Oleh: Ano Parman
Warga Lembor Selatan-Mabar
Pemilihan presiden dan wakil presiden masih lama, tapi elit partai politik sudah mulai kasak kusuk mencari rekan koalisi. Mereka saling mengujungi satu sama lain dan melakukan pertemuan tertutup dengan bungkusan silahturahmi kebangsaan.
Kita tak tahu apa isi pembicaraan dalam pertemuan itu, tapi dalam jumpa pers bersama, biasanya terungkap jawaban yang menjadi langganan elit negeri ini: Bicara masalah bangsa, mulai ekonomi, sosial, politik dan masalah bangsa lainnya serta membahas renspon politik yang perlu dilakukan agar masalah-masalah tersebut dapat diselesaikan.
Namun, publik tak percaya penjelasan semacam itu, mengingat elite kita biasa berkilah. Karena itu, publik tetap berkata bahwa pertemuan itu bertujuan mencari titik temu dan menjajaki peluang kompromi dalam rangka menyusun kerja sama politik dalam pilpres 2024.
Buraman
Ada 3 partai politik yang sudah meneken kesepakatan koalisi, yakni Golkar, PAN dan PPP. Ketiga partai tersebut tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). KIB ini menguasai 23,67 persen kursi di DPR.
Mengikuti langkah KIB, parpol lain juga tak mau tinggal diam dan terus gerilya membentuk poros politik baru. 3 partai yakni Nasdem, Demokrat dan PKS diprediksi akan membentuk poros kedua. Kemungkinan ini cukup kuat di tengah hubungan ketiga partai tersebut terlihat semakit erat. Poros ini menguasai 25,03 persen kursi di DPR. Selanjutnya, poros ketiga kemungkinan akan muncul dari 2 partai yakni Gerindra dan PKB. Poros ini menguasai 22,26 persen kursi di DPR.
Sedangkan, PDIP yang punya golden tiket dan bisa mengusung sendiri pasangan capres dan cawapres belum terlihat ikut dalam arus kasak kusut itu. PDIP sendiri meraup 27.053.961 suara sah atau setara 19,33 persen di DPR sehingga bisa membuat poros sendiri sekalipun tanpa berkoalisi dengan partai lain.
Dalam Rakornas PDIP akhir Juni lalu, Megawati Soekarnoputri mengatakan tak akan buru-buru membicarakan pilpres 2024 meskipun partai lain sudah mulai membahasnya bahkan membentuk koalisi. Sebagai mandataris kongres, Megawati mengaku memiliki hak prerogatif memutuskan capres yang akan diusung partai banteng itu.
Berdasarkan buraman tersebut, kemungkinan akan ada 4 poros dalam pilpres 2024 mendatang. Keempat poros itu masing-masing memiliki kingmaker yang memainkan peran krusial di balik layar termasuk menentukan jagoan yang akan diusung koalisi.
Tentu saja buraman ini masih mentah dan berlaku sementara sebab dinamika politik masih cair. Fenomena bongkar-pasang, kawin-cerai bisa saja terjadi tergantung perkembangan politik yang ada. Tapi, pada waktunya, spekulasi ini akan berakhir saat pendaftaran bakal pasangan capres dan wapres dibuka September 2023 mendatang.
Pragmatis
Koalisi partai politik di Indonesia sangat pragmatis dan berorentasi pada kekuasaan belaka. Pada tahap pra pilpres, koalisi digagas untuk memenuhi ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen dari total kursi DPR atau 25 persen dari total suara sah nasional pemilu 2019.
Setelah mencapai ambang batas, koalisi akan mencari figur yang memiliki elektabilitas tinggi dan isi tas cukup untuk diusung dalam kompetisi pilpres. Sedangkan “tas-tas” lain seperti kapasitas, integritas dan kapabilitas kurang diperhatikan bahkan tidak diperhitungkan sama sekali.
Setelah mendapat tiket bertarung, tahap berikutnya anggota koalisi bersama pasangan calon yang diusungnya berjibaku merebut dukungan pemilih supaya bisa memenangkan kompetisi. Jika menang, maka partai koalisi akan mendapat jatah dan mengambil bagian dalam kekuasaan.
Selanjutnya, kerja koalisi melangkah ke tahap konsolidasi politik untuk mengamankan kekuasaan dari gangguan parlemen. Di sini, peran fraksi sebagai perpanjangan tangan partai politik amat penting dan menentukan. Sebab dia berfungsi sebagai operator yang mengendalikan kadernya di parlemen agar bisa mengamankan kepentingan dan program-program pemerintah.
Keadaan demikian memaksa wakil rakyat di senayan membebek di belakang pemerintah, meskipun bertentangan dengan ideologi dan aspirasi politik konstituennya. Hal ini yang membuat anggota DPR tidak lagi menjadi wakil rakyat melainkan wakil partai politik. Kebebasan kader dipasung sehingga tak berdaya mengawasi kinerja pemerintah. Kader yang berani menentang sikap dan kebijakan fraksi akan disingkirkan dengan dalil tak loyal pada partai.
Jadi, utusan rakyat dari partai koalisi di DPR hanya menjadi stempel pemerintah dan alat legitimasi kekuasaan presiden. Sebab tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat sudah didikte oleh kehendak penguasa partai politik yang bercokol di lingkaran istana.
Akibat tukar tambah politik itu, presiden tersandera oleh kepentingan partai koalisi. Presiden tak lagi bersikap presidensial tapi mereduksi dirinya sebagai pelayan partai politik. Semakin besar koalisi, maka presiden semakin sulit bergerak mengelola pemerintahan. Kebijakannya akan tersendat-sendat akibat proses negosiasi berliku-liku dengan koalisinya.
Koalisi Ideal
Koalisi harus dibangun di atas kesamaan ideologi dan pandangan politik dengan tujuan memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, sifatnya strategis dan berlaku jangka panjang, bukan kerja sama taktis yang berlaku jangka pendek.
Koalisi dalam pemerintahan presidensial harus diarahkan untuk memperkuat posisi presiden selaku kepala pemerintahan agar agenda-agenda pembangunan berjalan sukses. Tidak boleh ada pikiran dan upaya dari koalisi untuk membebani apalagi menyandera presiden menggunakan mandat rakyat dalam menjalankan pemerintahannya.
Yang perlu dilakukan oleh semua partai politik termasuk partai koalisi, memastikan bahwa penyelenggaran pemerintahan berjalan di atas rel konstitusi dan kehendak rakyat. Di sini, partai politik harus memainkan perannya sebagai perkakas rakyat untuk berbicara dengan kekuasaan mengenai apa saja yang perlu dilakukan untuk kesejahteraan bersama.
Perlu disadari, bahwa kedudukan presiden dalam sistem pemerintahan presidensial cukup kuat dan tidak dapat dijatuhkan secara politik oleh parlemen. Alasanya, presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum dan bertanggung jawab kepada konstitusi bukan kepada parlemen.
Karena itu, presiden tak boleh takut apalagi tunduk di bawah kemauan koalisi hanya karena khawatir kehilangan dukungan parlemen. Betul bahwa presiden sebagai chief executive perlu melakukan konsolidasi elit, tapi upaya itu harus diletakan dalam kerangka merawat kebersamaan untuk mewujudkan stabilitas pemerintahan dan kesuksesan agenda pembangunan.
Ingat! Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih akan menentukan nasib ratusan juta jiwa rakyat negeri ini. Karena itu, elite tak boleh main-main membicarakan koalisi. Penjajakannya mesti dilakukan secara serius dengan kehendak luhur untuk kemajuan bangsa dan negara.