Kefamenanu, Vox NTT- Pembangunan jembatan penghubung di Kali Naen, Kelurahan Tubuhue, Kecamatan Kota Kefamenanu, Kabupaten TTU, mendapat sorotan keras akhir-akhir ini.
Proyek tersebut menelan anggaran lebih dari Rp16 miliar pada Dinas PUPR Kabupaten TTU.
Sorotan tersebut lantaran meski proyek tersebut dikerjakan menggunakan tahun anggaran 2021, namun sampai saat ini belum juga diselesaikan.
Salah satu pihak yang menyorot pembangunan proyek jembatan Naen yakni Direktur Lakmas Cendana Wangi Viktor Manbait.
Viktor dalam rilis yang diterima VoxNtt.com beberapa waktu lalu, Viktor mengungkapkan, pekerjaan projek jembatan Naen hingga tanggal 15 Maret 2022 ini belum juga rampung dikerjakan.
Tampak di lapangan masih terlihat para pekerja sementara membuat kerangka beton pada dek jembatan untuk dilakukan pengecoran lantai jembatan. Padahal kontrak kerja jembatan ini adalah 120 hari kaleder kerja, mulai Juli 2021 hingga Desember 2021.
“Namun sampai dengan 31 Desember 2021, progres pekerjaan jembatan baru mencapai 38%,” katanya.
Viktor menambahkan, curah hujan yang tinggi di lokasi menjadi “kambing hitam” penyebab terlambatnya penyelesaian pekerjaan jembatan sesuai jadwal kerja.
Hal itu sebagaimana disampaikan oleh Kepala Cabang PT Citra Timor Mandiri Boby Ludony Manunait melalui salah satu media online pada 21 Januari 2022.
“Padahal, dengan melihat progres pekerjaan di akhir masa kontrak yang baru mencapai 38%, maka jelas alasan karena tingginya curah hujan adalah alasan yang dicari-cari,” tegas Viktor.
Terlebih, lanjut dia, alasan curah hujan yang tinggi sebagai penyebab keterlambatan kerja juga tidak didukung oleh data yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga berkompeten seperti BMKG.
“Perusahaan ini juga mengatakan kalau pekerjaanya terhenti selama dua minggu, akibat dihentikan oleh pengawas untuk dilakukan boring tes dan sondir,” katanya.
Hal ini menurut Viktor, menunjukan bahwa konsultan perencana hanya asal-asalan dalam membuat perencanaan proyek jembatan Naen.
“Untuk hal yang strategis ini tidak dilakukan sejak awal dan baru teringat untuk dilakukan setelah pekerjaan berjalan dan itu malah ditentukan oleh konsultan pengawas,” sesalnya.
Viktor melanjutkan, pekerjaan proyek jembatan Naen ini sudah tampak diragukan sejak awal pelaksanaannya.
Pada saat lelang, pagu harga tendernya sebesar Rp19 miliar lebih dan hps pemenang tendernya anjlok ke Rp16 miliar lebih atau hampir 25% dari pagu harga tender.
Padahal untuk pembangunan jembatan hampir 80% materialnya adalah material pabrikasi yang mesti didatangkan dari luar TTU.
Pemenang tendernya bukan hanya sebuah perusahaan cabang, bukan pula distributor barang pabrikasi jembatan dan pabrik material jembatan. Hebatnya, dengan posisi sebagai perusahaan cabang yang belum teruji sama sekali jembatan besar mana yang pernah dikerjakannya, dengan enteng membuang harga sampai dengan hampir 25%.
“Luar biasa sekali,” ujarnya.
Lebih lanjut Viktor menuturkan, drama pekerjaan proyek jembatan Naen tidak berhenti di situ. Setelah tender dimenangkan, pada tahap pelaksanaan pekerjaan terjadi perubahan volume kerja jembatan dari lebar 9 meter, diubah menjadi lebar 7 meter.
PPK dan pemenang tender berargumenasi bahwa aturan untuk tipe jalan kabupaten kontruksi jembatan lebarnya hanya 7 meter. Sehingga lebar jembatan Naen yang awalnya 9 meter harus merujuk pada aturan sehingga berkurang mejadi 7 meter.
Seterusnya karena kualifikasi pekerjaannya adalah jembatan tipe B, maka kualitas materialnya pun diturunkan dari mutu A menjadi mutu B.
Padahal, kata Viktor, untuk pembangunan jembatan tersebut telah direncanakan dengan matang oleh perencana atas pesanan pemilik proyek dengan berbagai pertimbangan teknis, ekonomis dan sosial.
Sehingga jembatan yang dibuat dengan lebar 9 meter agar dapat menanggung beban arus lalu lintas di atasnya dan apalagi mobilitas tinggi. Sebab jalur tersebut merupakan lintas batas negara sabuk merah yang tinggi lalu lintasnya dengan beban tonase yang besar.
“Menjadi pertanyaan lanjutan adalah, dengan pengrungan volume kerja dari 9 meter ke 7 meter yang berarti ada selisih volume kerja 2 meter itu, bila dihitung volume per meter perseginya 3 juta rupiah saja, sudah berapa miliar rupiah yang menjadi keuntungan mendadak yang diperoleh?” tanya Viktor.
“Belum lagi dengan adanya pengurangan mutu material dari mutu A ke mutu B, berapa miliar keuntungan ya? Apakah ini memang modus dalam meraup keuntungan secara ilegal dalam proyek jembatan Naen?” tandasnya.
Viktor pun meminta agar kualitas pekerjaan jembatan Naen ini mesti diuji juga oleh pihak yang berkompeten.
Hal itu lantaran terlihat retakan-retakan pada bagian pengecoran jembatan yang telah dikerjakan.
“Oleh karenanya kita meminta Kejaksaan Negeri Timor Tengah Utara yang sejak ditetapkan pemenang tender melakukan pengawasan khusus atas pekerjaan jembatan ini, agar memastikan semua keunikan yang terjadi dalam perspektif penegakan hukum,” tuturnya.
Terpantau VoxNtt.com di lapangan pada Senin (14/03/2022) memang terlihat proyek tersebut belum selesai dikerjakan. Pengecoran baru dilakukan pada bentangan sebelah. Sedangkan bagian sebelah belum dilakukan pengecoran.
Penulis: Eman Tabean
Editor: Ardy Abba