Oleh: Bapthista Mario Yosryandi Sara
(Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, Universitas Karyadarma Kupang)
Di era globalisasi, setiap insan senantiasa diharapkan untuk inovatif, mengubah mindset, dan mampu beradaptasi dengan pelbagai fenomena sosial serta perubahan itu sendiri.
Siapa pun harus cekatan mengakulturasi gagasan dan mengaktualisasi diri. Tak mengenal struktur sosial, kelas ekonomi dan background pendidikan.
Siklus perubahan itu selalu hadir dan berdampak secara merata dan berkesinambungan dalam sendi kehidupan.
Begitu pun lingkungan birokrasi pemerintahan di Indonesia. Seorang abdi negara secara situasional harus mengakomodasikan perubahan secara kreatif, demokratis dan konstitusional, dengan mengawal stabilitas dan integrasi nasional (baca ; global governance).
Untuk mendukung perubahan positif mengenai tata kelola birokrasi, para abdi negara membutuhkan keseimbangan. Dikarenakan roda pemerintahan itu sendiri, didorong dan digerakan oleh aparatur negara.
Namun demikian, birokrasi tak bisa dilihat dari aspek aparatur atau birokrat semata melainkan diamati sebagai bentuk kompleksitas dari sistem pemerintahan.
Erwan Agus Purwanto (2009) menegaskan bahwa, birokrasi merupakan instrumen bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa.
Tujuan pembangunan yang dirumuskan melalui proses politik, kemudian disepakati menjadi dokumen kebijakan berupa Undang-undang dan berbagai bentuk kebijakan strategis yang lain, pada akhirnya akan sangat tergantung pada kemampuan birokrasi dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut.
Oleh karena itu, tanpa birokrasi handal, maka pelbagai aturan dan pedoman yang disepakati bersama untuk melayani dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat hanya akan menjadi tumpukan kertas tak bermakna.
Potret Buram Birokrasi
Melihat realitas birokrasi Indonesia hari ini tentu masyarakat akan berpandangan sinis, mengingat terdapat kompleksitas permasalahan.
Mulai dari maraknya praktik KKN, integritas aparatur bermasalah, payung hukum kontradiktif dan ambigu, hasil rekrutmen dan penempatan pejabat yang tidak objektif dan kontraproduktif (spoil system), pelayanan publik yang tidak berkualitas dan transparan, lemahnya supremasi hukum dan HAM, sentralisasi kebijakan, dsb.
Potret birokrasi demikian, bertanda bahwa ikhtiar dan semangat reformasi birokrasi kian tak menentu atau mengalami degradasi value dan cita-cita.
Satu dekade terakhir pemerintah telah gencar memproduksi berbagai bentuk regulasi, tapi belum dioptimalkan secara demokratis, akuntabel, dan efisien.
Polemik tersebut dapat dicermati berdasarkan laporan dari situs Kemenpan RB, akhir tahun (31/12) kemarin.
Diterangkan bahwa, indeks reformasi birokrasi lingkup kementerian dan lembaga 73,91 di tahun 2019 menjadi 74,93 pada tahun 2020, serta pemerintah provinsi dari 64,23 menjadi 64,28.
Sementara pemkab dan pemkot mengalami penurunan di tahun 202, yakni dari 55,97 menjadi 53,85. Secara objektif data tersebut tidak simetris dengan laporan tren pengaduan masyarakat atas kualitas pelayanan publik.
Bilamana hingga akhir Oktober tahun 2021 terdapat 466 aduan dalam sehari, dan tahun 2020 berakhir pada 3,84.
Lalu persepsi kualitas pelayanan publik di tahun 2020 menunjukan 3,54 pada tingkat kementerian dan lembaga, 3,50 di tingkat pemerintah provinsi, dan 3,48 untuk tingkat pemerintah kabupaten dan kota. Teradapat lagi indeks persepsi antikorupsi tahun 2020 berada di angka 3,68 tingkat kementerian dan lembaga dan 3,62 untuk pemerintah provinsi, kabupaten dan kota.
Paradoks ketidakrelevan data lantas menghadirkan kausa, apabila substansi persoalan penataan birokrasi di Indonesia masih terkonsentrasi terhadap perubahan struktural, terutama berhubungan dengan kelembagaan dan ketatalaksanaan.
Sebagaimana ditulis Agus Purwanto (2009), dalam bidang kelembagaan reformasi birokrasi dilakukan dengan restrukturasi birokrasi yaitu sekadar mengotak-atik struktur organisasi birokrasi.
Ini dikarenakan euforia reformasi politik tidak berimbang dengan reformasi birokrasi yang visioner tentang bagaimana strategi kebijakan dan administrasi publik, maka berdampak pada upaya yang selama ini dilakukan mengalami stagnasi.
Apakah kompleksitas polemik di tubuh birokrasi hari ini, terpengaruh oleh struktur birokrasi Weberian sebagaimana sifatnya yang hirarkis, terkotak-kotak pada satuan yang kecil, sempit, gagal membangun interkoneksi efektif, orientasi pada kontrol dan proseduralisme berlebihan?
Mengutip perspektif Agus Dwiyanto (2009) jika penerapan struktur demikian akan membuat birokrasi sering gagal merespon dinamika sosial dan ekonomi yang terjadi dalam masyarakatnya secara wajar.
Perihal birokrasi Weberian pada akhirnya menghadirkan spekulasi. Januari (14/01) lalu, Media Indonesia (MI) mempublikasi sebuah artikel berisikan rapor penilaian dari Ombudsman RI pada tahun (21/12/21) kemarin, atas kepatuhan standar pelayanan seluruh kementerian, lembaga, dan Pemda sebanyak 587 entitas.
Hasilnya, secara keseluran hanya 30,5% atau sebanyak 179 yang diniliai dikategorikan patuh menerapkan standar standar pelayan publik. Kepatuhan entitas kementerian mencapai 70,8%, sedangkan lembaga 80% berbanding dengan kepatuhan Pemda.
Sektor Pemda menjadi titik paling parah karena dari 548 (provinsi, kabupaten, dan kota) yang dinilai, hanya 27% dikategorikan zona hijau dengan predikat kepatuhan tinggi.
Kemudian, sebanyak 55.1% masuk kategori zona kuning atau predikat kepatuhan sedang, dan 16,7% masuk zona merah dengan predikat kepatuhan rendah.
Laporan tersebut masih kontra-prosedural terhadap road map reformasi birokrasi, peraturan (rule based bureaucracy) menuju performance based bureaucracy demi tercapainya good and clean government.
Mengingat, birokrasi hirarkis dan fragmented yang sekadar mengetahui hubungan vertikal, cenderung memperkecil optimalitas pemanfaatan informasi karena menghambat akses birokrasi untuk pemanfaaatan informasi yang tersedia di satuan birokrasi lainnya.
Reaktualisasi Road Map
Secara umum, reformasi birokrasi adalah proses menata ulang, mengubah, memperbaiki agar menjadi lebih baik.
Pada hakikatnya reformasi birokrasi adalah upaya untuk melakukan pembaharuan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintah dalam rangka mewujudkan good governance.
Reformasi birokrasi bertujuan untuk menciptakan birokrasi pemerintah professional dengan karakter adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bebas KKN, mampu melayani publik dan taat terhadap nilai-nilai dasar dan kode etik sebabagai abdi negara.
Sedangkan pelaksanaan reformasi birokrasi dilakukan berlandaskan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia 2010-2025, dan Peraturan Menpan-RB Nomor 18 Tahun 2021 tentang Road Map Reformasi Birokrasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tahun 2020-2024.
Landasan urgensi reformasi birokrasi dari kedua pedoman di atas, memiliki misi untuk mereduksi sekaligus mengubah ketimpangan dalam tubuh pemerintahan.
Maka sepadan dengan hasil kajian birokrasi pembagunan di Indonesia yang dilakukan oleh Bappenas dan Pascasarjana Magister Admisnistrasi Publik Universitas Gadjah Mada (2010), apabila terdapat tiga isu besar reformasi birokrasi yakni aparatur, organisasi birokrasi, dan mekanisme atau tata hubungan antar organisasi.
Dari hasil kajian tersebut, maka dibutuhkan aparatur yang profesional, birokrasi yang modern dan berdaya saing internasional, serta diimbangi dengan tata pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel.
Di satu sisi, ibarat pasar, birokrasi mempertemukan supply and demand for corruption. Institusi dan mekanisme birokrasi sering menciptakan aktor-aktor pemburu rente, baik di dalam atau di luar birokrasi yang melihat adanya peluang untuk menciptakan rente dari mekanisme dan institusi birokrasi.
Dengan itu, agenda merekrontruksi birokrasi sebagai pondasi pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat, publik harus bersolidaritas dan menggalakkan pengawasan.
Sebab birokrasi yang buruk akan selalu menciptakan pasar bagi terjadi praktik KKN demi memperoleh privileges dari pemerintah dan birokrasinya.
Maka dari itu penulis sependapat dengan gagasan Sugiarto (2021), sebagai bentuk transformasi maka dibutuhkan reaktualisasi kebijakan meliputi kualitas perbaikan layanan, manajemen kinerja, manajemen organisasi dan perbaikan sistem pengawasan.
Hal tersebut diharapkan berjalan efektif dengan didukung oleh empat pilar anatara lain kemampuan digital, budaya organisasi, integritas, dan inovasi sehingga birokrasi adaptif, agile, dan fluid yang berkelas dunia dapat terwujud.
Tentunya masyarakat mencita-citakan apabila dalam mewujudkan birokrasi yang adaptif, agile, dan fluid maka dibutuhkan kesadaran, moralitas aparatur, dan kolaborasi pemerintah pusat dan daerah, serta peran dari masyarakat.
Paradigma ini diharapkan dapat mengubah orientasi kerja aparatur negara menjadi networking goverment sekaligus menghilangkan jejak perilaku KKN, abuse of power dan melindungi masyarakat dari “hommo homini lupus, bellum omnium contra omnes”, yakni “mencegah manusia agar tidak berubah menjadi serigala yang menerkam manusia lainnya”.