Oleh: Bastian Utu
Staf Pendidik di SMAK St. Gregorius Reo
Akhir-akhir ini kata literasi semakin sering diperbincangkan di ruang publik. Betapa tidak, kemajuan bangsa ditentukan oleh tingkat literasi masyarakat. Pada 2012, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), skor minat baca di Indonesia hanya 0,001, atau dari 1.000 penduduk hanya satu orang yang memiliki minat baca tinggi (Kompas, 16/09/2021).
Pada 2016 Central State University, Amerika Serikat, menunjukkan Indonesia merupakan negara dengan tingkat literasi terendah kedua di dunia dari 61 negara yang terukur, hanya setingkat lebih tinggi dari Bostwana, negara pedalaman di Afrika Selatan (Kompas, 16/09/2021).
Pada 2019 Kemendikbud (kini Kemendikbudristek) melakukan riset tingkat literasi di 34 provinsi juga menunjukkan, aktivitas literasi masyarakat masih rendah (Kompas, 16/09/2021).
Pada Senin 20 April 2022 Direktur Pendidikan Profesi dan Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek, Santi Ambarrukmi, mengatakan skor Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia masih rendah.
Santi Amburrukmi melaporkan bahwa hasil survei PISA 2018 menempatkan Indonesia di urutan ke 74 alias peringkat keenam dari bawah. Kemampuan membaca siswa Indonesia di skor 371 berada di posisi 74, kemampuan Matematika mendapat 379 berada di posisi 73, dan kemampuan sains dengan skor 396 berada di posisi 71.
Menurut Santi Amburrukmi skor tersebut tak pernah mencapai skor rata-rata negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD (Radioedukasi.kemdikbud.go.id, 25/04/2022).
Tidak sedikit kegiatan literasi mulai digalakkan baik oleh Lembaga Pendidikan maupun oleh kelompok/komunitas peduli literasi, namun belum mencapai hasil yang diharapkan.
Gerakan literasi nasional bukan saja urusan lembaga pendidikan atau kelompok/komunitas peduli literasi, melainkan seluruh masyarakat Indonesia terutama para pemangku kepentingan dan pemerintah.
Namun demikian, peran lembaga pendidikan mesti menonjol dalam meningkatkan budaya literasi. Lembaga pendidikan melalui para guru, dan tenaga kependidikan diharapkan mampu memfasilitasi semua gerakan dan kegiatan literasi di sekolah dan di lingkungan masyarakat.
Hal ini berguna dan mendesak, mengingat peserta didik zaman sekarang tidak lagi berminat dalam kegiatan-kegiatan berbau literasi. Peserta didik lebih suka bermain game online daripada membaca buku.
Penulis lebih melihat bahwa sikap apatis atau alergi terhadap kegiatan literasi (baca-tulis) sudah menjadi sebuah mode. Semacam ada loncatan peradaban; peserta didik belum tahu membaca dan menulis (pra-literasi) langsung melek (?) teknologi (post-literasi), mengangkangi proses latihan memahami teks bacaan dengan analitis, kritis, dan reflektif (literasi).
Loncatan ini tentu menimbulkan banyak persoalan bukan hanya pada tingkat lokal, regional, nasional, tetapi juga global. Peserta didik mudah dipengaruhi oleh demagogi, hasutan, agitasi, hoaks, indoktrinasi, dan kejahatan tingkat global lainnya.
Mengacu pada prinsip bahwa literasi adalah upaya yang dilakukan dalam meningkatkan sistem Pendidikan yang lebih bermutu. Hal ini tentunya berjalan berdampingan dengan misi kurikulum merdeka tahun 2022. Sekolah yang menyiapkan berbagai macam konsep literasi mesti berupaya secara ekstra agar dapat dimplementasikan pada ruang kerja siswa.
Upaya berliterasi harus lebih ditekan dengan tujuan membangun kesadaran akan pentingnya membaca dan menulis, mengolah dan memahami teks bacaan dengan analitis, reflektif, dan kritis.
Hal ini tertuang jelas dalam Permendikbud Nomor 23 tahun 2015 tentang kewajiban para siswa untuk membaca buku minimal 15 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah setiap hari.
Artinya, kegiata literasi mesti dilihat sebagai pokok yang sangat penting dalam membangun akhlak para siswa, generasi masa depan bangsa.
Literasi mesti dipandang sebagai muatan dasar atau kunci bagi peserta didik agar bisa membangun budaya berpikir logis-kritis, meningkatkan kesadaran moral dan mampu bersaing skala global.
Namun demikian, peran lembaga pendidikan mesti menonjol dalam meningkatkan budaya literasi. Lembaga pendidikan melalui para guru, dan tenaga kependidikan diharapkan mampu memfasilitasi semua gerakan dan kegiatan literasi di sekolah dan di lingkungan masyarakat.
Hal ini berguna dan mendesak, mengingat peserta didik zaman sekarang tidak lagi berminat dalam kegiatan-kegiatan berbau literasi. Peserta didik lebih suka bermain game online daripada membaca buku.
Penulis lebih melihat bahwa sikap apatis atau alergi terhadap kegiatan literasi (baca-tulis) sudah menjadi sebuah mode. Semacam ada loncatan peradaban; peserta didik belum tahu membaca dan menulis (pra-literasi) langsung melek (?) teknologi (post-literasi), mengangkangi proses latihan memahami teks bacaan dengan analitis, kritis, dan reflektif (literasi).
Loncatan ini tentu menimbulkan banyak persoalan bukan hanya pada tingkat lokal, regional, nasional, tetapi juga global. Peserta didik mudah dipengaruhi oleh demagogi, hasutan, agitasi, hoaks, indoktrinasi, dan kejahatan tingkat global lainnya.
Mengacu pada prinsip bahwa literasi adalah upaya yang dilakukan dalam meningkatkan sistem Pendidikan yang lebih bermutu. Hal ini tentunya berjalan berdampingan dengan misi kurikulum merdeka tahun 2022.
Sekolah yang menyiapkan berbagai macam konsep literasi mesti berupaya secara ekstra agar dapat dimplementasikan pada ruang kerja siswa.
Upaya berliterasi harus lebih ditekan dengan tujuan membangun kesadaran akan pentingnya membaca dan menulis, mengolah dan memahami teks bacaan dengan analitis, reflektif, dan kritis.
Hal ini tertuang jelas dalam Permendikbud Nomor 23 tahun 2015 tentang kewajiban para siswa untuk membaca buku minimal 15 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah setiap hari.
Artinya, kegiata literasi mesti dilihat sebagai pokok yang sangat penting dalam membangun akhlak para siswa, generasi masa depan bangsa.
Literasi mesti dipandang sebagai muatan dasar atau kunci bagi peserta didik agar bisa membangun budaya berpikir logis-kritis, meningkatkan kesadaran moral dan mampu bersaing skala global.
Literasi Digital
Dunia hari ini adalah dunia dengan keterbukaan informasi. Berbagai macam informasi dikemas dengan sistem digital. Penulis berpikir bahwa kenyatan ini mesti dilihat sebagai bentuk kemerdekaan giat literasi.
Betapa tidak, masyarakat tidak lagi berkunjung ke tempat baca seperti perpustakaan cukup membuka HP Android, klik judul bacaan, dan diakses secara mudah.
Akses informasi dan ilmu pengetahuan di era digital ini semakin terbuka. Di tengah tsunami informasi, hasil riset, risalah, dan teks-teks bacaan lainnya, peserta didik diharapkan memeiliki kemampun seleksi dan berpikir kritis, sebab tidak semua informasi dapat menunjang perkembangan kepribadian peserta didik dan berguna bagi kemajuan bangsa.
Tranformasi besar-besaran ini harus direspons cepat serta bergerak tepat agar menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan peserta didik.
Mengingat penerapan giat literasi telah ditetapkan kembali dalam implementasi kurikulum merdeka, peserta didik diharapkan tidak ketinggalan zaman.
Namun demikian kemajuan dan penggunaan teknologi mesti dibarengi kemampuan berpikir kritis peserta didik. Tanpa kemampuan berpikir kritis, peserta didik mudah tergiring dan terprovokasi oleh hasutan, indoktrinasi, demagogi, hoaks, berita palsu dan propaganda komputasional.
Peserta didik yang tidak kritis terhadap propaganda-propaganda digital, akan rentan terpapar oleh gerakan ekstrem maya, seperti radikalisme agama, terorisme, pembajakan, penipuan, dst. Kualitas literasi digital sangat diuji di tengah propaganda-propaganda digital ini.
Saat ini gerakan literasi menjadi suatu keseharusan di lembaga pendidikan. Dalam kurikulum merdeka menekankan peserta didik yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas harus mampu menulis artikel. Hal ini menjadi ketentuan dasar agar mendapat amplop kelulusan.
Penulis menganggap bahwa regulasi seperti ini adalah upaya menghidupkan iklim yang positif dalam lembaga pendidikan. Bahwasanya, lembaga pendidikan dengan segala konsep yang dicanang harus mampu menciptakan ruang bagi siswa sebagai upaya mengakrabkan siswa dengan kegiatan literasi.
Apakah sekolah-sekolah sudah mulai dengan kegiatan literasi? Apakah literasi sudah menjadi kebutuhan pokok di lembaga pendidikan? Apakah para pendidik sudah menjadi inovator, inisiator atau motor penggerak yang dengan bangga menunjukkan kebiasaan membaca dan menulis pada peserta didik?
Tiga pertanyaan reflektif ini setidaknya menjadi acuan bagaimna penulis melihat sejauh mana lembaga pendidikan menjalankan gerakan literasi di sekolah.
Atau sejauh mana guru-guru di sekolah menjadi inovator sekaligus mentor yang mampu mendampingi peserta didik membaca dan menulis, dan melatih berpikir kritis, reflektif, logis, dan rasional di sekolah.
Terhadap pertanyaan-pertanyan reflektif ini, penulis melihat ada fenomena kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang terjadi di sekolah. Penulis dapat mengambil simpulan bahwa sekolah-sekolah sekrang mengalami senja kala literasi.
Sekolah-sekolah mengalami degradasi atau penurunan kualitas akibat kehilangan inovasi-inovasi yang memperkaya wawasan peserta didik, terutama gerakan peningkatan mutu literasi. Lalu siapa yang memulai dan mulai dari mana membangkitkan gerakan literasi ini?
Seperti lazimnya, para guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik sama sekali tidak memiliki minat mengunjungi perpustakaan sekolah. Para guru hanya mengandalkan modul atau diktat mata pelajaran yang diampunya.
Kegiatan-kegiatan literasi di sekolah mati, karena guru-guru dengan gelar sarjana tidak mampu menganimasi peserta didik memasuki ruang perpustakaan, mengkritisi kenaikan BBM, memprotes pelanggaran HAM, mendiskusikan persoalan korupsi di tanah air yang terus merajalela, dan menulis artikel ringan.
Kegiatan-kegiatan ini dapat dilakukan, juga seandainya para guru tidak alergi dengan buku-buku dan kemajuan ilmu pengetahuan dan informasi. Guru-guru lebih nyaman dengan modul atau diktat mata pelajaran yang tidak mengikut perkembangan zaman, kuno, antik, dan tanpa kritis itu.
Literasi Konvensional: Antisipasi Senja Kala Literasi
Literasi konvesional, seperti menulis mading, buletin, majalah, dst., mengantisipasi senja kala kualitas literasi akibat loncatan peradaban tadi. Literasi konvensional terdengar sederhana, namun sangat membantu peserta didik.
Terhadap fenomena ini, penulis menganjurkan dua gebrakan penting sebagai upaya merawat dan meningkatkan mutu literasi di sekolah.
Gebrakan ini setidaknya mampu mendobrak serta menghancurkan budaya malas membaca dan menulis dalam lembaga pendidikan, khususnya para guru yang merupakan motor penggerak bagi peserta didik.
Pertama, menekuni publikasi mading sekolah
Mading (Majalah Dinding) merupakan salah satu media komunikasi yang di tempel di dinding.
Mading memiliki banyak manfaat, selain untuk memberi informasi, mading pun dapat meningkatkan minat baca-tulis. Lembaga Pendidikan yang ingin maju mestinya menekuni publikasi madding.
Sekolah dapat membentuk tim redaksi atau panitia kecil agar penerbitan mading dapat dilakukan minimal sekali terbit dalam tiga bulan.
Dengan tekun melakukan penerbitan mading, peserta akan termotivasi untuk membaca lebih banyak, meningkatkan semangat menulis, dan mengkritisi kebijakan-kebjiakan keliru.
Pada tahap inilah, sekolah akan melihat dengan jelas bagaimana tanggung jawab siswa dalam menghidupkan iklim literasi dalam dirinya. Tim redaksi harus konsisten dalam penerbitan mading guna mendukung semangat peserta didik.
Kedua, publikasi Buletin.
Penulis berpikir bahwa apabila karya-karya peserta didik diterbitkan di buletin sekolah maka peserta didik merasa sangat bangga. Dengan kebanggan ini, peserta didik akan merasa termotivasi untuk terus membaca, menulis dan berpikir kritis.
Hal ini akan menjadi habitus peserta didik. Hal yang istimewa lagi akan dirasakan peserta didik apabila karya-karya mereka diterbit bersamaan dengan karya-karya guru.
Di sana mereka akan berpikir bahwa guru tidak hanya pandai menyuruh dengan sistem paksa (otoriter dan feudal), tetapi juga memberikan bukti bahwa guru mampu menulis. Buletin akan dipromosikan ke sekolah-sekolah lain ataupun dibawa ke masyarakat.
Namun demikian, upaya peningkatan kualitas literasi ini dibutuhkan campur tangan pemerintah. Pemerintah, seperti disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Perbukuan Nomor 3 Tahun 2017, menyediakan buku bermutu, murah, merata.
Selain itu, pemerintah mesti menyiapkan komputer, laptop, dan jaringan internet yang baik di sekolah-sekolah. Tak kalah penting ialah guru-guru yang berprestasi, dan memiliki semangat tinggi dalam kegiatan literasi sekolah.
Dengan melakukan upaya-upaya sederhana ini, baik penerbitan mading dan juga buletin, senja kala literasi di sekolah sangat mudah diselamatkan. Pada akhirnya para guru dan peserta dididik harus dilihat sebagai kebutuhan yang terpenuhi, bukan produk sampingan atau pilihan alternatif. Selamat merayakan bulan Bahasa. Salam literasi.