Ruteng, Vox NTT- Uskup Ruteng Mgr. Siprianus Hormat, Pr membuka secara resmi Festival Golo Curu pada Jumat (21/10/2022) kemarin.
Dalam sambutannya, Uskup Sipri menegaskan festival bukan sebuah ajang untuk hura-hura saja, menghambur-hamburkan waktu, tenaga dan uang.
Namun menurut dia, festival selalu berarti panggilan nurani secara personal dan kolektif bagi jiwa dan roh manusia untuk tetap bergejolak melawan kemiskinan, beban hidup, dan dosa.
“Festival berarti berjumpa dan berbagi: cahir ati, pati nai (membelah napas, membagi hati). Berjumpa dalam keterasingan adalah awal persaudaraan, dan berbagi dalam kekurangan awal benih kekayaan. Dalam semuanya kita menanam dan menumbuhkan benih kasih,” katanya.
Uskup Sipri mengungkapkan, tahun pastoral pariwisata holistik 2022 diwarnai dengan festival. Festival Golo Koe di Labuan Bajo, 8-15 Agustus 2022. Festival Gereja Tua Rekas dalam rangka Perayaan Hari Pariwisata Sedunia di Paroki Rekas, 23-25 September 2022. Kemudian ada juga Festival Golo Curu yang dipadukan dengan Festival Seni dan Budaya Manggarai.
Dikatakan, Gua Golo Curu adalah gua historis bagi umat Keuskupan Ruteng, terlebih bagi umat kota Ruteng, dan lebih khusus lagi bagi umat Paroki Karot.
“Golo adalah bukit. Bukit adalah visi kehidupan, tempat kita memandang dunia dan kehidupan kita dengan lebih luas, tinggi dan dalam. Curu berarti menjemput, dan berarti berjumpa juga. Menjemput atau berjumpa dengan apa dan siapa? Tentu diri sendiri, sesama, alam, sejarah, dan Tuhan,” katanya.
Ia menjelaskan, Festival Golo Curu adalah cara dan jalan untuk menjemput peluang hidup yang semakin baik dan indah lewat sesama, alam, dan Tuhan. Itulah hakikat pariwisata, yaitu ziarah untuk mengendus jejak Allah lewat perjumpaan dengan sesama, budaya ciptaan manusia, dan keindahan alam.
“Di sana kita membangun sikap ramah dengan sesama, ramah dengan alam, ramah dengan budaya, dan ramah dengan jalan Tuhan. Itulah hakikat pariwisata holistik yang berpartisipasi, berbudaya, dan berkelanjutan. Holisitas itu kita lihat dalam pameran ekonomi kreatif, lewat pentas seni dan budaya, lewat kegiatan ekologis, dan semuanya berpuncak dalam kegiatan rohani: prosesi patung Bunda Maria dan Misa Kudus,” jelas Uskup Sipri.
Festival Golo Curu, lanjut dia, coba membungkus semua kegiatan itu dalam tema menghidupi pariwisata holistik dalam semangat St. Fransiskus dan Bunda Maria.
Kedua orang kudus ini adalah tokoh kemiskinan injili. Jenis kemiskinan injili ini adalah sebuah kekayaan hidup spiritual yang membuka dirinya kepada semua orang, semua ciptaan, dan Tuhan sendiri.
Kedua tokoh ini kiranya menjadi inspirasi dalam perjumpaan dengan sesama dalam ziarah pariwisata.
Pariwisata adalah kerjasama dan kerja bersama dengan semua pihak, yang disebut pentahelix: pemerintah, dunia usaha dan industri, dunia pendidikan/akademisi, media, dan komunitas (agama, budaya, dll.).
“Kita lihat dalam tiga festival tahun ini hal itu berjalan dengan baik,” katanya.
Ia mengatakan, Pemerintah Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur tentu mempunyai banyak upaya untuk mengembangkan pariwisata. Salah satunya dengan menciptakan tagline (ikon dan iklan pariwisata).
Kabupaten Manggarai Barat dengan tagline Enchanting Labuan Bajo (Labuan Bajo yang mempesona dan memikat), Kabupaten Manggarai Timur dengan tagline Find yourself in nature (Temukan dirimu sendiri dalam alam), dan Kabupaten Manggarai dengan tagline Manggarai, Land of Harmony (Manggarai Tanah Harmonis).
Semua tagline ini adalah undangan untuk semua orang untuk mengunjungi Manggarai Raya ini. Berarti semua pihak mesti siap untuk wanta, curu, agu tiba meka (mengundang, menjemput dan menerima tamu atau wisatawan). Dan Golo Curu harus menjadi batu penjuru untuk itu, mempertebal destinasi wisata yang menawan, khususnya destinasi wisata religi.
Tentu yang paling penting adalah penguatan masyarakat lokal. Hal ini mesti bersyukur bahwa Paroki Karot sudah memulai sesuatu yang sangat bagus, menggerakkan umat akar rumput dengan Misa, Prosesi Patung pada setiap wilayah yang berpuncak besok, lomba lector/is, lomba koor, dan pentas seni dan budaya sepanjang minggu di bulan Oktober di Golo Curu.
“Ini bagus dan luar biasa. Panitia paroki dibentuk untuk pesta pelindung paroki dan kemudian didukung oleh Puspas/Keuskupan lalu pemerintah juga datang bekerja sama. Ini model jejaring bottom-up. Tanda bagus. Ini betul sesuai dengan konsep community based tourism: pariwisata berbasis komunitas, dan terutama komunitas lokal. Hal ini sangat ditekankan oleh tema perayaan pariwisata sedunia tahun ini, mereflekasikan kembali pariwisata (rethinking tourism). Akar pariwisata adalah masyarakat lokal dalam seluruh dimensi hidupnya,” kata Uskup Sipri.
Penulis: Ardy Abba