Ano Parman
Warga Kecamatan Lembor Selatan-Manggarai Barat
Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum adalah hak asasi warga negara. Hak itu dijamin dan dilindungi oleh konstitusi. Tak boleh ada orang atau lembaga apapun yang dapat menghambat apalagi menghilangkan hak itu. Sifatnya natural rights dan tak terberikan tapi melekat pada pribadi manusia itu sendiri.
MK dalam putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003, menegaskan “hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional. Karena itu, pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara”.
Penegasan MK di atas merupakan penyataan sikap konstitusional perihal hak asasi warga negara yang sifatnya fundamental dan tak boleh dilanggar. Sebab di tengah administrasi daftar pemilih yang belum mapan seperti saat ini, rentan sekali hak warga negara untuk memilih dan dipilih dilanggar bahkan dibaikan.
Namun, dalam kondisi tertentu hak itu dapat dibatasi, asal tidak menyangkut SARA. Dibatasi tak berarti melanggar, asal proporsional dan tak berlebihan. Takarannya rasionalitas dan manfaat yang dituju oleh pembatasan itu. Misalnya, ada aturan yang membatasi orang gila untuk memilih. Larangan tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa orang gila tidak cakap dalam menggunakan hak pilihnya.
Demikian juga soal pembatasan hak warga negara dipilih dalam pemilihan umum. Dalam undang-undang pemilu ditentukan kriteria tertentu yang wajib dipenuhi untuk mengisi suatu jabatan. Kriteria itu membolehkan warga negara tertentu, di sisi lain membatasi warga negara lain. Pembatasan itu dibuat sesuai dengan kebutuhan jabatan yang akan diisi. Jadi, pembatasan demikian tak melanggar hak asasi.
Organ Vital
Daftar pemilih adalah organ vital pemilu. Tanpa itu, pemilu sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat tak mungkin terlaksana. Demikian halnya, kalau warga negara tak terdaftar, maka hak memilih dan dipilihnya tak dapat terfasilitasi.
Lihat saja Pasal 199 UU 7/2017 Tentang Pemilu yang mengatur bahwa untuk dapat menggunakan hak memilih, seorang warga negara harus terdaftar sebagai pemilih. Selain itu, Pasal 169 huruf l, Pasal 182 huruf i dan Pasal 240 ayat (1) huruf i mengatur bahwa untuk dapat menjadi peserta pemilu paslon Presiden dan Wapres, calon anggota DPD dan calon anggota DPR/DPRD seseorang harus terdaftar sebagai pemilih.
Berdasarkan konstruksi pasal-pasal di atas, bisa dikatakan bahwa terdaftar sebagai pemilih dapat dikategorikan sebagai syarat primer bagi warga negara untuk dapat memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Namun demikian, pada prinsipnya, daftar pemilih itu hanya prosedur administratif yang tak boleh menghambat hak asasi warga negara menyalurkan kedaulatannya dalam pemilihan umum. Sebab idealnya daftar pemilih itu menampung semua warga negara yang memenuhi syarat menjadi pemilih.
Untuk itu, KPU tak boleh main-main dengan daftar pemilih. Kedudukannya amat penting dan menentukan. Karena itu, perlu digarap secara tuntas dan menyasar semua lapisan pemilih dimana pun berada. Tak boleh ada seorang pun yang terlewatkan termasuk penyandang disabilitas.
Sejauh ini, KPU memang sudah berihtiar menyempurnakan daftar pemilih. Berbagai cara dilakukan termasuk penerapan teknologi informasi dalam berbagai bentuknya. Namun, sampai sekarang persoalan daftar pemilih tak kunjung kelar. Tentu ada banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi dan menjadi pekerjaan rumah ke depan. Yang penting adalah sengkarut daftar pemilih itu perlu dibedah dengan jernih agar paham masalahnya dan tahu jalan keluarnya.
Kita semua berharap agar ihtiar mulia KPU itu pada akhirnya bisa menghasilkan daftar pemilih yang cermat dan akurat. Pasti saja ada tantangan yang dihadapi KPU, tapi publik percaya lembaga ini bisa atasi itu dengan baik sebab sudah teruji dalam beberapa kali pemilu.