Ruteng, Vox NTT- Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Manggarai Fransiskus Gero memaparkan catatan Dinas Pendidikan setempat berisi tentang potret kekerasan seksual yang terjadi, khususnya di institusi pendidikan.
Menurut Kadis Frans, institusi pendidikan di Manggarai saat ini telah menjadi salah satu tempat untuk melancarkan aksi kekerasan seksual. Pelaku di balik aksi tersebut adalah guru dengan siswa sebagai korban.
Ia memaparkan, sejauh ini terdapat dua sekolah di Kabupaten Manggarai yang tercatat sebagai lembaga yang pernah melancarkan aksi kekerasan seksual kepada siswa yakni di Kecamatan Satarmese dan di Kecamatan Cibal. Persoalan tersebut kini tengah diselesaikan oleh aparat yang berwajib yakni Kepolisian Resort Manggarai.
Mengacu pada fakta ini maka pihaknya kini tengah berkonsentrasi untuk mendesain pendidikan yang memupuk karakter antikekerasan seksual. Lembaga pendidikan mesti menjadi tempat pemupukan karakter antikekerasan seksual.
Selain pendekatan sistem, pembangunan sarana prasarana penunjang, menurut Kadis Frans, menjadi sebuah kebutuhan mendesak agar kasus kekerasan seksual sebisa mungkin diminimalisasi. Misalnya, pembangunan toilet yang harus dipisahkan antara laki-laki dan perempuan.
“Toilet di sekolah tidak boleh digabungkan. Kita upayakan agar ke depan toilet tidak boleh dicampuradukkan antara laki-laki dan perempuan. Bila perlu, kalau toilet pria di timur maka wanita harus di barat,” jelas Kadis Frans.
Lebih dari itu, Kadis Frans mengharapkan kolaborasi semua pihak dalam mengampanyekan antikekerasan seksual.
Kampanye melibatkan semua elemen tersebut menjadi salah satu opsi untuk tidak hanya memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat melainkan juga untuk merumuskan pola-pola konkrit untuk memutuskan mata rantai kekerasan seksual.
Senada dengan Kadis Frans, Praktisi Psikologi yang juga menjabat sebagai Direktur Yayasan Mariamoe Peduli (YMP) Akbina Redempta Umen menjelaskan tentang kondisi terkini Manggarai yang mengalami kenaikan masalah kekerasan seksual.
“Bahkan perkiraan kami masih banyak kasus yang tidak dilaporkan ke Kepolisian. Jadi sebenarnya angka kekerasan seksual itu lebih tinggi dari rilisnya kepolisian. Karena dari kepolisian kemarin kalau tidak salah 46.
Nah, 46 ini di luar dari cari data YMP,” jelas Ebi dalam kesempatan Diskusi Primetime di Studio Radio Manggarai, Rabu (23/02/2022) malam.
Ia menjelaskan, sampai sekarang masih banyak sekali masyarakat yang menjadi korban kekerasan seksual, namun enggan melaporkan ke kepolisian termasuk kepada YMP karena berbagai alasan.
“Dan hasil studi kami (YMP), tujuh dari sepuluh korban penyintas atau kekerasan seksual tidak melakukan apa-apa karena tidak tahu harus berbuat apa, bingung bagaimana cara menjelaskan. Rasa malu kalau itu dijelaskan. Enam dari sepuluh korban kekerasan seksual tidak berani melaporkan karena tidak tidak punya bukti dan takut diketahui oleh orang lain atau merasa itu aib,” papar Ebi.
“Delapan dari sepuluh korban penindasan atau kekerasan seksual tidak mau diproses hukum karena merasa tidak berdaya, merasa tindak kekerasan seksual bukanlah kejahatan yang berat, memakan waktu yang cukup banyak, tidak mau di introgasi, tidak terlalu nyaman dengan pihak kepolisian,” tambahnya.
Adapun lokasi yang kerap kali dijadikan tempat untuk melancarkan aksi kekerasan seksual menurut Ebi, yakni tidak hanya di tempat-tempat umum melainkan juga telah masuk ke ranah privat. Dari semuanya itu, lokus yang paling sering yakni di kebun dan hutan.
“Ada beberapa tempat kekerasan seksual menurut catatan kami yakni di rumah dan ini bisa terjadi antara anak dan orang tua. Di sekolah. Di dalam kendaraan umum juga ada ya. Kita pernah mendengar kejadian di sebuah travel dengan rute Ruteng-Reo. Kemudian di jalanan umum itu juga ada, bahkan tempat ibadah pun ada. Mungkin ada yang pernah dengar tentang kasus di Rahong Utara di dalam gereja, anak kecil dengan Dewan Paroki ya kalau tidak salah. Nah kemudian kebun dan hutan ini yang paling sering,” beber Ebi.
Ia kemudian memaparkan tentang kondisi yang secara tidak langsung ikut memupuk bertambahnya jumlah kekerasan seksual di Manggarai. Salah satunya yakni budaya patriarki yang memberi kuasa lebih kepada kaum laki-laki.
“Budaya itu yang akhirnya perempuan menjadi sangat lemah, perempuan tidak bisa berbuat apa-apa dengan tindakan yang dilakukan oleh laki-laki. Seperti orang yang tidak berdaya dan budaya itu yang kadang kita pupuk sampai dengan saat ini,” jelasnya.
Selain itu, penanganan kasus dengan menggunakan perspektif yang masih mengarah pada pelaku dan bukan korban juga menjadi salah satu faktor pendukung adanya kasus kekerasan seksual.
“Selama ini begitu ada kasus kekerasan seksual fokus kita adalah kepada pelaku. Tidak ada yang pernah menanyakan bagaimana keadaan dari korban. Apakah dia baik-baik saja ataukah dia membutuhkan pertolongan? Apakah lingkungan yang sekarang itu cukup aman untuk dia?” jelasnya.
Hal lain juga yang turut menyumbang bertambahnya kekerasan seksual di Manggarai yakni karena penyelesaian masalah yang kerap kali secara kekeluargaan adat Manggarai.
“Kita selalu membawa masalah kekerasan seksual itu dalam budaya kita yang menyelesaikan itu dengan cara keluarga saja. Jadi tidak ada efek jera untuk pelaku. Tidak ada tindak lanjutnya. Pelaku-pelaku lain yang berpotensi membaca itu kemudian berpikir bahwa tidak dibawa ke ranah hukum, berarti saya bisa dong melakukan hal itu,” terang Ebi.
Ia kemudian mengharapkan agar semua pihak bahu membahu menyelesaikan persoalan tersebut supaya kasus-kasus serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.
“Dan saya berharap selain kita miliki itu tadi saya mengajak pemerintah, para tokoh agama, tokoh masyarakat untuk bergandengan tangan, sama-sama kita meminimalisir. Kalau kita mau menghilangkan itu maka kita harus bergandengan tangan,” harapnya.
Sedangkan terhadap keluarga dan masyarakat yang hidup berdampingan dengan korban kekerasan seksual, diharapkan agar memahami kondisi korban dengan baik.
“Kadang kita merasa ‘victim blaming’ ya. Jadi jauhi kata-kata yang menyakiti korban itu sendiri. Kita mulai dengan memahami apa yang sedang terjadi, kondisi dari korban itu. Kemudian butuh kepekaan dan perhatian dari lingkungan terdekat. Kita harus bisa pahami ketika korban itu punya penyimpangan perilaku misalnya saja dia tiba-tiba menarik diri dari lingkungan, mungkin tiba-tiba dia ‘panic attack’, misalnya saja dia tiba-tiba lari ke dalam kamar dan menutup kamar. Di bawah selimut dia matikan lampu dan apa segala macam,” jelasnya.
“Itu harus dipahami sebagai penyimpangan perilaku dari trauma dia dan kita harus memahami dia. Dan kemudian jika ini terjadi pastikan orang yang disamping korban selalu dampingi dia. Perlakukan dengan normal. Dia jangan juga diperlakukan sebagai orang yang sudah mendapat pelecehan atau kekerasan seksual lainnya,” tambahnya.
Namun, jika saran tersebut tidak berhasil maka bisa mencari bantuan kepada tenaga profesional ataupun siapa saja yang bisa membantu seperti misalnya Yayasan Mariamoe Peduli.
Untuk diketahui, kegiatan “Diskusi Primetime” tersebut berlangsung di Studio Radio Manggarai yang berlokasi di Lawir Kecamatan Langke Rembong, Manggarai. Diskusi disponsori oleh Rezeki Mart, Global Trans dan PT Citra Teknologi Perkasa.
Penulis: Igen Padur
Editor: Ardy Abba