Borong, Vox NTT- Tim TJPS Kecamatan Lamba Leda Utara (LAUT) yang terdiri dari unsur pemerintah kecamatan, Balai Penyuluh Pertanian (BPP) kecamatan, para kepala desa, dan pendamping program TJPS serta kelompok masyarakat, serius m melakukan sosialisasi Program Tanam Jagung Panen Sapi (TJPS) periode Oktober – Maret seluas 7000 hektare di wilayah itu.
Buktinya, tim yang dipimpin Camat LAUT, Agus Supratman itu melakukan sosialisasi keliling kampung di malam hari setiap Mbaru Gendang atau Rumah Adat.
Hal ini untuk membangun komitmen bersama Tu’a Teno atau Kepala Adat dan warga Pa’ang Ngaung (Masyarakat Adat) setempat demi menyukseskan program TJPS dengan target 7000 hektare.
Hal ini dilakukan demi menggandeng seluruh lembaga adat setempat untuk mengambil bagian langsung sebagai penggerak sekaligus pelaku program TJPS.
Sejauh ini, 17 Mbaru Gendang di LAUT dari 21 titik target sudah dikunjungi sampai jatuh tempo akhir Juni mendatang. Sebab telah ditetapkan secara tim, pencanangan star mulai bersih lahan secara bersamaan pada tanggal 1 juli mendatang.
Secara bergantian tim mengedukasi warga sesuai tugas yang telah ditetapkan secara tim.
Kepala desa pemilik wilayah bertugas memandu acara, sekaligus memberi arahan maksud dan tujuan kegiatan.
Camat membahas agenda pokok dari program dan kegiatan secara garis besar, BPP membahas teknis pendampingan. Lalu, pendamping mengedukasi teknis pelaksanaan Program TJPS
Camat LAUT sekaligus sebagai Ketua Tim TJPS Kecamatan Agus Supratman mengungkapkan, pelaksanaan pendekatan sosialisasi melalui Mbaru Gendang dengan maksud dan tujuan tertentu.
“Dua hal penting menjadi target pelaksanaan pendekatan soaialisaai melalui Mbaru Gendang adalah pertama untuk memberi mandat kepada Tu’a Teno atau Kepala Lembaga Adat setempat sebagai penggerak program TJPS. Kedua, karena Tu’a Teno setempat sebagai pemegang kuasa secara adat atas hak ulayat milik warga gendang,” ucap Agus.
Hal lain yang menjadi pertimbangan tim, menurut Agus, adalah efisiensi waktu dan kemudahan akses bertemu warga di musim panen.
“Sekarang memasuki musim panen. Siang hari warga sibuk di sawah atau kebun. Untuk itu kami menyesuaikan dengan waktunya warga. Malam hari mereka semua ada di tempat. Jalannya pertemuan syarat rasa kekeluargaan dan lebih rileks karena tidak bersifat formal kepemerintahan, namun syarat nilai sakralitas adat sebab dilaksanakan di dalam Mbaru Gendang,” kata Agus. [*]