki Colol, Romo Vitalis, Pr tiba dan sebelumnya pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) Desa Colol, Amandus Cahaya Tukeng juga sudah tiba.
Saat itu ngobrol lepas bebas, yang asyik adalah bahas politik. Pengamatan saya, di kampung-kampung, warga masyarakat selalu membahas politik, tidak pernah bahas ekonomi, kemanusiaan, manajemen keuangan juga tak pernah dibahas, masalah-masalah kemanusiaan yang terjadi di tengah masyarakat tidak pernah disuarakan ke publik.
Menerima kenyataan pahit itu sementara Negara wajib hadir untuk melindungi rakyat. Negara wajib memberikan kesejahteraan di berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Hari itu kami mendampingi, menuntun dan membuka jalan kepada anggota DPRD Manggarai Timur tiga periode, Siprianus Habur untuk melakukan reses. Kali ini resesnya sangat berbeda dengan biasanya.
Resesnya mengunjungi warga yang derita jiwa dan disabilitas fisik. Reses kali ini mengunjungi 15 warga yang membutuhkan sentuhan hati dan kasih sambil berbelas kasih.
Di Kampung Tangkul, Kami menyapa tiga keluarga yang anak mereka derita sakit. Menyerahkan bantuan kemanusiaan.
Bukan soal bantuan kemanusiaan yang utama melainkan hadir dan berada bersama mereka yang menderita.
Di sini bukan lagi soal bahasa seperti, kasihan, sedih melainkan empati dan terlibat aktif untuk menghibur mereka yang menderita bersama anggota keluarga.
Mengelilingi Empat Desa di Kawasan Colol
Selesai di Kampung Tangkul, kami meneruskan perjalanan ke tempat Reses di Kantor Desa.
Bergabung dengan Reses dari salah satu anggota DPRD dari Dapil Lamba Leda Timur dan Kecamatan Lamba Leda Selatan.
Berikutnya kami menuju ke Kampung Racang, Desa Colol untuk berjumpa dan membawa bantuan kepada seorang anak yatim piatu yang tinggal sendirian di rumahnya.
Siswi kelas V Sekolah Dasar. Saat itu berkumpul juga warga tetangga karena mereka melihat kehadiran kami di kampung tersebut.
Itu perhentian kelima. Di perhentian keenam, tak jauh dari rumah anak yatim piatu itu, kami mengunjungi satu orang tua yang derita jiwa dan dikurung dalam pondok.
Bahkan, ia tak bisa melihat lagi. Saya merenung dalam hati, saya harus berbuat apa terhadap sesama yang menderita seperti sebab saya juga memiliki kemampuan terbatas, finansial terbatas, ilmu kesehatan jiwa juga terbatas.
Saya hanya bisa mengetuk pintu hati semua orang baik untuk menolong sesama yang menderita. Tentu tak semua orang rela berbagi dari kekurangan atau kelebihan rezeki.
Tak bisa juga dipaksakan untuk membuka hati semua orang sebab semua orang memiliki urusan dan kepentingan masing-masing.
Selesai menyerahkan bantuan kemanusiaan di kampung itu, kami bergerak ke kampung lain untuk perhentian ketujuh sampai ke lima belas. Sungguh kami merasakan sukacita yang tak bisa dibahasakan.
Hati kami penuh kegembiraan karena hari itu kami bisa melayani sesama dengan tulus hati. Biarlah Tuhan sendiri yang menilai dan membalas atas semua kebaikan.
Ia lebih dahulu melayani umat manusia dengan tulus hati, murah hati, dan kepekaan sosial.
Hingga kami berhenti sejenak dengan makan malam di rumah Pastoran Paroki Colol.
Markus Makur adalah seorang Jurnalis yang menulis kisah humanis dari pinggiran. Dan Koordinator Relawan KKI Pedi Sehat Jiwa. Tinggal di Kota Waelengga.