Oleh: Wily K.
Ketua Lembaga Kajian Politik dan Hukum Manggarai, Tinggal di Manggarai
Sesuatu “yang berbeda” dari yang lain akan menjadi perhatian banyak orang. Yang berbeda itu tentu beragam.
Salah satunya adalah soal pelaksanaan kekuasaan oleh politisi terutama wakil rakyat di senayan.
Benny Harman boleh dibilang salah satu politisi yang berbeda dengan yang lain itu. Apanya yang beda?
Ini pertanyaan sederhana namun sarat makna. Ia dibilang salah satu di antara mayoritas politisi senayan yang menjadi anggota dewan dengan kekuasaan sangat lama.
Empat periode menjadi wakil rakyat tidaklah mudah. Itu berarti ia wakil rakyat senior.
Namun, senioritas bukan satu-satunya alasan yang membuat dirinya menjadi anggota dewan yang berbeda dengan yang lainnya.
Satu hal yang tak boleh luput dari perhatian publik adalah peran Benny Harman sebagai pejuang demokrasi.
Pejuang Demokrasi
Demokrasi bukan gratis atau turun begitu saja dari langit biru melainkan sesuatu yang diperjuangkan. Inilah prinsip yang dipegang oleh siapapun termasuk Benny Harman tentunya.
Rupanya prinsip ini telah menjiwai perjuangan Benny Harman selama menjadi wakil rakyat. Demokrasi membutuhkan ongkos sosial, psikologis, ekonomi dan politik yang tidak sedikit! Apakah ini mengada-ada? Tentu tidak.
Ia merupakan salah satu wakil rakyat yang sudah mendapat penghargaan kategori Outstanding Parliementarian Award of Law and Justice pada tahun 2021.
Dengan menjadi pejuang demokrasi berarti ia telah menjadi pejuang yang melawan korupsi. Pada saat yang sama pula menjadi pejuang keadilan.
Tidak lebih tidak kurang begitu. Sebagai pejuang demokrasi, ini sama sekali tak mudah dibuat di negeri surga bagi koruptor ini.
Di sini dituntut keberanian dan keberanian ini hanya dimiliki orang yang bersih dari persoalan korupsi.
Saya meyakini bahwa karena alasan inilah yang membuat Benny Harman menulis buku tentang gurita korupsi berjudul “Negari Mafia Republik Koruptor”.
Korupsi erat hubungannya dengan kekuasaan. Korupsi selalu berpangkal dari situ. Itu alasannya, Lord Acton pernah bilang bahwa kekuasaan itu cenderung korup.
Karenanya, kekuasaan mesti diawasi agar lebih beradab. Logisnya begini: manakala politisi semacam Benny Harman mengawasi praktek kekuasaan, itu berarti dirinya telah menyesaikan proyek pemberadaban kekuasaan.
Apakah ini suatu keharusan? Jawabannya ya. Kekuasaan harus diberadabkan sama dengan mengatakan kekuasaan mesti berbasiskan moralitas.
Meski begitu, Benny Harman semestinya menyadari betul bahwa kekuasaan yang ideal seperti yang diimpikan tak ada di dunia ini.
Kekuasaan semacam itu hanya ada di dunia lain. Idealisme kekuasaan selalu tak sejalan dengan realisme kekuasaan.
Realisme Kekuasaan
Kekuasaan mempunyai anatominya sendiri. Bolehlah di sini kita membedahnya meski tak sebegitu dalam.
St. Agustinus, seorang teolog kenamaan, pernah bilang bahwa kekuasaan itu mempunyai kecenderungan untuk menyakiti orang (libido nocendi).
Selain itu, kekuasaan mempunyai nafsu menguasai (libido pricipandi), tulis Daniel Dhakidae (Kompas, 2015).
Apa yang saya katakan ini mungkin terasa abstrak, maka perlu contoh berikut.
Pertama, soal libido nocendi. Politisi A yang sedang teracam kehilangan kekuasaan akan cenderung menggunakan kekuasaannya untuk menyakiti lawan politiknya. Menyakiti dengan cara apapun termasuk menyebarkan berita bohong.
Memanipulasi kebohongan menjadi kebenaran melalui media massa dan media sosial. Membunuh karakter politisi lawan dengan skenario licik dan seterusnya.
Selanjutnya, tabiat kekuasaan yang cenderung menguasai, bisa dipahami dengan contoh sederhana ini.
Kedua, Politisi B yang merasa terancam kekuasaannya akan menguasai politisi saingannya dengan menghalalkan berbagai cara, sekalipun itu tidak manusiawi.
Inilah realisme kekuasaan. Rupanya realisme kekuasaan semacam ini direkam dengan baik oleh Niccolo Machiavelli pada zamannya dan masih relevan hingga kini.
Konsekuensi
Perjuangan mewujudkan idealisme kekuasaan oleh para politisi termasuk Benny Harman bukan tanpa konsekuensi.
Di sini, saya teringat kata Tan Malaka, pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia bilang begini: “orang yang memperjuangkan kemerdekaan bangsanya harus rela kehilangan kemerdekaannya, bahkan kemerdekaannya sendiri”.
Ini mudah terucap tapi sulit dibuat. Satu yang pasti bahwa agenda ini tak hanya membutuhkan kecerdasan. Juga tak hanya mengandalkan integritas moral semata.
Begitu banyak politisi yang cerdas dan bermoral namun tak ada kemauan untuk melaksanakannya. Tentu Benny Harman memahami ini dengan baik.
Dirinya mesti rela kehilangan kemerdekaannya. Rela dihujat, dicemooh, dicaci-maki, dibenci dan seterusnya oleh siapa pun terutama para politisi yang tak tampak, bersembunyi di lorong gelap kekuasaan.
Katakanlah mereka itu sebagai “tangan gaib” yang tak kelihatan tapi membunuh karakter pribadi secara kejam. Inilah konsekuensi menjadi pejuang demokrasi sejati.