Oleh: Irenius Pita Raja Boko
Mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang
Budaya bukanlah suatu hal yang baru. Sebab, budaya memang berjalan seiring dengan konversi hidup manusia.
Budaya merupakan tradisi yang berkembang di daerah tertentu dan tentu saja hidup dan terus dipelihara oleh masyarakat tertentu yang dianggap sebagai warisan dari leluhur yang harus terus dilaksanakan.
Setiap kebudayaan mempunyai kebijaksanaan-kebijaksanaannya masing- masing dan tata kelola serta otonominya.
Oleh sebab itu, setiap manusia tentunya terikat dengan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para leluhur atau nenek moyangnya masing-masing.
Dalam hal ini, manusia tidak akan terlepas dari esensinya sebagai makhluk budaya.
Maka tidaklah etis bila manusia mencoba menghilangkan ataupun mereduksikan suatu tradisi tertentu yang telah diwariskan.
Kata budaya berasal dari Bahasa sansekerta, yaitu buddhayah yang merupakan bentuk Jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal budi.
Artinya bahwa budaya itu dilahirkan oleh akal budi manusia yang merupakan suatu anugerah istimewah dari Tuhan (Herimanto dan Winarno, 2010).
Pewarisan kebudayaan adalah proses pemindahan, penerusan, pemilikan, dan pemakaian kebudayaan dari generasi ke generasi secara berkesinambungan. Pewarisan kebudayaan bersifat vertikal.
Namun dalam proses pewarisan kebudayaan sebagai makhluk budaya, manusia yang pada hakikatnya makhluk rasional, tentu ada perbedaan pandangan yang sesuai dengan arah perkembangan zaman.
Dalam hal pewarisan budaya bisa muncul masalah antara lain: sesuai atau tidaknya budaya warisan tersebut dengan masyarakat saat sekarang, penolakan generasi penerima terhadap warisan budaya tersebut, dan munculnya budaya baru yang tidak lagi sesuai dengan budaya warisan.
Dalam suatu kasus, ditemukan generasi penerus di zaman ini menolak budaya yang hendak diwariskan oleh generasi pendahulunya.
Budaya itu dianggap tidak lagi sesuai dengan kepentingan hidup generasi tersebut, bahkan bertolak belakang dengan nilai-nilai budaya yang diterima sekarang ini.
Dalam hal ini, problem ini dapat terjadi sebabnya tentu sudah ada pergeseran pandangan terhadap budaya asing yang mempengaruhi.
Secara implisit budaya asing memang sangat mempengaruhi budaya lokal yang hidup dan menjadi identitas masyarakat dalam suatu wilayah tertentu.
Dengan pesatnya perkembangan zaman ini, de facto meskipun masih ada beberapa suku yang tetap mempertahankan budayanya dan menolak pengaruh budaya dari luar, tetapi hampir seluruh wilayah Indonesia ini, budaya asli Indonesia sudah di pengaruhi oleh budaya asing.
Meskipun dipengaruhi oleh budaya asing, namun yang menjadi esensi dari budaya yang diwariskan tidak boleh hilang.
Sebab, dengan terus memeliharanya secara implisit ada penghormatan kepada leluhur yang telah mewarisinya.
Penghormatan ini bukan hanya dalam bentuk tetap menjaga dan melakukan warisan budaya dari para leluhur, tetapi ada bentuk penghormatan yang lebih spesifik yang menandakan bahwa generasi penerus yang terus menghidupkan budaya tertentu tetap menjalin relasi dengan para leluhur melalui ritual-ritual adat yang riil dan tampak.
Memaknai Tradisi Tu Ulu Eko
Tu Ulu Eko merupakan suatu tradisi yang hidup dan berkembang dan menjadi tradisi tahunan masyarakat Numba, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende.
Tradisi Tu Ulu Eko ini, biasanya diawali dengan upacara adat atau ritual adat pemberian makan kepada mosalaki pewaris atau para leluhur yang punya kuasa dalam pewarisan tradisi ini.
Secara harafia Tu Ulu Eko diartikan sebagai kegiatan memberikan persembahan kepada tuan tanah (mosalaki, sebutan yang diperuntukan kepada tuan tanah atau pemimpin di dalam budaya Lio), sebagai tanda akan membuka kebun baru atau lahan baru untuk berusaha atau bercocok tanam sesuai dengan wilayah tanah yang diberikan kepada masing-masing orang.
Pemberian atau persembahan yang diantar itu berupa, beras dan ayam. Tradisi ini merupakan suatu hal yang wajib dilaksanakan dan tentu saja setiap penggarap yang memperoleh tanah dari mosalaki harus mempersembahkan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati atau yang telah ditentukan oleh mosalaki.
Dalam struktur kepemimpinan secara adat masyarakat Numba, ada sebutan untuk mosalaki pu,u (sebutan untuk pemimpin mosalaki), kemudian mosalaki eko (sebutan untuk wakil dari mosalaki pu,u) dan ada jajaran mosalaki yang juga diberikan kuasa untuk memimpin suatu wilayah tanah tertentu.
Dalam acara Tu Ulu Eko, semua penggarap akan berkumpul di Sa,o Nggua ( sebutan untuk rumah adat) mosalaki.
Di dalamnya akan ada acara makan bersama secara adat dan diakhiri dengan keputusan untuk memulai membuka lahan dari mosalaki.
Tetapi sebebum acara makan, pertama-tama yang dilakukan dalam acara Tu Ulu Eko, merupakan memberikan makan kepada leluhur.
Berdasarkan keyakinan masyarakat Numba, agar acara Tu Ulu Eko tersebut juga di hadiri dan disetujui oleh para leluhur dan juga semua usaha yang dikerjakan bisa memperoleh hasil yang dapat memuaskan.
Jika ada penggarap yang tidak memberikan persembahan kepada moslaki atau tidak mengikuti acara Tu Ulu Eko ini, maka tidak diijinkan untuk membuka lahan baru.
Berdasarkan kepercayaan masyarakat Numba, yang tidak mengikuti acara Tu Ulu Eko akan terkena musibah yang datang dari para leluhur.
Sebab, secara adat dia telah melanggar hukum adat yang berlaku. Ketika acara Tu Ulu Eko ini dilaksankan, tidak diperkenankan bagi para penggarap untuk melakukan pekerjaan di kebun ataupun di rumah mereka masing-masing.
Jika ada yang melanggarnya, akan dikenakan poi (denda) yang wajib diberikan kepada mosalaki, biasanya berupa satu babi atau lebih sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan.
Dan ketika sudah dilaksanakannya acara Tu Ulu Eko ini, maka semua penggarap diizinkan membuka lahan baru untuk bercocok tanam sesuai dengan luas tanah yang diberikan kepada masing-masing penggarap.
Persembahan yang diberikan mosalaki dalam acara Tu Ulu Eko bukan secara harafiah, para penggarap menyembah mosalaki.
Melainkan suatu bentuk penghormatan kepada leluhur yang telah memperjuangkan untuk memperoleh tanah tersebut dan telah mewarisi tanah tersebut.
Sejauh ini, tradisi ini sudah merupakan suatu hal yang inheren dengan masyarakat Numba pada umunya.
Sebab ritual adat Tu Ulu Eko ini merupakan suatu pintu bagi masyarakat Numba untuk membuka lahan baru untuk diolah demi perkembangan hidup.
Makna yang paling esensial dari tradisi Tu Ulu Eko ini bukan hanya secara parsial pengormatan dalam bentuk terus mewarisi atau menghidupkan tradisi yang telah diwariskan oleh para leluhur, melainkan suatu sikap dengan kesadaran penuh untuk tetap menjalin relasi yang lebih spesifik dan langgeng antar para penggarap atau masyarakat Numba secara universal ataupun untuk tetap menjalin komunikasi dengan para leluhur yang diakui sebagai pengantar kepada wujud tertinggi.
Sebab dalam tradisi Tu Ulu Eko tersirat nilai-nilai luhur yang memang mempengaruhi arah hidup masyarakat Numba.
Nilai-nilai luhur yang sangat tampak yakni suatu ketaatan terhadap keputusan bersama dan ketaatan terhadap pemimpin, serta penghormatan terhadap leluhur dalam bentuk tetap menjaga dan terus mewarisi budaya yang telah diwarisi.
Nilai-nilai luhur yang tersirat dalam tradisi Tu Ulu Eko, merupakan suatu hal yang memang dapat menjadi benteng untuk menolak suatu pengaruh budaya luar.
Dalam perkembangan zaman tradisi Tu Ulu Eko belum terdampak pengaruh budaya luar.
Tetapi, ini bukan suatu hal yang menjadi suatu kondisi yang aman atau statis, melainkan suatu proses untuk tetap menjaga nilai luhur yang menjadi arah hidup masyaraka Numba.
Sebab dengan perkembangan zaman ini, juga menjadi suatu tantangan bagi masyarakat Numba untuk tetap mewaspadai terhadap budaya luar yang dapat saja mempengaruhi dan merongrong budaya atau tradisi Tu Ulu Eko.
Hal ini menjadi perhatian secara spesifik masyarakat Numba dan universalnya masyarakat Indonesia untuk tetap menjaga budaya yang lahir di bumi Indonesia.
Sebab, keberagaman budaya menjadi indentitas bagi bangsa Indonesia.