Kupang, VoxNtt.com–Partisipasi perempuan dalam demokrasi politik masih belum optimal bahkan dinilai belum substansif. Dalam partai politik misalnya, rekrutmen perempuan umumnya hanya sebatas formalitas untuk memenuhi kuota yang diwajibkan undang-undang.
Di sisi lain, budaya yang terbangun dalam partai politik sangat lekat dengan budaya kelaki-lakian atau maskulinitas. Akibatnya, banyak perempuan yang merasa kurang percaya diri bahkan tersisihkan dari proses pengambilan keputusan di partai politik.
Melihat fenomena ini, DPD Partai Demokrat NTT menggelar webinar bertajuk “Pentingnya Literasi Politik Bagi Perempuan NTT” yang digelar Jumat, 22 April 2022. Webinar dalam rangka memperingati hari Kartini ini diikuti ratusan kader yang tersebar di seluruh NTT.
dr. Stevi Harman, selaku moderator diskusi menegaskan, esensi peringatan Hari Kartini setiap tanggal 21 April adalah untuk mengingatkan perempuan di Indonesia terhadap usaha emansipasi wanita terutama dalam bidang pendidikan.
Menurut Stevi, webinar ini merupakan langkah awal dari agenda dan komitmen berkepanjangan untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan khususnya di bidang politik.
“Sudah menjadi tugas dari partai politik untuk mendidik masyarakat di bidang ini. Target webinar ini adalah untuk masyarakat umum, khususnya mahasiswa, ibu rumah tangga dan juga bagi para perempuan yang akan berkecimpung di dunia politik praktis,” ungkap politisi muda yang juga mengemban jabatan sebagai Kaban BPPM-Da Partai Demokrat NTT ini.
Rendahnya Sensitivitas Gender
Menurut Andi Nurpati, salah satu narasumber webinar, partisipasi politik perempuan tidak terlepas dari isu kesetaraan gender.
“Secara kebijakan, negara kita memang sudah menyediakan ruang bagi partisipasi politik perempuan. Namun apakah perempuannya sudah bisa dan merasa mampu?” demikian tutur Andi mengawali pemaparannya.
Andi yang merupakan pengurus DPP Demokrat dan juga mantan anggota KPU RI menegaskan, berbicara soal partisipasi perempuan tidak terlepas dari kepekaan semua pihak terhadap urusan keperempuanan. Sebagai contoh, ia mengangkat isu waktu kerja terhadap perempuan yang sedang datang bulan. Menurutnya, masih banyak kalangan yang belum peka terhadap persoalan ini sehingga kaum perempuan terpaksa bekerja dalam ketidaknyamanan.
Dalam partai politik, ia mencontohkan pencalegan perempuan yang masih sebatas memenuhi kuota undang-undang, namun minim literasi dan pemberdayaan politik yang peka terhadap isu keperempuanan.
Karena itu, demikian Andi, memperjuangkan kesetaraan gender dalam politik tidak hanya menjadi tanggungjawab perempuan itu sendiri melainkan juga kepekaan kaum lelaki dalam memahami masalah perempuan.
Senada dengan Andi, DR. Otto Gusti Madung, ketua STFK Ledalero menambahkan, budaya patriarki yang melakat dalam sistem politik harus dibongkar sehingga lebih humanis.
Dominasi budaya patriarki menurutnya membuat kaum perempuan susah berkembang dalam demokrasi politik. Karena itu, agar agenda politik perempuan dapat diketahui maka perempuan sendiri yang harus terlibat.
“Tanpa keterlibatan yang substansial dari perempuan, mustahil demokrasi bisa terwujud,” ungkap Otto.
Lantas apa yang seharusnya dilakukan perempuan agar bisa terlibat dan masuk dalam arena demokrasi politik?
Balkis Soraya, dosen FISIP Undana mengungkapkan 2 faktor yang harus dimiliki perempuan. Pertama faktor internal yang meliputi modal individual sebagai perempuan yang memiliki kepercayaan diri melalui penguasaan kompetensi, prestasi, kemandirian dan kebebasan untuk mengartikulasikan negosiasi dan lobi-lobi dengan konstituen.
Sementara faktor eksternal meliputi dukungan masyarakat dan partai politik itu sendiri dalam memberdayakan kaum perempuan secara berkelanjutan. Perempuan juga harus menguasai teknologi digital demi mendulang dukungan pemilih milenial dalam kampanye. (VoN)