Oleh: Fortunatus Hamsah Manah
Koordinator Divisi Hukum, Penindakan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa
Bawaslu Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT
Sebaik apapun sistem penyelenggaraan pemilu yang dirancang, selalu terdapat kemungkinan terjadinya pelanggaran yang dapat mereduksi kualitas pemilu.
Untuk itu, sistem penyelenggaraan pemilu yang baik membutuhkan mekanisme kelembagaan terpercaya untuk menyelesaikan berbagai jenis keberatan dan sengketa pemilu.
Mekanisme kelembagaan dimaksud tidak sekedar menyelesaikan sengketa pemilu tetapi juga menjadi tempat memperjuangkan dan melindungi hak-hak warga negara dari pelanggaran.
Pada saat yang sama, hal itu juga berfungsi memperbaiki dan meluruskan kembali sekaligus memulihkan marwah pemilu sebagai landasan terbentuknya legitimasi pemerintahan yang terpercaya.
Mekanisme sistem penyelenggaraan pemilu 2024 yang rumit disertai informasi dan tingkat pengetahuan yang lemah terhadap penyelesaian sengketa pemilu akan berpotensi menjadi sumber masalah dalam menangani kasus-kasus sengketa pemilu.
Masalah fundamental yang paling berbahaya adalah ketika publik meragukan hasil pemilu.
Selain dapat mendelegitimasi juga dapat menimbulkan sikap antipati terhadap pemerintahan yang terpilih.
Bahkan lebih jauh dapat mengganggu stabilitas sosial, politik, dan pemerintahan.
Besarnya ekspektasi masyarakat terhadap pemilu sebagai sarana revolusi politik dan pemerintahan, mendorong beberapa negara di dunia yang tengah dalam konsolidasi demokrasi membentuk institusi-institusi, tidak saja penyelenggara pemilu yang independen tetapi juga mekanisme kelembagaan yang dapat menyelesaikan keberatan dan rasa tidak puas terhadap berbagai pelanggaran selama dalam proses hingga hasil perhitungan suara dan penentuan calon terpilih.
Umumnya negara-negara di dunia termasuk Indonesia membagi dua term penyelesaian sengketa pemilu yakni: pertama, penyelesaian sengketa yang terjadi selama dalam proses tahapan pemilu; dan kedua, penyelesaian sengketa hasil pemilu.
Term penyelesaian sengketa selama dalam proses pemilu diselesaikan melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk aspek-aspek yang berdimensi administrasi, sedangkan pelanggaran pidana dengan kategori tertentu dapat dilakukan di tingkat pengadilan negeri.
Selanjutnya term penyelesaian sengketa hasil pemilu dan penetapan calon terpilih menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK).
Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari berbagai standar penyelesaian keberatan dan Sengketa Pemilu.
Tidak sedikit kelompok reformis dan revolusioner di dunia berhasil meruntuhkan rezim otoriter tetapi gagal dalam melakukan konsolidasi demokrasi hingga mengalami krisis politik berkepanjangan.
Kegagalan bukan karena ketidaksuksesan melakukan reformasi konstitusi dalam menata sistem ketatanegaraan secara menyeluruh tapi lebih disebabkan oleh teknis penyelenggaraan pemilu yang tidak terencana dengan baik dengan perangkat sistem kelembagaan yang kurang memadai dalam menjamin dan melindungi hak suara setiap warga negara dalam proses pemilu yang jujur dan adil.
Artinya sistem penyelenggaraan pemilu yang baik bukan saja karena kesuksesan memungut suara tetapi harus mampu menjamin bahwa suara dari setiap warga negara sampai dan didengar melalui perhitungan yang akurat dan benar hingga ditetapkannya calon-calon terpilih.
Oleh sebab itu, performa sistem penyelenggaraan pemilu yang baik, sejauh mungkin dapat mengantisipasi dan meminimalisir terjadinya pelanggaran dan sengketa pemilu.
Jikapun berbagai pelanggaran dan keberatan hingga berakhir dengan sengketa sulit dihindari, tetapi senantiasa tersedia mekanisme kelembagaan yang kapabel, transparan, akuntabel, efisien, efektif, sederhana, dan berkepastian hukum dalam menyelesaikan berbagai keberatan dan sengketa untuk memulihkan hak-hak warga negara yang terlanggar dan kepercayaan terhadap pemilu serta pemerintahan terpilih.
Kesederhanaan proses penyelesaian sengketa pemilu tidak hanya terletak pada hukum acara atau proseduralnya saja tetapi juga terkait dengan substansi pengaturan setiap tahapan pemilu yang jelas sebagai tolok ukur dalam menilai setiap materi gugatan dan pembuktian.
Secara umum prinsip dasar penyelesaian keberatan dan sengketa pemilu bertujuan untuk menjamin dan memastikan bahwa hak-hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan demokrasi tersampaikan dan didengar.
Tidak sedikit ketentuan-ketentuan internasional maupun nasional lahir untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak asasi manusia termasuk hak untuk berpartisipasi dalam memilih dan dipilih dalam pemerintahan.
Ketentuan tersebut telah diratifikasi Indonesia melalui UndangUndang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenan Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
Ketentuan yang lebih spesifik dan banyak menjadi rujukan dalam standar penyelenggaraan pemilu adalah Declaration on Criteria For Free and Fair Election yang diangkat secara bulat oleh Dewan Antar-Parlemen pada sesi pertemuan 154 di Paris 26 Maret 1994.
Secara umum materi yang diatur dalam deklarasi tersebut ditujukan untuk menjamin hak setiap warga negara secara bebas dan setara untuk ikut memilih dan dipilih tanpa membedakan latar belakang suku, agama, ras, warna kulit, dan kelompok manapun.
Tiga hal yang menjadi perhatian utama deklarasi tersebut adalah: pertama, voting and elections rights (hak-hak pemilihan dan pemungutan suara); kedua, candidature, party, campaign rights and responsibilities (pencalonan, partai, dan hak-hak kampanye dan tanggung jawab); dan ketiga, the rights and responsibility of states (hak-hak dan tanggung jawab negara).
Perhatian Deklarasi Pemilu Bebas dan Jujur terhadap tiga poin di atas, secara tidak langsung memposisikan ketiga bagian tersebut merupakan simpul-simpul krusial yang sangat potensial terjadi pelanggaran dalam tahapan proses penyelenggaraan pemilu.
Perlakuan yang baik dengan penuh kehati-hatian terhadap ketiga poin beserta turunannya dapat meminimalisasi keberatan dan sengketa pemilu.
Sekalipun setiap poin menuntut adanya yurisdiksi berwenang, mandiri, adil, jujur, dan tidak memihak yang dapat menyelesaikan jika terjadi keberatan dan sengketa, tetapi jika didalami ketiga poin tersebut memberikan penekanan bahwa penyelesaian keberatan dan sengketa yang baik adalah mencegah sedini mungkin agar tidak terjadi pelanggaran melalui mekanisme kerja penyelenggara pemilu yang independen, profesional, transparan, akuntabel, efesien, dan efektif.
Meskipun demikian, perangkat lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan keberatan dan sengketa tetap dipersiapkan.
Hal itu tampak mendapat penekanan yang lebih serius terutama jika terjadi kekerasan terhadap hak asasi manusia dan keberatan yang berhubungan dengan proses pemilu.
Filosofi hak-hak asasi manusia yang mendasari setiap konstruksi gagasan deklarasi pemilu bebas dan jujur memetakan kelembagaan penyelesaian sengketa didasarkan pada derajat keseriusan pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Terhadap pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana ringan yang bersifat personal cukup dengan sebuah lembaga keberatan pemilu.
Untuk pelanggaran terhadap proses pemilu yang terkategori besar seperti terorganisir, sistematis, dan masif serta memiliki dampak luas terhadap pelanggaran HAM dan tatanan tertib politik yang lebih luas, penyelesaiannya menuntut sebuah lembaga yang memiliki otoritas besar oleh lembaga peradilan yang mandiri, adil, jujur, dan tidak memihak.
Cukup banyak model penataan kelembagaan penyelesaian keberatan dan sengketa pemilu yang berkembang dalam praktik negara-negara di dunia.
Semuanya tumbuh menurut latar belakang sejarah, sosial, politik, hukum, dan budaya dari masing-masing negara.
Tidak ada format tunggal di antara banyak model yang jauh lebih sukses di banding yang lainnya.
Semuanya tergantung pada kesungguhan dan kemauan politik para pihak yang terlibat di dalamnya.
Secara garis besar, model-model kelembagaan penyelesaian keberatan dan sengketa pemilu yang berkembang di dunia dibagi dalam tiga bentuk antara lain: pertama, Badan Penyelenggara Pemilu (Election Management Body); kedua, Komisi Keberatan Pemilu (Election Complaint Commision); dan ketiga, peradilan pemilu (Electoral Tribunal).
Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu di Indonesia
Berdasarkan Pasal 466 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sengketa proses pemilu meliputi sengketa yang terjadi antarpeserta pemilu dan sengketa yang terjadi antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 102 ayat (3), 468 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (3) Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.
Berdasarkan pasal 95 huruf d Undang-undang 7 Tahun 2017, Badan Pengawas Pemilu berwenang menerima, memeriksa, melakukan mediasi dan ajudikasi serta memutus penyelesaian sengketa proses Pemilu.
Peran Badan Pengawas Pemilu dalam memutuskan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum adalah sebagai Quasi Pengadilan (lembaga yang bersifat mengadili, tetapi tidak disebut sebagai pengadilan merupakan bentuk semi pengadilan).
Atas putusan yang dikeluarkan oleh Bawaslu, para pihak dapat mengajukan upaya hukum atas ketidaksetujuannya terhadap putusan tersebut kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Jangka waktu pemeriksaan dan keputusan paling lama 12 hari sejak laporan atau temuan diterima.
Sedangkan obyek yang disengketakan berupa keputusan atau berita acara yang dikeluarkan KPU/KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Tahapan penyelesaian sengketa dilakukan Bawaslu melalui pengkajian laporan atau temuan serta mempertemukan para pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan.
Jika tidak tercapai kesepakatan, Bawaslu memberikan alternatif penyelesaian sengketa kepada para pihak.
Keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa kepada pihak yang bersengketa merupakan keputusan final dan bersifat mengikat.
Aspek dikecualikan dari keputusan final dan mengikat Bawaslu adalah terkait dengan sengketa Pemilu yang berhubungan dengan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan penetapan calon Presiden dan Wakil Pesiden.
Artinya jika para pihak yang bersengketa tidak puas dengan keputusan Bawaslu mengenai verifikasi partai politik peserta pemilu dan DCT anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, kabupaten/kota dan penetapan calon presiden dan wakil presiden, para pihak dapat mengajukan gugatan tertulis kepada PT TUN.
Mekanisme penanganan sengketa pemilu oleh Bawaslu diatur dengan Peraturan Bawaslu RI Nomor 18 Tahun 2017 tentangTata cara penyelesaian sengketa pemilihan umum.
Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu ditempuh setelah seluruh proses sengketa administrasi di Bawaslu ditempuh dan para pihak yang belum merasa adil dengan Putusan Bawaslu terkait sengketa verifikasi partai peserta pemilu, DCT anggota DPR, DPD, DPRD (Pasal 269 ayat (1), penetapan calon presiden dan wakil presiden.
Pengajuan permohonan gugatan ke PTUN paling lama tiga hari setelah Putusan Bawaslu ditetapkan.
Tenggang waktu perbaikan gugatan paling lama tiga hari dan jika lewat dari tiga hari maka permohonan gugatan kadaluwarsa dan majelis hakim memutuskan gugatan tidak diterima.
Tidak ada upaya hukum terhadap putusan gugatan tidak dapat diterima. PTUN memeriksa dan memutus paling lama 21 hari sejak permohonan gugatan dinyatakan lengkap.
Terhadap putusan PTUN dapat diajukan permohonan kasasi ke MA paling lama 7 hari sejak tanggal diputuskan.
Kasasi merupakan upaya hukum terakhir dan wajib diputuskan oleh majelis hakim paling lama 30 hari sejak permohonan diterima.
Sistem penyelenggaraan pemilu yang baik membutuhkan sistem yang menyediakan mekanisme kelembagaan penyelesaian sengketa pemilu sebagai tempat memulihkan hak-hak warga negara yang terlanggar dan mengembalikan kepercayaan institusi pemilu sebagai institusi demokrasi bagi terbentuknya pemerintahan yang legitimate dan terpercaya.
Secara garis besar sengketa pemilu di Indonesia terdiri dari dua jenis yakni sengketa administrasi dan perselisihan hasil pemilihan umum.
Secara prosedural, Bawaslu adalah lembaga yang berwenang memutus sengketa proses pemilu yang bersifat final dan mengikat di luar sengketa mengenai verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Pengadilan TUN hingga MA adalah lembaga yang berwenang memutus sengketa administrasi pemilu khususnya keputusan KPU mengenai penetapan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu, daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden.