Oleh: Yergo Gorman
Lulusan Studi Kebijakan Publik, Minat Literasi dan Kajian Pembangunan Desa
Sejak dibaptis November 2020 lalu, beberapa desa di Manggarai Timur yakni desa Bamo, Colol, Compang Ndejing, Golo Loni, dan Nanga Mbaur menjelma jadi desa wisata.
Ragam potensi maupun local wisdom yang dipercaya bakal memicu aktivitas wisata tersimpan padat di desa itu.
Bagaimana perkembangan desa wisata itu sejauh ini? Sebagai produk kebijakan publik, desa-desa wisata di Manggarai Timur masih bersifat rintisan.
Perlu analisis dan eksekusi program berkelanjutan agar potensi itu mampu lahirkan dampak bagi pembangunan masyarakat.
Salah satu indikator yang bisa dipelajari dalam fenomena desa wisata rintisan ialah partisipasi warga, sejauh mana warga desa mulai bergeliat dan terlibat mendukung upaya pengembangan desa wisata.
Geliat Partisipasi Warga di Desa Wisata
Saya baru saja selesaikan sebuah studi kualitatif untuk mengetahui gambaran partisipasi warga serta hambatan dalam pelaksanaan desa wisata di Manggarai Timur sejauh ini.
Hasilnya memperlihatkan sebuah realitas partisipasi yang cukup positif.
Aktor utama di dalam kerja-kerja pengembangan wisata desa ialah kelompok anak muda seperti Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dan komunitas anak muda lainnya seperti Pokdarwis Siwu Riwu di desa Bamo, Komunitas Millenial Gejur dan Kelompok Kopi Tuk di desa Colol, Pokdarwis Tunas Harapan, Pokdarwis Lembah Indah, Pokdarwis Air terjun, Pokdarwis Agrowisata, dan Pokdarwis Sanggar Budaya, Kelompok Wanita Tani (KWT) dan Komunitas Bambu Lestari di desa Golo Loni.
Partisipasi warga muncul sejak dalam perencanaan wisata desa dan dibuat dalam forum-forum informal serta pertemuan rutin.
David Easton berpendapat ketika pemerintah membuat kebijakan publik, ketika itu pula pemerintah mendaratkan seperangkat nilai kepada masyarakat, karena setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai di dalamnya (Dikutip Dye, 1981).
Begitupun kebijakan penetapan desa wisata di Manggarai Timur Nomor HK/154/Tahun 2020 lalu.
Kebijakan itu memuat nilai dan tujuan kepada masyarakat di desa wisata.
Pendidikan demokrasi rakyat, tumbuhnya kemandirian kolektif, serta kehendak mewujudkan populisme dalam kebijakan publik, hemat saya ialah visi dan proyeksi masa depan dibalik kebijakan itu.
Pada aspek pelaksanaan, partisipasi warga di desa-desa wisata sejauh ini cukup baik.
Dalam konteks desa Colol, kelompok-kelompok seperti Komunitas Millenial Gejur dan Kelompok Kopi Tuk berperan penting untuk identifikasi potensi wisata desa, membuat spot wisata, narasi-narasi kultural-historis tentang kopi, promosi di media sosial, serta inovasi tanaman biji Kopi menjadi aksesoris.
Di desa Bamo, Pokdarwis Siwu Riwu aktif membuat spot foto di kawasan pantai Nangarawa, sementara di desa Golo Loni, Pokdarwis berkolaborasi dengan pemerintah desa setempat mengembangkan river camp dan river tubing.
Kerja-kerja pengembangan wisata desa itu di lain sisi belum memperlihatkan dukungan signifikan berupa intervensi program dari pemerintah desa setempat, baik program penguatan partisipasi warga maupun program pembinaan Pokdarwis.
Refocusing anggaran ke penanganan Covid 19 menjadi salah satu alasan dibalik persoalan itu.
Aksi pengembangan wisata desa sejauh ini cenderung tampil sebagai sebuah gerakan inisiatif warga.
Begitupun partisipasi warga dalam evaluasi sejauh ini cukup baik.
Kelompok masyarakat yang rutin melakukan evaluasi geliat wisata di desa seperti pokdarwis, Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Hambatan
Perjalanan desa wisata di Manggarai Timur tak luput dari berbagai hambatan dalam proses pengembangannya. Hambatan itu bersifat internal maupun eksternal.
Pertama, masih minimnya kesadaran partisipatif masyarakat. Dalam perjalanan desa wisata sejauh ini, terdapat sebagian kelompok masyarakat yang masih enggan untuk mengambil peran dan terlibat dalam mendukung geliat wisata desa.
Tidak banyak warga ikut berpartisipasi mengelola potensi-potensi di desa;
Kedua, Lemahnya dukungan program pemerintah desa setempat. Program pemerintah desa setempat untuk menggerakkan partisipasi warga dalam aktivitas wisata desa dan pembinaan Pokdarwis sejauh ini masih sangat minim.
Problem ini secara tak langsung turut mempengaruhi upaya efektivitas pelaksanaan desa wisata;
Ketiga, Politik Pilkades. Efek politik pilkades merambah pada geliat wisata desa. Partisipasi warga yang cenderung minim juga disebabkan oleh perbedaan pandangan politik saat pilkades.
Kekalahan dalam politik pilkades membuat sebagian masyarakat desa memilih untuk apatis terhadap pengembangan wisata desa;
Keempat, Refocusing anggaran ke penanganan Covid-19. Hambatan ini bersifat eksternal dan diakui langsung kepala desa Compang Ndejing, di mana anggaran pembangunan yang sudah ditetapkan dalam APBDes termasuk anggaran yang akan dialokasikan untuk mendukung pembangunan fisik di kawasan wisata pantai Ligota harus diubah ke penanganan Covid-19.
Rekomendasi
Beberapa poin rekomendasi perspektif demi pengembangan desa wisata ke depan bagi Dinas Pariwisata daerah yaitu kepemimpinan dan pengendalian kebijakan penetapan desa wisata melalui pemberdayaan/pembinaan para kepala desa, kelompok sadar wisata (Pokdarwis) secara berkala serta konsolidasi bersama Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang relevan dengan pemberdayaan desa wisata, seperti DPMD, Dinas PU, Pertanian, Perdagangan, dan sebagainya untuk penanganan kolektif terhadap isu-isu pembangunan di desa wisata yang berpengaruh pada pelaksanaan desa wisata seperti infrastruktur jalan raya, kepemimpinan kepala desa, produk atau tanaman lokal setempat, dan sebagainya.
Bagi pemerintah desa di desa-desa wisata, pertama, penguatan kapasitas internal kelembagaan pemerintah desa yang berkaitan dengan agenda pengembangan desa wisata, melalui pemberdayaan, pembinaan, pelatihan, dan sebagainya;
Kedua, merumuskan dan menyusun agenda kebijakan atau program kerja yang relevan dengan tipe desa wisata rintisan, seperti gerakan literasi wisata desa kepada internal kelembagaan pemerintah desa, pembinaan dan pemberdayaan kelompok sadar wisata (Pokdarwis), dan literasi wisata desa kepada masyarakat desa secara berkala;
Ketiga, membangun kemitraan dengan kelompok-kelompok, komunitas eksternal, LSM, peneliti yang concern dengan isu-isu pembangunan desa wisata;
Keempat, memiliki kemauan politik (political will) terhadap sektor pariwisata desa sebagai salah satu program strategis dalam pembangunan desa yang berdampak bagi kesejahteraan masyarakat;
Kelima, merangkul seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama mendukung pengembangan desa menjadi desa wisata yang berkeadilan dan bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sementara bagi komunitas anak muda di desa wisata, Pokdarwis dan sebagainya, aktivitas ke depan mengacu pada penguatan kapasitas internal kelembagaan Pokdarwis melalui materi atau program literasi wisata desa, komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah desa setempat mengenai kerja-kerja pengembangan wisata desa, membantu identifikasi dan pengelolaan potensi-potensi wisata di desa dan kemitraan dengan kelompok-kelompok eksternal, LSM, peneliti, komunitas dalam membantu pengembangan wisata desa.
Perspektif ke Depan
Analisis soal desa wisata ke depan perlu hidup dalam poin perspektif berikut.
Pertama, Kepemimpinan berbasis enterpreneur. Kepemimpinan berbasis enterpreneur merupakan suatu model kepemimpinan dengan memasang konsep-konsep wiraswasta menjadi standar dalam menjalankan tanggung jawab sebagai pemimpin.
Pemimpin dalam konteks ini yakni kepala desa di desa-desa wisata.
Konsep itu berisi nilai-nilai yang melekat pada seorang enterpreneur, seperti inovasi, kreativitas, orientasi hasil, pemberdayaan individu dan komunitas, out of the box dan sebagainya.
Dengan ditetapkannya desa Bamo, Colol, Compang Ndejing, dan Golo Loni sebagai desa wisata maka transformasi nilai-nilai kepemimpinan kepala desa menjadi mutlak, yakni dengan belajar membangun kepemimpinan enterpreneurship.
Kepemimpinan tersebut dapat membantu pengembangan desa wisata secara optimal, sehingga pengelolaan desa wisata dapat bermanfaat bagi masyarakat dan membantu pembangunan desa ke depan.
Kepemimpinan yang cenderung birokratis tak relevan untuk diletakkan sebagai basis kepemimpinan di desa wisata sebab akan mempengaruhi manajemen desa wisata.
Lemahnya dukungan program pemerintah desa dalam pelaksanaan desa wisata sejauh ini bisa disebabkan konstruksi kepemimpinan yang cukup birokratis dalam melihat desa wisata.
Kedua, desa wisata rintisan. Konstruksi berpikir awal dalam melihat desa-desa wisata di Manggarai Timur adalah tipe desa wisata itu sendiri.
Pemahaman holistik terhadap tipe desa wisata akan berpengaruh pada pendekatan serta titik start pengembangan.
Terdapat 4 tingkatan desa wisata yaitu, (a) Rintisan, masih berupa potensi, belum adanya kunjungan wisatawan, sarana dan prasarananya masih terbatas, dan tingkat kesadaran masyarakat belum tumbuh; (b) Berkembang, meski masih berupa potensi, namun sudah mulai dilirik untuk dikembangkan lebih jauh; (c) Maju, masyarakatnya sudah sadar wisata dengan indikator sudah dapat mengelola usaha pariwisata, termasuk menggunakan dana desa untuk mengembangkan potensi pariwisata. Wilayahnya juga sudah dikunjungi banyak wisatawan, termasuk dari mancanegara; (d) Mandiri, sudah ada inovasi pariwisata dari masyarakat, destinasi wisatanya juga sudah diakui dunia dengan sarana dan prasarana yang terstandarisasi. Selain itu pengelolaannya bersifat kolaboratif pentahelix.
Dengan mengacu pada indikator sarana prasarana masih minim, masih berupa potensi serta masih terdapatnya kesadaran warga yang minim, maka desa-desa wisata di Manggarai Timur dapat dikategorikan ke dalam desa wisata rintisan.
Program-program pembinaan dan pengembangan desa wisata pada kategori rintisan mesti memasukan materi-materi literasi wisata seperti identifikasi potensi, visi pengembangan wisata desa, sosialisasi dan pendidikan pariwisata desa yang intens ke masyarakat serta partisipasi warga agar ikut serta mendukung geliat wisata.
Perilaku masyarakat di desa wisata akan sangat mempengaruhi perjalanan desa wisata ke depan. Hal ini menjadi penting agar materi-materi pembinaan desa wisata ke depan relevan dengan kebutuhan tipe desa wisata itu sendiri.
Masyarakat lokal Manggarai Timur di desa-desa wisata yang mayoritas masih sibuk dan beraktivitas di sektor agraris tentu secara langsung mempengaruhi mindset dan greget dalam menerima konsep desa wisata.
Realitas ini pun dapat dijadikan basis pemahaman bahwa ikut serta dalam mengelola potensi-potensi wisata di desa dapat menjadi kesibukan kedua bagi warga lokal.
Ketiga, bargainning position desa wisata. Terdapat banyak perspektif dalam mengembangkan desa wisata, tapi konsep pengembangan desa wisata yang dimaksudkan di sini adalah konsep utama atau bargainning position desa wisata.
Konsep pengembangan desa wisata tentunya berbasis pada kearifan lokal masyarakat setempat.
Konsep-konsep yang sering dipakai umumnya adalah ekowisata, agrowisata, desa wisata buatan, dan sebagainya.
Perlu kajian yang lebih holistik mengenai bargainning position dari masing-masing desa wisata di Manggarai Timur yang menampakkan orisinalitas, berbasis kearifan warga lokal sehingga memberikan daya kesan yang otentik bagi pengunjung.
Keempat, kemitraan. Kemitraan di sini artinya pemerintah desa membangun kerja sama dengan para kelompok pemerhati, komunitas eksternal yang juga concern ke isu-isu pengembangan desa wisata.
Kerja-kerja kemitraan ini membantu dalam upaya memperkaya perspektif kepemimpinan lokal tentang pengembangan wisata desa yang kemudian dapat dimanifestasikan dalam bentuk kebijakan atau program kerja.
Kemitraan inipun membantu merumuskan inovasi desa wisata yang dapat melahirkan konsep pengembangan wisata berbasis kearifan lokal desa sehingga bermanfaat dan berdampak bagi masyarakat desa.