Sebuah Reportase (Bagian 1)
Oleh: Yosef Sampurna Nggarang, Sekretaris Jenderal Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR)
Bagian sayap bendungan Wae Cebong, Desa Compang Longgo, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, rusak parah diduga karena aktivitas pertambangan galian C. Bendungan pun tidak berfungsi. Ratusan hektare lahan persawahan warga di Satar Walang terancam gagal panen.
Warga dan kepala desa setempat sudah sering protes menolak aktivitas pertambangan di wilayah kali dekat bendungan, tetapi justru warga dilapor ke kepolisian oleh pihak penambang.
Warga tidak berdaya, sementara polisi terkesan memihak penambang. Itulah cerita dan berita yang ramai diperguncingkan beberapa bulan terakhir ini di Labuan Bajo, Manggarai Barat (Mabar).
Bila masyarakat Labuan Bajo beberapa tahun ini euforia pariwisata premium, meskipun masih didera konflik agraria, di Compang Longgo warga tetap bergelut dengan kebutuhan dasar (yang jauh dari premium): bertahan hidup dengan sebidang sawah. Namun, itu pun mereka diganggu.
Bukan oleh hama-hama sawah, tetapi oleh sesama manusia yang diduga dengan sengaja mematikan sumber air persawahan mereka.
Sejak tahun 2013 wilayah kali bendungan yang menjadi sumber air persawahan seluas 582 hektare juga menjadi lokasi operasi pertambangan galian C milik kelompok Handel Berseri (HB). Pertambangan ini atas izin Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabupaten Manggarai Barat (Mabar).
Handel adalah sebuah nama kampung yang masuk wilayah administrasi Desa Compang Longgo, dulunya sebelum pemekaran tahun 2012 bagian dari wilayah Desa Watu Nggelek.
Menurut Fabianus Sugianto Odos, kepala desa Compang Longgo, pada tahun 2009 sudah mulai ada aktivitas tambang yang menggunakan alat berat yang diduga milik AJ.
Aktivitas tambang kala itu masih atas nama pribadi, belum atas nama kelompok. Baru pada tahun 2013 keluar izin dari ESDM kabupaten Mabar dan pada tahun yang sama desa Compang Longgo menjadi desa defenitif, di mana dirinya sebagai kepala desa terpilih ikut menandatangani surat Izin Pertambangan Rakyat (IPR) kelompok HB dengan masa berlaku 5 tahun sampai tahun 2018.
Melihat dan merasakan langsung dampak operasi alat berat selama 5 tahun di wilayah kali dekat bendungan, tahun 2018 masyarakat menolak perpanjangan izin galian C.
“Mereka yang menolak itu orang yang namanya masuk dalam anggota kelompok Handel Berseri dan Handel Berubah,” ujar Fabi sapaan akrabnya.
Lanjut Fabi, di tahun yang sama (2018) masyarakat datang membawa surat yang intinya menolak perpanjangan izin kelompok Handel Berseri dan Handel Berubah ke kantor desa, lalu atas surat warga itu Pemerintah Desa (Pemdes) Compang Longgo menindaklanjuti surat warga tersebut dengan mengirim surat ke pemerintah daerah (Pemda) Mabar, namun surat Pemdes tidak direspons.
Pada 30 April 2018, Kepala Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Ir. Samuel Rebo mengeluarkan keputusan perpanjangan izin yang diajukan oleh Kelompok Handel Berseri dengan Nomor: 540/42/DPMPTS/2018, dalam izin baru itu terjadi penambahan luas dari izin sebelumnya 4,4 hektare menjadi 7,7 hektare.
Tidak hanya terjadi perubahan luas, perubahan juga terjadi soal nama, di mana dalam pengajuannya tertulis Kelompok Handel Berseri kemudian berubah jadi nama Perusahaaan Kelompok Handel Berseri dan berkedudukan sebagai direktur atau penanggung jawab perusahaan adalah Dionisius Satyas Pratomo dan nama pemegang saham, yaitu Jhoni Royke Maspekeh.
Sejak perpanjangan izin 2018 itu , warga merasa resah. Mereka khawatir, cepat atau lambat, penambangan akan merusak sayap bendungan dan tahun 2020 terbentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) baru.
DAS baru itu terbentuk di kebun warga yang mana diduga perusahaan HB beroprasi menggali material pasir dan batu.Kekhawatiran itu terbukti, Sejak tahun 2021 lalu, aliran air dari bendungan menuju irigasi areal persawahan seluas 582 hektare kering.
Kondisi demikian menurut warga bukan lagi sebatas gagal panen, tetapi bukan tidak mungkin masuk pada fase tidak bisa tanam lagi jika pemerintah tidak memberi perhatian atas soal ini.
Masyarakat teriak. Nasib ribuan warga di tiga desa, yaitu Compang Longgo, Golo Bilas dan Macang Tanggar terancam. Sawah adalah satu-satunya sumber penghasilan mereka untuk membiayai berbagai kebutuhan termasuk sekolah anak.
Untuk mencegah kerugian yang lebih besar, warga melakukan protes dan penghadangan alat-alat ekskavator di lokasi penambangan.
Protes warga berujung laporan ke polisi oleh penambang kelompok Handel Berseri pada tahun 2021. Beberapa warga dimintai keterangan oleh polisi.
Warga melapor balik, lewat kuasa hukum warga Compang Longgo saat itu Petrus D Ruman, SH melaporkan sejumlah pihak kepada polisi terkait dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh sebuah perusahaan penambang Kelompok Handel Berseri ke Polres Manggarai Barat.
“Kita sudah laporkan beberapa pihak ke polisi atas dugaan tindak pidana. Pihak yang kita laporkan antara lain, Direktur Perusahaan Kelompok Handel Berseri, Dionisius Satyas Pratomo, ST serta Jhoni Royke Maspekeh selaku pemegang saham. Selain itu, turut juga dilaporkan Ir. Samuel Rebo selaku Kadis Penanaman Modal dan PTSP Provinsi NTT serta Kadis Lingkungan Hidup Mabar,” tutur Peter, sebagaimana dikutip media (Floresmerdeka, 14/Juni/2021).
Menurut informasi yang didapat oleh warga, saling lapor tahun 2021 itu berujung damai antara perusahaan HB dan warga. Entah bagaimana saling lapor tersebut berujung perdamaian?
Namun, perdamaian itu tidak menyelsaikan persoalan mendasar, yaitu jebolnya tanggul bendungan, sehingga tidak bisa berfungsi dan terbentuknya DAS baru di lokasi kebun warga. Memang, penambang pernah memperbaiki tanggul seadanya, tetapi tanggul yang diperbaiki tidak bertahan lama.
Pada media Maret 2022 lalu, kepala desa Compang Longgo Fabianus Sugianto Odos dilapor ke Polres Mabar oleh Direktur CV Tiara Mas, Antonius Jomi.
Pihak Polres Mabar memproses laporan tersebut dengan mengirim surat panggilan untuk dimintai keterangan, Fabi memenuhi pemanggilan tersebut.
Selang beberapa hari setelah Fabi diperiksa, Fabi dan kuasa hukumnya Fransiskus Dohos Dor, SH melaporkan beberapa pihak ke Polres Mabar atas dugaan pencemaran nama baik kepada dirinya selaku kepala Desa Compang Longgo.
Namun, laporan tesebut diduga tidak digubris, hingga tulisan ini dibuat belum ada perkembangan. Warga terus protes dan sampai kini, suara protes warga itu tenggelam oleh bunyi alat berat mesin ekskavator perusahaan yang “menjarah” kekayaan sumber daya alam di kali dan kebun warga.
Bayangan ancaman kriminalisasi oleh pemodal terhadap warga yang menderita kerugian selalu datang. Dan perasaan keadilan tiba-tiba menyeruak.
Lantas,apakah masyarakat biasa harus selalu menjadi objek ketidakadilan? Ketika berhadapan dengan kekuasaan, apakah upaya mengejar keadilan oleh warga sederhana sebuah kesia-siaan?
Di mana Pos Polisi yang bisa membela hak-hak petani, juga yang bisa menjaga kekayaan sungai agar tidak dirampas oleh pemodal yang serakah dan bagaimana cara agar bendungan bisa berfungsi kembali, sehingga ancaman gagal panen sawah mereka bisa dicegah?”
keserakahan pemodal yang ingin mendapatkan laba keuntungan dengan mengabaikan nasib warga yang hidupnya bergantung pada aliran air dari bendungan.
Meja kekusaan semestinya sebagai tempat persemaian harapan rakyat. Kekuasaan betul-betul melayani rakyat, bukan melayani pemodal saja. Meja kekuasan itu harus menjadi tempat merumuskan kebijakan agar petani juga “naik kelas” secara ekonomi. Untuk itu saatnya pemerintah dan polisi jangan “memunggungi” mereka.
Eksistensi petani Compang Longgo yang memilik sawah di Satar Walang dan selama ini menjadi “tanggul”dan “Mangkok” pangan (beras) untuk kota pariwisata Labuan Bajo harus terjaga.
Oleh karena itu, jangan menafikan daerah ini sebagai salah satu faktor penentu stabilitas harga beras. Bila Satar Walang panen, maka harga beras normal. Sebaliknya, bila belum waktunya panen, maka harga beras melonjak naik.
Bersambung…