Ruteng, Vox NTT- Bupati Manggarai Herybertus G.L Nabit menonjobkan 25 pejabat di lingkup Pemerintah Kabupaten Manggarai, baru-baru ini.
Pemkab Manggarai menegaskan, pembebasan ASN dari jabatan administrator tersebut bukan karena karena kepentingan tertentu.
“Dapat dijelaskan bahwa pembebasan ASN dari jabatan administrator tersebut tidak dimaknai secara negatif dalam artian non job atau sarat dengan kepentingan tertentu atau telah mendapatkan sanksi disiplin sesuai ketentuan yang tercantum dalam PP 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil,” ujar Sekretaris Daerah Manggarai Jahang Fansi Aldus saat membacakan jawaban tertulis Bupati Manggarai atas pandangan umum fraksi-fraksi terhadap tiga Ranperda, Jumat (11/03/2022).
BACA JUGA: 25 Pejabat Dinonjobkan, Demokrat Manggarai: Jangan Terjebak dengan Argumentasi Hak Prerogatif
Menurut Sekda Fansi, pemerintah sedang melakukan pembenahan birokrasi dalam rangka memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Terhadap 25 ASN yang dibebastugaskan tersebut, kata dia, akan mendapatkan tugas khusus dalam rangka pencapaian target RPJMD 2021-2026.
Sebelumnya, Fraksi Partai Demokrat DPRD Manggarai menyoroti keputusan Bupati Nabit di balik non job 25 pejabat tersebut.
“Bagi kami di Fraksi Demokrat, proses non job 25 pejabat pemerintah lingkup Pemerintah Kabupaten Manggarai sarat dengan kepentingan tertentu,” ujar Silvester Nado, Juru bicara Fraksi Partai Demokrat saat membacakan pemandangan umum fraksinya di ruang paripurna DPRD Manggarai, Selasa (08/03/2022) malam.
Sil menegaskan, jika non job pejabat dimaknai diberhentikan dari Jabatan Struktural, maka sudah jelas diatur dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, terutama pada Pasal 24 yang menyebutkan, bahwa setiap atasan wajib memeriksa lebih dulu PNS yang dijatuhi hukuman disiplin. Pemeriksaan dilakukan secara tertutup dan hasilnya dituangkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
“Kami kembali mengingatkan bahwa proses non job secara paksa tanpa argumentasi yang jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010,” tegas anggota dewan asal Dapil IV itu.
BACA JUGA: 25 Pejabat di Manggarai Di-Nonjob-kan, Fraksi Demokrat Nilai Sarat Kepentingan
Sil sendiri menegaskan, iistilah non job tidak diatur dalam hukum kepegawaian. Hukum kepegawaian hanya mengatur tentang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberhentikan dari Jabatan Struktural sebagaimana diatur dalam PP No. 100 Tahun 2000 Jo. PP N0. 13 Tahun 2002.
Ketentuan ini mengatur secara rigid (tidak mudah berubah dan memerlukan proses khusus untuk melakukan amandemen) tentang tahapan panjang dalam memberhentikan seorang PNS dari jabatan struktural alias non job.
Dalam ketentuan tersebut, seorang PNS dapat diputuskan non job dengan syarat apabila PNS tersebut mengundurkan diri dari jabatannya, mencapai batas usia pensiun, diberhentikan dari PNS, diangkat dalam jabatan struktural lainnya, cuti di luar tanggungan negara, tugas belajar lebih dari enam bulan, adanya perampingan struktur/organisasi satuan kerja, dan tidak sehat jasmani dan rohani.
Lebih lanjut, dalam Ketentuan Hukum Disiplin Pegawai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat (4) PP No. 53 Tahun 2010, apabila istilah non job disamakan dengan istilah Pembebasan dari Jabatan, maka pemberian non job ini masuk dalam Kategori Hukuman Disiplin Berat. Mekanisme yang ditempuh sejak awal harus masuk dalam jalur pemberian Sanksi Kedisiplinan PNS.
Ketentuan tersebut, lanjut Sil, mengatur tahapan sanksi kedisiplinan mulai dari pemanggilan secara tertulis oleh atasan langsung atau oleh Tim Pemeriksa, selanjutnya dilakukan pemeriksaaan secara tertutup yang hasilnya dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Pengumpulan Bukti dan Keterangan Saksi.
Apabila ditemukan pelanggaran dan kesalahan baru dapat dijatuhkan sanksi kedisplinan. Sanksi yang dapat diberikan pun secara berjenjang mulai dari hukuman ringan, sedang dan berat. Salah satu sanksi dalam hukuman berat adalah pembebasan dari jabatan yang dapat disamakan dengan istilah saat ini yaitu non job.
Selanjutnya, non job adalah hukuman berat yang diberikan kepada PNS yang melakukan kesalahan dan pelanggaran yang berat, misalnya terbukti tidak setia dan taat kepada Pancasila dan UUD 1945, membocorkan rahasia jabatan, terbukti tidak memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat, tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 41 sampai 45 hari kerja, tidak mencapai sasaran kerja kurang dari 25% sampai akhir tahun dan lain sebagainya.
“Fraksi Demokrat tentu saja bertanya kepada pemerintah apakah pejabat yang di-nonjob-kan tersebut melakukan kesalahan atau sedang terkena sanksi kedisiplinan?” tanya Sil.
Menurut Sil, hakikat dari eselonering tentunya mengarah pada profesionalisme dalam birokrasi. Pembenahan birokrasi menjadi tuntutan mutlak dalam mewujudkan pemerintahan yang baik.
“Oleh karena itu perlu ada proses yang transparan berkaitan dengan naik atau turunnya eselonering. Untuk mencapai sebuah eselonering tertentu tentunya membutuhkan proses dan waktu yang cukup lama,” tegas Sil.
Sil pun mengaharapkan agar pergantian pemimpin tidak menjadi preseden buruk dalam menurunkan eselonering dari ASN karena akan berdampak terhadap kinerja kerja dan kenyamanan kerja dari ASN.
Untuk itu, perlu ada pertimbangan yang matang sebelum mengambil keputusan penurunan eselonering para ASN sehingga tidak ada kesan lain di balik keputusan tersebut.
Ia menegaskan, etika birokrasi harus dikedepankan dalam mengambil keputusan. Menurut dia, Bupati Manggarai penting untuk memberikan penjelasan yang komprehensif terkait penurunan eselonering, sehingga ASN yang mengalami hal itu bisa memahami argumentasi atau alasan yang rasional terkait keputusan tersebut.
“Fraksi Partai Demokrat mengharapkan agar netralitas ASN dalam proses politik tetap dijaga sehingga tidak terjadi benturan kepentingan politik dalam menjalankan roda pemerintahan,” tegasnya.
Penulis: Ardy Abba