SoE, Vox NTT-Satu jam perjalanan dari Kota SoE menuju SD Inpres Pollo, Kecamatan Amanuban Selatan. Jalan cukup baik. Mulus. Beberapa ruas rusak. Apalagi persis di sungai yang kering.
Mobil harus pelan. Driver harus pintar baca ruas jalan. Jika tidak, mobil bisa kewalahan. Bisa jadi patah as.
Dari arah jalan utama, SD Inpres Polo terletak persis dipinggir jalan. Sekolahnya bagus.
Gedungnya juga terawat. Sekolah negeri ini terletak di Kecamatan Amanuban Selatan. Arah timur dari Kota SoE.
Fakta Mengejutkan
VoxNtt.com dan tim Inovasi bertemu dengan Kepala SD Inpres Pollo di ruangan-nya, Senin 19 September pukul 10.30 Wita.
Beatrix Mo. Babys menyambut dengan sangat baik, senyumnya ramah. Persilakan kami duduk lalu bercerita soal kondisi sekolahnya.
“Saya baru hampir setahun jadi kepala sekolah di sini. Pertama menjabat, saya harus merubah segala hal,” ujar Beatrix membuka percakapan.
Menurut dia, SD Inpres Pollo mengikuti program reading camp. Program ini di modifikasi oleh Balai Penjamin Mutu Pendidikan (BPMP) Provinsi NTT.
Awalnya, diperkenalkan oleh Inovasi.
Reading camp adalah sebuah program untuk mengatasi tingkat rendah literasi. Awal mula, siswa akan di tes tentang pemahaman mengenai literasi. Mulai dari membaca.
Sebagai Kepala Sekolah, Beatrix gerak cepat. Tak mau tunggu lama. Bak gayung bersambut SD Inpres Pollo mempraktikkannya.
Dia mengatakan sebagai kepala sekolah, SD Inpres Pollo sudah memakai program reading camp sejak bulan Juli lalu.
“Tanggal 11 Juli sosialisasi ke guru-guru tentang kegiatan reading camp. Tanggal 18 Juli mulai KBM. mulai tes awal ke siswa. Mereka ada 12 kelas. Ada 12 lembar tes. Kelas 1 sampai 6. Dari Jumlah siswa total sebanyak 288. Level 1 190 belum mengenal huruf,” ujar dia.
Menurut Beatrix fakta awal ini sangat mengejutkan. Dari sebanyak 288 siswa di sekolahnya, sebanyak 190 siswa belum mengenal huruf dan membaca secara baik.
“Level 2 48 siswa. Level 3 sebanyak 21 siswa, Level 4 ada 6 siswa dan level 5 ada sebanyak 21 siswa,” ujar dia.
Sebanyak 48/siswa, demikian Beatrix, berada pada level 1. Artinya, sama sekali belum mengenal huruf dam tidak bisa membaca.
“Setelah saya tahu hasil dari level satu saya langsung rapat guru. Saya bagi level 1 menjadi 8 kelas. Dua guru di level 2, level 3 ada 2 guru dan level 4 sebanyak dua guru,” beber dia.
“Masih ada kelas 4, 5 dan 6 yang belum bisa mengenal huruf. Guru punya kemampuan juga terbatas. Waktu saya pindah ke sini saya rekrut tambah guru. Jadi dari 6 menjadi 12 rombongan belajar supaya maksimal pelayanan ke siswa,” sambung dia menegaskan.
Menurut Beatrix sepanjang masa Covid- 19 yang membuat siswa belajar dari rumah memberikan pengaruh terhadap tingkat pengenalan huruf bagi siswa.
“Saat Covid-19 kadang kadang guru-guru pergi rumah tidak ada. Tes tanggal 15 September kemarin masih ada siswa kelas enam baru mengenal huruf. Sekarang masih sisa 9 orang dari awalnya 20 orang. Coba bayangkan dari 288 hanya 6 orang yang lancar membaca,” imbuhnya.
Sama-sama Bergerak
Selaku kepala sekolah Beatrix merasa bersyukur bisa menerima program reading camp. Sejak awal dia selalu berkomunikasi dengan Yandry Snae, staf pada Badan Penjamin Mutu Pendidikan Provinsi NTT.
“Kami tetap semangat semoga program ini bisa berjalan sampai selesai sampai bulan Oktober. Latar belakang kami terima program ini karena siswa kelas 6 ada yang belum bisa membaca. Ketika tahu ini program makanya saya pikir sesuai dengan masalah di sekolah kami yakni anak-anak belum membaca. Karena sudah ada ini kegiatan kami rapat apakah punya kendala atau bahan yang kita bisa bicarakan bersama-sama. Selalu ada evaluasi di setiap akhir bulan. Selama dua bulan ini. Tes awal dari 190 sekarang sudah 130 menurut saya sudah baik. Kegiatan reading camp sudah membantu,” katanya.
Menurutnya, dengan adanya program reading camp, ada beban tambahan untuk guru selama dua hari dalam seminggu yakni pada hari Selasa dan Kamis.
Selama 30 pada dua hari itu, siswa akan dikelompokkan berdasarkan level pengenalan huruf, mengeja, dan membaca. Sedangkan bagi siswa yang sudah lolos. Sebab, sudah lancar membaca selama 30 menit itu akan berada di perpustakaan sekolah untuk membaca.
“Teman teman harus kerja keras karena harus membagi waktu dengan ini kegiatan. Membantu gunakan metode di kelas dan juga alat bantu,” ujar dia.
Sementara, Yandry Snae Staf pada kantor BPMP NTT, pada kesempatan itu mengatakan bahwa problem dasar untuk menerakan program ini adalah dari tingkat tidak bisa membaca di sekolah dasar yang sangat tinggi.
“Saya cek awal ada anak-anak yang belum lancar baca. Kalau siswa tidak lancar baca maka membantu guru bukan saja anak-anak. Dari 32 sekolah di TTS yang sedang melakukan reading camp tahap awal, Sekolah ini (SD Inpres Pollo) mewakili satu kecamatan,” jelasnya.
Menurut dia, sebanyak 32 sekolah di TTS yang dijadikan sebagai contoh tahap awal akan berlangsung selama 3 bulan.
“Kalau ini kita tidak lakukan kita sendiri yang susah. Ini sudah jalan. Kita berharap tiga bulan sudah selesai. Oktober selesai. Kita akan evaluasi apakah dilanjutkan atau tidak.Saya amati teman-teman bekerja dengan sangat baik. Terima kasih kepala guru dan juga dinas pendidikan. Semester depan. Akan dimulai di seluruh sekolah. Jadi SD ini akan jadi contoh di kecamatan Amanuban Selatan. Sebenarnya sekolah ini sudah bisa menjadi contoh di NTT. Di Manggarai Barat sudah jalan semua. Untuk TTS 540 sekolah akan dilakukan serentak di TTS,” tandasnya.
Pada kesempatan itu, Fasilitator Inovasi, Nask Hansam juga turut hadir.
Menurut dia, kehadirannya untuk mengecek sejauh mana optimalnya program ini.
“Awalnya ini adalah salah satu bagian dari program Inovasi di empat kabupaten di NTT. Saya senang karena BPMP sudah menerapkan ini dibeberapa tempat,” ujar dia.
Gerakkan untuk melawan literasi, demikian Nask, apalagi tentang rendahnya tingkat baca huruf harus kerja sama dengan segala lini, entah pemerintahan, guru, lembagai lain serta orang tua dan siswa.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba