(Sebuah Catatan Refleksi)
Oleh: Anselmus D Atasoge
Jelang perayaan dies natalis ke-72, Seminari San Dominggo (Sesado) Hokeng menggelar ‘malam budaya’. Mereka lebih suka menyebutnya parade wisata budaya.
Seminaris yang tergabung dalam kelompok-kelompok etnis (Bajawa, Ende, Sikka, Flores Timur, Solor, Adonara dan Lembata) dengan balutan busana adat tampil memukau di Panggung Utama Sesado. Ratusan penonton memadati areal sekitar panggung.
RD. Georgius Harian Lolan, Rektor Seminari Hokeng dalam balutan hitam-hitam membuka momen penuh makna ini.
Dengan singkat, Beliau menegaskan bahwa Seminari sebagai Rumah Rahim Kehidupan ini menyimpan sejuta nilai budaya yang darinya dapat dipelajari nilai-nilai dan makna-maknanya.
Dalam setiap sesi pertunjukkan budaya ini, para siswa seminari seakan menampilkan dua sisi kehidupan kemanusiaan. Di satu sisi mereka memperlihatkan bagaimana kehidupan yang keras penuh konflik menghiasi jagad kehidupan manusia.
BACA JUGA: Seminari Menengah San Dominggo Hokeng Gelar Rapat Komite
Kisah konfliktual tempo dulu dari dunia Lamaholot “Paji-Demon” dan kisah “Gawi” dari Ende dihadirkan dan direfleksikan dalam bentuk mini teatrikal seakan membahasakan bahwa konflik meniadakan perjumpaan kemanusiaan yang harmonis dan menjadi batu sandungan bagi masyarakat yang kohesif.
Perjumpaan-perjumpaan kemanusiaan dan relasi-relasi yang menyertainya sering disisipi oleh naluri-naluri konfliktual yang kadang ditebarkan oleh sejumlah pihak untuk mengacaukan sisi damai kemanusiaan.
Di sisi lain pertunjukkan para seminaris juga mengemban misi hamonisasi kehidupan yang berdimensi jamak, yakni harmoni antara manusia, alam semesta dan Pengada (Pencipta) Kehidupan yaitu Tuhan seperti dalam “kisah nuba Wulanggitang”.
Harmoni kehidupan pun menyata dalam keakraban dan persaudaraan yang mengikat tali kemanusiaan seperti yang ditampilkan dalam lagu-lagu bernuansa etnik seperti Lui E dan Lau Ole Lau Wura dari Flores Timur dan tarian-tarian etnik seperti tarian Beku dari Lembata dan Sason dari Flores daratan bagian timur.
Pelbagai atraksi budaya (tarian koreografi, nyanyian dan framen bernuansa ritual lokal dan historigrafi asal usul kampung) ditampilkan dengan penuh ekspresif seakan menghantar para penonton untuk kembali menggumuli spirit asali: dari mana mereka datang, di mana mereka berdiri sekarang dan ke mana mereka akan berlangkah selanjutnya.
Lebih jauh dari ini, melalui pagelaran budaya ini, para seminaris hendak menunjukkan bahwa NTT yang adalah bagian dari Indonesia kaya dengan pelbagai kearifan yang tercermin dalam keseniannya budayanya.
Bagi saya, inilah sebuah permenungan asali kemanusiaan yang sarat dengan keragaman yang mempersatukan.
Sejatinya, budaya selalu mengandung dua sisi yang saling meneguhkan. Di satu sisi ia mengandung system pengetahuan dan serta sistem makna dan kebudayaan sebagai sistem nilai.
Dua unsur yang pertama disebut Clifford Geertz sebagai aspek kognitif kebudayaan dan satu unsur berikutnya disebut aspek evaluatif kebudayaan.
Aspek kognitif (sistem pengetahuan dan sistem makna) merupakan konstruksi representatif dari ‘model tentang atau model of’, dari kenyataan yang ‘sudah ada’.
Sedangkan aspek evaluatif merupakan konstruksi representatif dari ‘model untuk atau model for’, dalam mencapai sebuah kenyataan yang akan datang.
Atau, dengan kata lain, sebagai pola dari tindakan (model of), kebudayaan adalah apa yang dilakukan dan dapat dilihat oleh manusia sehari-hari sebagai nyata adanya, atau dalam pengertian lain adalah wujud tindakan atau kenyataan yang ada.
Sebagai model for dari tindakan, kebudayaan dipandang sebagai seperangkat pengetahuan manusia yang berisi model-model yang secara selektif digunakan untuk menginterpretasikan, mendorong dan menciptakan tindakan, atau dengan kata lain sebagai pedoman tindakan atau suatu kenyataan yang masih harus diwujudkan.
Pada titik inilah, malam budaya Seminari San Dominggo Hokeng memiliki kepenuhan arti dan maknanya.
Bagi saya, pembelajaran tentang kenyataan yang sudah ada (terutama yang diangkat ke seni pentas ini) menjadi titik acuan bagi para seminaris dan para penonton yang menyaksikannya untuk merenda hari-hari depan.
Perendaan hari depan akan menemui jalan yang terarah jika dibingkai dengan ‘pedoman-pedoman’ kehidupan seperti kebaikan, kebenaran dan keindahan.
Setidaknya, pada titik inilah para seminaris dan siapa saja yang menghidupkan kearifan lokal akan menciptakan kenyataan kehidupan yang tak jauh dari harmoni kehidupan.***