Oleh: Mario Gonzaga Afeanpah
Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial sangatlah berpengaruh dalam kehidupannya. Sehingga segala sesuatu yang menjadi bagian penting dalam kehidupannya, akan selalu diperjuangkan tanpa memanilisasi akibatnya.
Hal ini sangat nyata dalam kehidupan manusia yang kian hari selalu memprjuangkan nilai identitas dan moralnya. Sehingga memiliki niat besar untuk hidup melebihi batasan-batasan kemampuannya.
Konkretnya selalu memperjuangkan segala sesuatu sesuka hati dan semaunya saja. Tanpa memandang identitas moralnya sebagai pijakan setiap langkah kehidupan.
Seorang filsuf eksistensialisme Nietzsche dalam kritikannya tentang moralitas yang terkenal yaitu “genealogi moral” menganggap moralitas semacam hieroglif, atau sebuah tanda-tanda yang menyembunyikan sebuah rahasia kegelapan.
Dalam bukunya, Jenseits vom Guten und Bosen (melampaui baik dan buruk), Nietzsche menggambarkan tentang benda-benda gelap yang dekat dengan matahari yang sama sekali tidak pernah kita saksikan.
Berbicara tentang baik dan buruk, menurut perspektif Nietzsche, terdapat sebuah kenyataan gelap. Moralitas dalam hal ini dianalogikan sebagai terang benderang.
Inilah yang dimaksudkan atau ditafsirkan oleh Nietzsche yang disebut sebagai geneologi moral.
Moralitas dalam pandangan Nietzsche sebagai atau semacam bahasa isyarat dari emosi-emosi. Subjek atau pelaku dari bahasa isyarat menurut Nietzsche adalah rasionalitas, objektivitas, atau universalitas pandangan tertentu.
Tentu hal ini bertentangan terhadap pandangan Rene Descartes tentang rasionalitas, sekalipun konsep rasionalitas dibantah habis-habisan oleh Jean Paul Sartre.
Jargon Rene Descartes dalam argumennya cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) merupakan sumber kekuatan dari seorang manusia berada pada rasionya atau pikirannya.
Tubuh manusia tidak memiliki peran penting dalam hal ini, karena sistem atau pengendali dalam tubuh seorang manusia adalah berasal dari pikirannya.
Kendati demikian, seorang filsuf eksistensialisme kontemporer Prancis Jean Paul Sartre menentang pandangan tersebut.
Ia berpendapat bahwa tubuh adalah diri, dan diri adalah tubuh. Ia meletakkan intensionalisme pada sesuatu yang berwujud yaitu tubuh, dalam hal ini sumber kekuatan pada manusia berasal dari badan atau tubuhnya sendiri.
Kembali pada krisis identitas moral. Pada hakikatnya keduanya adalah hal yang terpisah. Krisis identitas dan krisis moral adalah dua hal yang berbeda tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Keduanya merupakan bagian dari krisis multidimensional. Keduanya harus mampu dipahami dalam konsep yang paling mendasar antara moralitas dan identitas itu sendiri.
Perkembangan pesat teknologi dan kemajuan globalisasi melahirkan generasi yang instan.
Masyarakat cenderung terbatasi dalam melakukan interaksi dengan lingkungan sekitar karena dininabobokan oleh perkembangan teknologi.
Sehingga sangat sulit sekali bagi manusia untuk dapat mengidentifikasi diri dengan komunitas di lingkungan sekitarnya.
Kemajuan teknologi semacam melahirkan sebuah budaya baru di mana mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Hal tersebut merupakan perspektif dari sisi moralitas.
Dan dari sisi identitas, kecenderungan manusia dalam suatu negara mengonsumsi berbagai produk dari negara-negara maju.
Hal ini bertendensi bagi masyarakat untuk mempraktikkan budaya atau gaya hidup negara-negara maju, di mana dapat kita saksikan bersama secara realitas generasi bangsa kita saat ini yang sudah kecanduan budaya-budaya luar.
Walaupun secara harfiah, realitas menurut Albert Eisten adalah ilusi, tetapi sifatnya memaksa.
Tidak heran saat ini generasi kita hampir melupakan dan tidak mampu mengenali identitas dari bangsanya sendiri.
Krisis identitas ini yang merupakan bentuk kewaspadaan yang harus mampu untuk dapat ditinjau kembali.
Menurut Durkheim dalam bukunya Lukes 1972, ia berpendapat bahwa nilai-nilai, norma-norma, dan keyakinan-keyakinan yang merupakan bagian dari moralitas dimiliki secara bersama oleh setiap anggota suatu masyarakat.
Intensitas menunjukkan sejauh mana moralitas atau kesadaran kolektif itu memiliki kekuatan untuk mengarahkan pikiran, sikap, dan tindakan seseorang.
Determinateness menunjukkan tingkat kejelasan setiap komponen yang merupakan bagian moralitas, atau muatan yag berkaitan dengan perbandingan jumlah antara simbol-simbol yang bersumber pada religi atau agama dan pemikiran sekuler yang menjadi bagian dari moralitas.
Bila sistem moral tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya, artinya bila keseimbangan antara kebutuhan dan kehendak individu dengan kebutuhan dan kehendak masyarakat keseluruhan bisa tetap terjaga, maka suatu kelompok masyarakat tidak akan mengalami permasalahan moral.
Krisis moral baru mulai timbul apabila berbagai unsur moralitas mulai mengalami erosi.
Sebagian anggota masyarakat tidak lagi merasa terikat dengan aturan-aturan moral yang telah menjadi kesepakatan bersama.
Moralitas mengalami pelemahan sehingga tidak lagi memiliki otoritas atau kekuasaan untuk tidak mengendalikan sikap dan perilaku anggota masyarakat.
Tidak terjadi lagi kemarahan moral atau moral outrage dari sebagian besar anggota masyarakat terhadap seseorang yang melanggar aturan moral.
Problemnya adalah penyebab terjadinya krisis moral dan krisis identitas adalah disebabkan oleh kebijakan pemerintah itu sendiri.
Pemerintah terlalu menekankan pada industrialisasi dan modernisasi di bidang ekonomi, sementara pembangunan budaya dan karakter bangsa ditelantarkan.
Krisis moral dan krisis identitas yang terjadi disebabkan karena tidak terbangunnya sebuah moralitas bangsa yang kuat.
Serta adanya niat yang begitu besar dari masyarakat untuk tetap berlabuh dalam industrialisasi dan modernnisasi.
Sehingga sangat sulit untuk merebut kembali kekhasan dalam diri manusia atau masyarakat yang sudah lama tertanam dalam jati dirinya, sebagai manusia yang kaya akan nilai-nilai kehidupan, yang memanusiakan dirinya sebagai manusia.
Dalam kritik Nietzsche tentang geneologi moral, bahasa isyarat-isyarat dari emosi-emosi yang dimaksudkan di sini jika kita korelasikan atau mencoba menarik satu benang merah atau konklusi adalah kebijakan pemerintah, dalam hal ini disebut sebagai sebuah rasionalitas atau objektivitas yang menjadi kegelapan yang dekat dengan matahari atau sumber cahaya yang terang benderang yang dimaksudkan sebagai moralitas.
Sehingga disini diharapkan agar pemerintah dan juga masyarakat, diharapkan dapat membangun sebuah pola hidup yang sungguh menggambarkan dan mengartikan nilai-nilai moral yang sudah terkandung lama dalam diri setiap pribadi yang diatur dalam moral hidup bersama.
Bukan mengambil yang ada pada diri orang lain serta menjadikannya sebagai pedoman hidup.
Melainkan berani menjalani hidup dengan apa yang sudah dihidupi dalam hal ini kekhasan pribadi. Sehingga dengan berbagai tawaran yang datang dalam setiap zaman sungguh dihidupi dan dijalani sesuai hakikat kita sebagai pribadi yang “bermoral dan beridentitas”.
Akhirnya hakikat kebaikan bersama atau bonum commune sendiri sungguh dirasakan. Serta keutamaan identitas diri pula dapat menjadi dasar dalam mengarungi dunia industriliasasi dan modernisasi yang semakin memuncak saat ini.