Ruteng, Vox NTT- Pemerintah Kecamatan Reok boleh saja memasang target retribusi sampah “melangit”. Namun kesejahteraan operator kendaraan roda tiga diduga tidak diperhatikan.
Mulai tahun 2021, target retribusi sampah di Kecamatan Reok naik signifikan menjadi Rp4.500.000 per bulan. Padahal sebelumnya hanya berkisar Rp300.000 sampai Rp500.000 per bulan.
Target ini sebagai tindak lanjut dari Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 16 Tahun 2021 tentang Penetapan Perubahan Kedua atas Tarif Retribusi Pelayanan Persampahan.
Tarif retribusi yang ditargetkan ini sudah sesuai dengan struktur dan perubahan besaran tarif.
Namun setelah ditelisik lebih jauh target tersebut rupanya tidak berjalan sama dengan kesejahteraan para operator kendaraan roda tiga pengangkut sampah.
Padahal, saban hari mereka bekerja memungut, mengantar dan membuang sampah ke tempat pembuangan sementara (TPS). Para pegawai juga bekerja menagih retribusi sampah demi memenuhi target peningkatan PAD Manggarai.
Kebijakan menaikan retribusi sampah seakan membawa kesan bahwa pemerintah sibuk mencari PAD ketimbang memperhatikan kesejahteraan operator roda tiga.
BACA JUGA: Warga Reo Tawarkan Solusi Pengganti Minyak Goreng
Kebijakan tersebut juga dianggap belum sesuai dengan beban kerja operator. Apalagi kalau bicara soal kesejahteraan.
Operator roda tiga pengangkut sampah di Kecamatan Reok pun mengeluh. Salah satunya Viktorius Naja, salah satu operator roda tiga yang bertugas di Kelurahan Reo.
Ia mengatakan, honor yang ia dapat selama menjadi operator roda tiga belum cukup untuk menunjang kesejahteraan hidup keluarganya.
Pasalnya, honor tersebut tidak diterima per bulan melainkan setiap dua belas bulan atau satu tahun. Hal ini tentu membuat kebutuhan keluarganya nyaris tidak terpenuhi.
“Honor Rp1 juta masih belum cukup bagi kami untuk memenuhi kebutuhan keluarga, apalagi honor itu diterima per 12 bulan. Perlu diketahui bahwa beban kerja kami tinggi dari pagi hingga petang demi mengurus sampah di Kecamatan Reok,” ungkap pria yang akrab disapa Tores ini, Selasa (21/3/2022).
Tidak berhenti di situ, Tores juga mengeluhkan soal biaya operasional kendaraan yang relatif kecil dan tidak sesuai kebutuhan para operator di lapangan.
Ia mengaku, biaya operasional sebelumnya diambil dari pungutan sampah Rp10.000 per rumah tangga. Kalau dihitung semua hasilnya hanya berkisar Rp300.000 paling tinggi.
Dengan operasional Rp300.000 itu, kata Tores, tidak cukup untuk memenuhi bahan bakar kendaraan yang tiap hari beroperasi.
Selain itu, kebutuhan oli dan ban yang harus diganti per periodik juga tidak cukup. Untuk menyiasati kekurangan itu, mereka terpaksa kerap merogoh kocek pribadi untuk memenuhi biaya operasional.
Ia berharap keluhan ini segera diperhatikan oleh pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Kecamatan Reok dan Dinas Lingkungan Hidup Daerah (DLHD) Manggarai.
“Kami makan tidak tunggu 12 bulan, begitu pun dengan operasional kendaraan, tidak tunggu 12 bulan baru butuh, tetapi tiap bulan harus dibutuhkan. Jangan hanya kejar PAD tapi kesejahteraan kami tidak diperhatikan,” ujarnya.
Senada dengan Tores, operator Kelurahan Mata Air, Sudin juga menyampaikan keluhan serupa.
Ia mengatakan, honor yang diberikan pemerintah belum layak jika dibandingkan dengan militansi kerjanya di lapangan dengan produksi sampah yang makin tinggi.
Menurut Sudin, honor Rp1 juta per bulan sama saja menutup uang pribadi yang ia keluarkan untuk kebutuhan operasional kendaraan.
“Honor Rp1 juta itu hanya untuk tutup kami punya uang yang sudah keluar untuk biaya bensin, oli maupun ban, belum lagi ada kerusakan lain. Sehingga honor itu belum cukup,” kata Sudin.
Ia juga mengaku, sebelumnya pemerintah sempat mengeluarkan wacana kenaikan honor operator roda tiga sebesar Rp2 juta lebih. Tetapi sampai sekarang wacana itu belum terealisasi.
“Harusnya honor kami sudah Rp2 juta lah kalau dilihat dari beban kerja dan tingkatan produksi sampah di Reok yang makin hari makin tinggi,” tutur Sudin.
Ia berharap pemerintah segera menindaklanjuti keluhan para operator roda tiga yang bertugas di kota kecil Manggarai bagian utara itu.
Menanggapi keluhan operator roda tiga, Camat Reok Ahmad Pahu menjelaskan, tarif retribusi sampah sebesar Rp4.500.000 itu hanyalah target yang akan disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Sewaktu-waktu bisa dievaluasi kembali.
“Jadi itu kan hanya target. Nanti jelas kita evaluasi lagi terkait data-data yang kita peroleh dari tiap kelurahan. Syukur juga kalau target itu bisa tercapai,” ujar Ahmad.
Ia menjelaskan, target retribusi sampah sebesar Rp4.500.000 itu merupakan target yang ditetapkan untuk skop kecamatan, bukan skop kelurahan.
Jadi, retribusi Rp4.500.000 itu merupakan akumulasi dari 4 kelurahan yang ada di Kecamatan Reok sesuai dengan besaran retribusi sampah per rumah tangga yang ditetapkan dalam Perbup.
“Kalau satu operator hanya mampu 300, ya mau bilang apa. Nantikan gabung dengan Kelurahan lain supaya dapat Rp4.500.000. Itu pun kalau bisa. Kalau tidak yah evaluasi lagi,” imbuh Ahmad.
Kata Ahmad, besaran retribusi sampah yang ditetapkan dalam Perbup, tertinggi Rp800.000 dan terendah Rp5.000.
Besaran itu sudah termasuk sampah berjenis komersial, sampah non komersial maupun sampah penyelenggaraan keramaian.
“Biasanya yang retribusi sampai Rp800.000 itu merupakan sampah yang berasal dari penyelenggaraan keramaian. Kalau keramaiannya melibatkan 2 ribu orang yang jelas produksi sampahnya juga banyak. Nah, otomatis retribusinya juga naik,” jelas Ahmad.
“Ke depan kita melihat data-data dulu. Kalau cocok dengan target retribusi yah lanjut. Tetapi kalau tidak yah kita evaluasi kembali,” imbuh dia.
Sementara terkait keluhan honor dan biaya operator roda tiga, Ahmad menjelaskan, pihaknya sedang berupaya agar hal tersebut juga diperhatikan oleh pemerintah kabupaten.
Selama ini, kata Ahmad, honor untuk opeator roda tiga diambil dari DPA kecamatan yang sudah dianggarkan sesuai kebutuhan. Jika itu belum cukup, maka pihaknya akan tetap berjuang demi kesejahteraan operator.
“Intinya kerja saja dulu dengan tulus. Semua akan diperhatikan. Kedepan pemerintah tidak mungkin menutup mata dengan kondisi itu. Honor para operator diambil dari DPA kecamatan yang memang posnya kecil. Mudah-mudahan ke depan ada perubahan,” tutup Ahmad.
KR: Berto Davids
Editor: Ardy Abba