Oleh: Markus Makur
Awalnya saya bergelut di dunia tulis menulis dengan memilih profesi jurnalis, Januari 2004 di tanah kaya Merauke, Papua. Saat itu, saya ditawarkan oleh seorang jurnalis, Fidelis Sergius Jeminta, yang menjadi Kepala Biro Media Timika Pos Merauke (kini media itu tidak aktif lagi).
Saat itu, saya belajar jurnalistik secara otodidak. Terjun langsung liputan awal. Saya masih ingat, Jeminta meminta saya untuk meliput sidang di Kantor DPRD Merauke.
Saya ikuti permintaannya berbekal kemauan dan keinginan menjadi juru warta damai di tanah Musamus, Merauke.
Di kepala saya blong tentang metode meliput berita. Sebab, saya jujur mengatakan bahwa saya baru pertama meliput berita. Bahkan, saya tidak tahu cara kerja jurnalistik.
Bahkan saya tidak tahu tentang teknis menulis 5W+1H, memang sewaktu saya bergabung di organisasi ekstra kampus di Makassar.
Namanya, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Santo Albertus Magnus Makassar, saya pernah menjadi panitia pelatihan jurnalistik bersama sahabat saya, Andri Tandililing.
Bahkan saat pelatihan itu, saya baru belajar menggunakan komputer, maklum saat itu hanya mengetik di mesin ketik. Jadi saya mengenal komputer sewaktu pelatihan itu yang diajarkan oleh sahabat saya itu.
Waktu itu saya Sekretaris Panitia dan Ketuanya, Andri Tandililing. Sesudah pelatihan itu, ada peserta yang terpanggil menjadi wartawan di Kampus dan media-media cetak di Kota Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan.
Selesai pelatihan itu, kami kembali sibuk dengan perkuliahan masing-masing dan beraktivitas di organisasi ekstra kampus. Saya tidak pernah membayangkan bahwa dunia saya selanjutnya yakni jurnalistik.
Saya memutuskan untuk menyelesaikan kuliah. Memang, saya alami beratnya hidup di Kota Makassar saat itu, di mana saya bekerja sambil kuliah.
Kerja apa saja, yang terpenting ada pemasukan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari selain uang dari orangtua dan saudari-saudara. Itupun tidak rutin setiap bulan.
Saya tidak pernah mengikuti pelatihan jurnalistik. Tidak pernah bergelut di dunia jurnalistik di Kampus, apalagi sewaktu SD, SMP dan SMA tidak pernah mengenal ilmu jurnalistik. Paling waktu SMA membaca berita KOMPAS. Waktu itu, SMAK Setia Bakti Ruteng, dimana saya selama 3 tahun dididik, dibina, dibimbing, menerima sejumlah mata pelajaran berlangganan media terbesar di Indonesia, KOMPAS.
Waktu koran itu ditaruh di rak-rak perpustakaan SMAK Setia Bakti. Saat masuk ke perpustakaan, saya hanya memegang sambil melihat media KOMPAS dan melihat sambil berlalu saja.
Memang ada waktu, saya dan teman-teman dituntun membaca buku di perpustakaan tersebut. Tapi, saat itu saya berminat baca buku teks sesuai dengan jurusan yang diminati.
Ternyata pengalaman melihat media KOMPAS menjadikan cikal bakal dunia saya selanjutnya untuk memenuhi kehidupan dan pendapatan ekonomi keluarga.
Ada juga pengalaman lain sewaktu belajar di tingkat SMP di salah SMP Negeri di wilayah Manggarai Barat, (dulu masih satu dengan Manggarai, sebelum dimekarkan) disuruh guru kelas untuk mengambil buku mata pelajaran di perpustakaan di sekolah tersebut.
Ini adalah masa lalu pendidikan saya yang masih terbatas dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terus maju bahkan dunia tulis menulis yang masih terbatas zaman itu.
Merantau ke Kota Daeng, Makassar
Setelah tamat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Setia Bakti Ruteng, saya berdiskusi dengan orangtua untuk kuliah. Orangtua meminta saya melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi, apalagi saya anak bungsu.
Orangtua memberikan semangat kuat bahwa apapun kesulitan dalam keluarga, anak-anak harus mengenyam pendidikan demi kehidupan selanjutnya serta persaingan di dunia kerja di tahun-tahun berikutnya.
Memori saya masih ingat hingga saat ini bahwa sewaktu saya berangkat ke Makassar, Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Saya berangkat subuh dengan oto colt, bus kayu dari Kampung Wajur, Desa Wajur (Dulu Desa Tueng, sebelum dimekarkan), Kecamatan Kuwus Barat, (Dulu masih Kecamatan Kuwus, sebelum dimekarkan) menuju ke Terminal Ruteng.
Saat itu saya diantar oleh ayah saya, Nikolaus Dahu. Dari Terminal Ruteng menuju ke Labuan Bajo (dulu masih Kecamatan Komodo, sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Manggarai Barat).
Memakai Sandal Jepit
Saya masih ingat waktu itu, saya memakai sandal jepit karena kesulitan membeli sepatu. Inilah sejarah kehidupan yang harus dilalui. Semangat berjuang dan merantau sangat tinggi untuk meraih cita-cita dan impian.
Waktu itu, saya merantau ke Kota Daeng, Makassar mengikuti ajak keluarga yang lebih dulu merantau dan bekerja di sana.
Waktu itu membawa baju seadanya saja. Semalam menginap di sebuah penginapan di Labuan Bajo. Membeli tiket kapal PELNI Labuan Bajo-Makassar.
Saat itu di Labuan Bajo hanya ada dermaga ferry saja tujuan Labuan Bajo-sape dan sebaliknya sedangkan belum ada dermaga untuk kapal Pelni, 1996. Waktu itu berangkat, Juli, 1996.
Waktu itu Kapal Pelni berlabuh di tengah laut Labuan Bajo. Penumpang dari dermaga Labuan Bajo harus naik perahu menuju tangga kapal Pelni.
Terasa lain saat naik kapal Pelni. Saat itu ditemani oleh keluarga yang sudah pernah merantau di Kota Makassar dan masih kuliah. Mereka pulang dari waktu liburan di kampung.
Berjumpa Banyak Penumpang di Kapal Pelni
Saya bersama anggota keluarga berjumpa dengan ratusan penumpang kapal Pelni di dalam kapal. Tidak saling kenal. Banyak juga orang Manggarai yang merantau ke Kota Makassar dan menggunakan jasa Kapal pelayaran Pelni.
Waktu itu saya mengikuti saran dari anggota keluarga yang sudah berpengalaman naik kapal Pelni dan sewaktu turun di Pelabuhan Makassar. Jangan berjauhan supaya tidak tersesat.
Merasakan bermalam di atas besi baja yang bisa berlayar dengan didorong oleh mesin. Seperti berada di dalam perut ikan paus. Para ahli pembuatan kapal terinspirasi dari kehidupan ikan yang bisa berenang di lautan luas.
Sebab, manusia memiliki daya imajinasi tinggi dan berbuat sesuai dengan petunjuk imajinasi itu ditopang oleh ilmu pengetahuan. Tentu, manusia yang kapal berlayar dibekali oleh refleksi.
Manusia adalah makhluk berkreatif dan berinovasi. Manusia adalah makhluk bertindak, berbuat dan menciptakan hal-hal baru demi menjembatani kehidupan manusia antar benua yang hanya bisa dijangkau oleh peralatan-peralatan canggih.
Terkejut dengan Gemerlapan Kota Makassar
Begitu turun dari kapal Pelni di pelabuhan Makassar, saya dan anggota keluarga naik angkutan umum perkotaan.
Saya melihat kemegahan dan terkejut dengan gemerlapan Kota Makassar. Maklum baru pertama merantau dan juga datang dari pelosok Manggarai Barat.
Kesan pertama adalah keheranan demi keheranan dengan sebuah kemajuan di kota tersebut.
Saya bermalam di tempat kontrakan anggota keluarga itu sebelum dijemput oleh keluarga yang sudah berada di Kota Makassar.
Keesokan harinya, saya dijemput keluarga yang masih hubungan keluarga yang sangat dekat. Dan selanjutnya tinggal bersama mereka. Berat rasanya jauh dari orangtua.
Kegelisahan demi kegelisahan akan kehidupan baru dengan berjumpa dengan begitu banyak orang dari berbagai latar belakang suku, karakter, budaya dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Kota yang penuh perjuangan untuk mempertahankan kehidupan. Banyak hal baru yang dijumpai dengan berbeda karakter, budaya dan cara membangun relasi di Kota Angin Mamiri tersebut.
Dari Juli 1996-November 2003
Sejak menginjak kaki pertama kali di bumi Celebes, hal pertama yang saya alami adalah keterkejutan, keheranan dengan dunia baru yang belum saya tahu sebelumnya.
Berjalan saja sesuai dengan perputaran waktu. Mengikuti semua petunjuk dan saran, berinteraksi sosial.
Hal pertama, saat berjumpa dengan budaya baru adalah belajar bahasa setempat. Kekuatan mengenal bahasa daerah setempat mampu memahami karakter dan budaya setempat.
Dari bahasa lokal di tempat baru mampu mengetahui cara berinteraksi sosial dan memudahkan pergaulan sosial. Dan saya belajar sedikit demi sedikit menggunakan bahasa lokal setempat.
Bahasa lokal setempat adalah ibu dalam mengenal sesama, mengenal budaya dan memudahkan interaksi, kontak sosial.
Dari Juli 1996 sampai November 2003, sambil kuliah, bekerja serabutan untuk menambahkan pendapatan ekonomi pribadi dan kebutuhan harian dilaksanakan tanpa gengsi.
Tidak ada rasa malu saat bekerja sebagai cleaning service di mall, Hotel dan perkantoran. Hanya semangat untuk bisa bertahan hidup, berekreasi, berwisata pada akhir pekan dan juga bisa membeli sepeda gunung.
Di kota itu saya belajar mengayuh sepeda gunung, sebab di kota asal saat mengenyam pendidikan sekolah dasar, menengah pertama dan menengah atas belum mengenal mengayuh sepeda gunung.
Waktu modal utamanya jalan kaki sampai puluhan kilometer. Bisa mengayuh sepeda gunung merupakan salah satu modal di kota besar sebab jarak jauh tidak lagi bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Memang ada saatnya berjalan kaki, seperti pergi misa hari minggu pasti jalan kaki. Selain mengayuh sepeda gunung.
Dengan mengayuh sepeda gunung bisa berkunjung sesama anggota keluarga dari asal yang sama yang tinggal berjauhan. Mengikuti arisan keluarga, kumpul kope keluarga yang hendak menikah.
Semua ini bisa dijangkau dengan sepeda gunung atau naik angkutan umum, jangan berharap memiliki sepeda motor karena keuangan tidak terjangkau membeli sepeda motor. Banyak pengalaman yang menarik serta susah senang di tanah rantauan.
Baik-baik membawa diri dalam pergaulan sosial, mengikuti kegiatan orang muda Katolik di Gereja dan lain sebagainya. Semua ini dijalani demi melangkah dan menatap masa depan.
Mengenal dunia Membaca Buku dan Menulis
Berjumpa dengan berbagai macam karakter manusia dari seluruh Indonesia dengan kebiasaan masing-masing membuka cakrawala baru. Saat itu saya melihat beberapa mahasiswa dan mahasiswi selalu membawa buku dalam tas dan juga mereka bisa menulis di media massa. Bahkan mereka rajin ke mall di galeri toko buku untuk membaca buku dan kalau ada uang membeli buku sesuai pilihan masing-masing.
Dari pengalaman melihat itu, saya terpacu untuk mengikuti kebiasaan tersebut dengan meminjam buku milik teman untuk membaca dan akhirnya saat ada uang di akhir bulan, berjalan-jalan ke mall untuk membeli buku dan selanjutnya membeli buku.
Selain ‘mencuci’ mata di mall dengan melihat gadis-gadis cantik dengan berbagai keelokan dan cara berpakaian serta wewangian parfum dengan merek mahal, tujuan pertama adalah ke toko buku di mall tersebut.
Selain naik di eskalator dan lift, tentu niat pertama refreshing ke mall adalah membaca buku di toko buku di mall tersebut. Berjam-jam duduk di toko buku hanya untuk membaca buku.
Berbagai pergolakkan sosial, saya jumpai selama mencari dan menambahkan pengetahuan dan pengalaman sosial di kota tersebut dengan irama masing-masing. Itulah ciri khas kehidupan sosial.
Papua Memanggil
Setelah mendapatkan berbagai pengalaman dan pengetahuan di Pulau Celebes itu dengan kelebihan dan kekurangannya, akhirnya Papua memanggil. Papua memanggil saya yang tak terbayang sebelumnya.
Memang saya memiliki sahabat dan saudara orang Papua yang kuliah di satu perguruan tinggi di Kota Makassar dan juga sahabat diskusi dan debat saat bergabung di organisasi ekstra kampus.
Nama organisasi itu yaitu, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Santo Albertus Magnus Makassar.
Di dunia organisasi itu menambahkan pengalaman, belajar mandiri, belajar berorganisasi, belajar berpolitik, bukan belajar berwirausaha, belajar cara melobi, belajar strategi berpolitik, belajar berargumentasi, berdiskusi dan berdebat dengan berbagai wawasan masing-masing.
Belajar kematangan hidup dan mempersiapkan diri di dunia kerja. Akhirnya, Papua memanggil saya sebagai tempat berikutnya untuk mengais rezeki.
Saya ke Papua untuk mengikuti saudara tua saya yang sudah mengabdi sebagai guru di tanah Papua. Saat ke Papua, itulah saya pertama naik pesawat terbang dari Bandara Hasanuddin Makassar ke Bandara Moses Kilangin Mimika.
Tepatnya pertengahan Desember 2003. Di Papua-lah, cikal bakal saya menjadi seorang jurnalis dengan belajar otodidak.
Papua Memanggil Menjadi Jurnalis
Papua sangat kaya dengan sumber daya alamnya dan juga orang Papua yang ramah dengan sesama. Dan saya bersyukur tanah Papua yang kaya raya itu memanggil saya menjadi jurnalis. Bagaimana kalau seandainya saya tidak merantau ke Papua, entah menjadi apa saya selanjutnya hingga saat ini?
Sebelum menjadi wartawan, saya pernah bekerja sebagai tukang bangunan agar bisa mendapatkan uang, daripada tinggal kosong di rumah keluarga. Kemudian saya menjadi guru honorer di salah sekolah negeri favorit di Kota Merauke.
Kota Merauke juga sebutan lainnya Kota Musamus. Musamus adalah nama lokal untuk menyebut sarang semut. Sarang semut di hutan-hutan di Merauke menjulang tinggi.
Rumah semut yang sangat besar dan tinggi. Saya kagum dengan cara semut membangun rumahnya sendiri. Betapa luar biasa. Belum lagi kekayaan burung cenderawasih Papua, rusa Papua dan berbagai macam kekayaan alamnya.
Waktu itu dua pilihan, menjadi guru atau wartawan. Akhirnya saya memutuskan memilih menjadi wartawan. Alasannya sederhana, di lingkungan sekolah terbatas sedangkan menjadi wartawan bisa menjangkau pelosok-pelosok.
Awalnya saya diajak wartawan senior Papua asal Lembor. Namanya, Fidelis Sergius Jeminta. Wartawan hebat dengan pena ficernya. Saat itu dia sebagai kepala biro media lokal di Merauke. Basis media itu di Kota Timika, Ibukota Mimika.
Kalimat pertama yang disampaikan Fidel, biasa disapa saat merayakan Natal bersama orang Manggarai di Kota Merauke yakni, kraeng cocok menjadi wartawan. Besok Kraeng bertemu saya di kantor. Waktu itu saya sudah bisa membawa sepeda motor.
Di Kota itulah, saya membuat surat ijin mengemudi (SIM) yang pertama. Di Kota itu serba pertama, pertama menjadi wartawan dan lain sebagainya.
Perlahan-lahan sambil belajar menulis sesuai kaidah jurnalistik, saya akhirnya memahami bahwa menjadi wartawan sebagai penyambung nafas rakyat dari yang tak bernapas.
Napas hasil liputan diketahui secara luas oleh masyarakat lain dan pengambil kebijakan daerah.
Pengalaman pertama naik pesawat perintis untuk meliput kegiatan di pedalaman Merauke. Saat itu meliput kunjungan kerja Wakil Bupati. Lokasi kunjungannya di kampung Kimaam.
Bahkan dari Bandara Kimaam, naik speedboat ke pedalaman Kimaam. Ini hal baru yang belum pernah saya alami sebelumnya. Asyik naik pesawat dan speedboat mewah.
Saat liputan itu saya bertemu dengan wartawan SCTV dari Jakarta yang meliput di pedalaman Merauke dengan “program angan-angan”, Saat itulah saya melihat wartawan televisi dengan kamera besar untuk meliput. Peristiwa itu terjadi 2004. Saya lupa bulan liputan tersebut.
Waktu terus berjalan dengan liputan-liputan yang berbeda sesuai tema yang diberikan oleh kantor pusat. Saat itu juga saya memperdalam pengetahuan mengetik di komputer dan mengirim berita memakai sistem dengan jaringan internet dan menarik berita lewat aplikasi modem oleh tim IT di Kantor Pusat di Kota Timika.
Saat itu, saya belajar dengan cara mengirim berita lewat sebuah sistem, bukan memakai email. Selama setahun, saya meliput di seluruh pelosok Merauke, Perbatasan RI-PNG di Sota, Perkampungan Okaba dan Taman Nasional Wasur dan beberapa kampung di Merauke.
Kadang-kadang meliput dengan sepeda motor kantor, ikut rombongan pejabat. Intinya asyik menjadi wartawan, apalagi masih muda. Semangat kerja tinggi. Semua berita dimuat di media cetak Timika Pos.
Media dimana saya bekerja. Beda di media online saat ini kadang-kadang berita tidak dimuat dengan berbagai pertimbangan dan standar berita sesuai dengan standar media online.
Waktu di media cetak, verifikasi, keakuratan narasumber, check dan richeck dan keberimbangan menjadi pegangan seluruh wartawan. Tidak istilah muat sepotong-sepotong.
Beritanya utuh dengan keberimbangan dari berbagai narasumber. Tidak hanya satu narasumber. Redaktur mengecek betul berita yang ditulis wartawan.
Kalau masih kurang, redaktur menelepon wartawannya untuk kembali ke kantor.
Di Papua, saya bertemu dengan wartawan dari media-media cetak mainstream di Indonesia yang ditempatkan di tanah Papua.
Ada wartawan KOMPAS, Media Indonesia, Tempo dan wartawan media televisi.
Selama setahun sebagai wartawan di Kota Merauke, 2004 duka suka bekerja di Kota Musamus tersebut sudah saya alami.
Selanjutnya saya ditarik di Markas Besar (Mabes), kantor pusat Timika Pos di Kota Timika, 2005.
Tahun 2005, saya memperkuat barisan redaksi di kantor pusat Timika Pos di Kota Tambang Emas.
Sewaktu di Timika, saya ditempatkan di desk kriminal.
Selain itu, sesekali meliput di desk ekonomi, pendidikan, sosial dan sumber daya alam dan desk hukum.
Selama di Timika, daerah liputannya sangat luas. Saya meliput festival Asmat, meliput di Nabire, Paniai, Jayapura dan pedalaman di Mimika.
Misalnya ke Potoywaruburu, Kokonao dengan fasilitas pesawat dan helikopter. Tidak ada angkutan umum antar Kabupaten, apalagi antar Provinsi.
Meliput di Paniai dengan menyeberang danau Paniai yang berada di pegunungan, meliput kegiatan di areal Freeport dan yang paling menantang adalah meliput di Bandara Mulu dengan helikopter.
Bandara di atas gunung tertinggi di Papua. Dan liputan yang paling melelahkan dan jenuh saat meliput perang suku di Kwamki Lama.
Saat itu saya didukung oleh tim redaktur yang handal. Tapi, sayang seribu sayang, media ini akhirnya kolaps dan ditutup hingga saat ini. Kini hanya tinggal nama dan kenangan.
Seluruh wartawan dan redaktur terpencar mencari media baru, ada yang bekerja di media Antara, ada yang kembali menjadi guru, wiraswasta.
Tapi saya bersyukur menjadi wartawan kontributor The Jakarta Post di Papua bagian tengah. Dengan menjadi kontributor, jangkauan liputannya semakin luas di Papua hingga saya berkeluarga.
Saya bekerja menjadi kontributor The Jakarta Post dari April 2006-2020. Banyak hal yang diperoleh saat berprofesi menjadi wartawan. Banyak dukanya dibanding sukanya. Sukanya yakni berita dimuat dan menghasilkan gaji.
Sedangkan dukanya, hasil liputan tidak dimuat dengan berbagai pertimbangan redaksional. Semua itu disyukuri saja sambil terus bekerja, meliput dan menulis.
Selama menjadi wartawan di tanah Papua, hampir 3 kali mengalami dukanya berprofesi disana bahkan, kamera dirampas dan dihancurkan.
Bersyukur kantor The Jakarta Post membantu kamera. Selama menjadi wartawan, semua peralatan kerja seperti kamera, handphone dan lain sebagainya dibeli sendiri dengan modal semangat membeli peralatan kerja tersebut.
Banyak juga suka menjadi seorang jurnalis di tanah Papua.
Dipanggil Pulang untuk Mengabdi di Tanah Nucalale
Entahlah semua ini rencana rahasia Sang Ilahi dalam perjalanan karier sebagai seorang jurnalis. Setelah belajar dan menimba pengalaman di Pulau Celebes, bekerja di tanah Papua, akhirnya saya dipanggil pulang untuk mengabdi lagi di tanah Nucalale, Manggarai Raya. Dan sejak awal saya tinggal di Waelengga bersama keluarga.
Desember 2010, saya dipanggil pulang untuk kembali mengabdi di tanah Nucalale. Awalnya berat dengan kondisi keterbatasan sarana internet di tanah Nucalale.
Kadang-kadang ada perasaan untuk berhenti menjadi wartawan di Manggarai karena kesulitan-kesulitan yang dihadapi dilapangan, agak berbeda dengan kondisi di Papua yang memiliki kemajuan internet.
Bahkan sewaktu 2011, belum ada warung internet (warnet) di Kota Borong. Memang ada warnet dengan keterbatasan jaringannya sehingga saat mengirim berita dan foto harus menunggu berjam-jam di warung internet tersebut. Rasa frustasi saya alami di awal menjadi wartawan di tanah Nucalale.
Namun, perlahan-lahan dengan beradaptasi dengan kondisi terbatas maka saya membeli alat modem yang disambungkan di internet dengan modal pulsa data.
Tak terhitung pengeluaran uang untuk membeli pulsa data di internet modem.
Demi meningkatkan semangat kerja dengan profesi ini, saya melakukan berbagai upaya dan usaha agar saya tetap mengirim berita dari pelosok Flores, khusus Manggarai Raya (Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat). Beban kerja wartawan di pelosok Flores sangat tinggi, apalagi dengan topografi dan geografis yang sangat sulit.
Di balik kesulitan dan tantangan kerja itu, saya terus bersyukur kepada Sang Waktu yang memanggil saya dalam dunia jurnalistik ini. Ini merupakan panggilan hidu. Inilah napas kehidupan yang mengalir dalam tubuhku.
Saya sudah terbiasa menghadapi tantangan dan kesulitan dalam pekerjaan sebagai seorang juru warta, sebab bagi saya menulis sebagai napas kehidupan dan menulis adalah doa yang dituangkan dalam sebuah karya jurnalistik. Bahkan sebagai seorang jurnalis menyambung nafas rakyat yang tak bernafas.
Setahun menjadi kontributor The Jakarta Post di awal berkarya di tanah Nucalale, 2011. Kemudian saat saya jalan-jalan di kebun di lokasi Maghileko, telepon saya berdering dan terdengar suara dari seorang sahabat dari Jakarta untuk bergabung di media KOMPAS.com, 2012.
Saya senang dan bahagia dengan tawaran itu dan selanjutnya menjadi kontributor dua media besar yakni The Jakarta Post dan KOMPAS.com. Saya berstatus kontributor daerah Flores, Nusa Tenggara Timur.
Tentu kepercayaan ini sebagai tantangan dalam bekerja di media dengan kepercayaan tinggi dari pembaca Indonesia.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang berkembang pesat dan canggih memudahkan kerja jurnalistik dari daerah. Selain itu bermunculan media online yang ditopang oleh perkembangan teknologi.
Persaingan semakin ketat dalam pemberitaan media online. Pertama persaingan kecepatan mempublikasi berita dengan hitungan menit. Kedua, persaingan menguasai perkembangan teknologi.
Tapi, bagi saya, melakukan pekerjaan jurnalistik dengan turun ke lapangan. Saya memakai jasa kontak lewat telepon untuk mengkonfirmasi berita agar saya memenuhi karya jurnalistik yang berimbang, akurasi dan verifikasi.
Kelelahan dan Kejenuhan
Usia semakin menanjak, beban kerja dengan kecepatan super cepat menjadi kewalahan turun di lapangan dengan medan topografi yang berat.
Ada rasa lelah, jenuh dengan profesi ini karena berbagai kesulitan di lapangan. Saya tetap memegang teguh turun ke lapangan untuk mengumpulkan, informasi, data, fakta yang akurat untuk sebuah karya jurnalistik yang berimbang.
Tantangan kerja di media online membutuhkan fisik yang prima ditambah lagi dengan persaingan kecepatan berita yang dimuat di media online.
Dalam kondisi lelah dan jenuh itu, saya tetap dipanggil untuk meliput berita yang humanis sebab profesi sebagai penyambung napas rakyat yang tak bernapas yang tersebar di pelosok-pelosok Flores.
Saya bersyukur Tuhan terus menopang dan menguatkan fisikku yang semakin hari semakin menunjukkan kelelahan dan kejenuhan.
Kadang-kadang ingin mencari pekerjaan lain, tapi suara hati saya tetap menuntun dan menguatkan saya dengan profesi yang luhur dan mulia ini.
Inilah panggilanku di dunia kerja memang tak seberapa keuntungan dan penghasilannya, tapi saya merasa bahagia dengan profesi ini sebagai penyambung napas rakyat yang tak bernapas.
Sebagaimana pesan kuat dari Pendiri KOMPAS Group, Jakob Oetama, “Syukur Tiada Akhir. Biarlah penyelenggaraan ilahi yang terus terjadi”.
Entahlah saya menganut jurnalis apa? Apakah jurnalis berkualitas, jurnalis bermakna, jurnalis naratif atau jurnalis deskriptif atau jurnalis berjalan kaki.
Biarlah pembaca yang menilainya. Tapi, bagi saya jurnalis ficer humanis yang cocok dalam aliran nafasku. Saya menganut jurnalis berimbang, akurat, fakta, detail dan verifikasi.
Bagi saya menjadi jurnalis untuk menambah persahabatan dan persaudaraan, bukan menambah konflik.
Salam Jurnalis berkualitas di era disrupsi ini.
***Bersambung***