Oleh: Yergo Gorman
“Di Indonesia hanya ada dua pilihan, menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan menjadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya.” Kalimat tersebut datang dari Soe Hok Gie, aktivis angkatan 66 yang terlibat aktif meruntuhkan rezim Soekarno.
Beberapa waktu lalu, Indonesia peringati Sumpah Pemuda 28 Oktober 2022. Sumpah pemuda melekat pada ingatan bangsa sebagai momentum kebangkitan intelektual para pemuda di Indonesia. Realitas sejarah yang memperlihatkan kualitas perjumpaan, energi, idealisme, dan prinsip.
Perjumpaan itu lahir dari kegelisahan kolektif atas pemiskinan, pembodohan dan imperialisme Belanda. Tragedi ini pada akhirnya menciptakan ruang bagi tumbuhnya idealisme sesama warga bangsa. Idealisme itu mendarat pada refleksi eksistensial.
Suatu upaya intelektual untuk menemukan kembali kesamaan identitas, arti persatuan dan perjuangan serta usaha meraih kebebasan individu, kemerdekaan, melawan segala bentuk ketidakadilan, kolonialisme asing, dan segala yang nonhumanis.
Pada hari ini 10 November 2022 kita juga merayakan hari Pahlawan, suatu momentum untuk mengenang heroisme pemuda guna merebut kemerdekaan atas kuasa penjajah. Sisi historis bangsa ini memantulkan kaum muda sebagai entitas sosial yang tampil di situasi genting dan paling menentukan saat Indonesia melewati pergolakan demi pergolakan sebagai bangsa.
Tulisan ini tampil semacam potret renungan dalam menyimak kenyataan praktis generasi muda di daerah dewasa ini terutama yang menghidupi spirit aktivisme.
Generasi ini “hidup” dalam tegangan konkret idealisme dan kebutuhan real sebagai manusia dan masyarakat dengan sistem sosial tertentu. Tulisan ini saya dedikasikan khusus bagi rekan-rekan muda aktivis dan semua orang yang mencintai aktivisme sebagai salah satu esensi gerakan sosial.
Mengapa diskursus ini dipandang perlu? Otonomi daerah maupun demokrasi lokal tanpa aktivisme dan kontrol sosial anak muda ialah poros menuju fatalisme pembangunan. Tanpa civil society yang kuat, destruktivisme pembangunan terjadi.
Destruktivisme pembangunan mekar dalam ragam bentuk; korupsi, mark up anggaran dan nepotisme di tubuh birokrasi lokal, infrastruktur fisik yang rusak dalam rentang waktu tertentu, problem kesehatan ibu dan balita, terbatasnya ketersediaan listrik dan air bersih rumah tangga, sampai pada level pemiskinan struktural.
Dilema ini mengakibatkan upaya untuk mengubah taraf hidup rakyat mengalami stagnasi sebab potensinya dibatalkan oleh disorientasi kebijakan. Realitas ini sering kita jumpai tapi tak terlihat sebagai lingkaran setan pembangunan.
Mengapa anak muda? Kelompok generasi ini menjadi kelompok strategis yang berjibaku aktif dalam pergumulan arah dan perspektif masa depan pembangunan bangsa. Padanya konsepsi maupun idealitas hidup membangsa tergambar secara konkret. Kelompok yang secara psikologis “berpotensi” bebas dari berbagai bentuk kepentingan.
Tragedi
Idealisme bila mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai hidup menurut cita-cita, menurut patokan yang dianggap sempurna, dapat juga diartikan sebagai aliran yang mementingkan khayal atau fantasi untuk menunjukkan keindahan dan kesempurnaan meskipun tidak sesuai dengan kenyataan. Idealisme termanifestasi di setiap sendi kehidupan manusia.
Ia diinstal ke dalam pikiran manusia guna menolak sikap pasif, tunduk dan pasrah pada realitas hidup, baik personal maupun yang menyangkut hajat hidup bersama.
Idealisme dalam ulasan ini lebih merujuk pada konstruksi aktivisme anak muda yang memiliki gambaran visi, proyeksi, harapan akan pembangunan dan demokrasi lokal yang lebih baik.
Pembuatan kebijakan publik yang adil dan berdampak, inklusivitas kepemimpinan lokal, peduli dan progresif tanpa sibuk pada kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
Aktivisme ini muncul dalam tindakan seperti aktif berkegiatan sosial, advokasi warga korban ketidakadilan, fasilitasi kelompok rentan ke pemerintah, evaluasi kebijakan dan kajian isu pembangunan, produksi gagasan dan diskursus publik, sikap kritis terhadap perilaku kekuasaan, dan sebagainya.
Kerja-kerja aktivisme tersebut di kalangan anak muda seringkali pudar dan relatif melemah persis diakibatkan beberapa faktor berikut.
Pertama, ekonomi. Pasca lulus dari Universitas dan pulang ke daerah, kelompok generasi muda idealis perlahan larut dalam pilihan antara tahan banting mempertahankan idealisme atau fokus penuhi kebutuhan ekonomi.
Setelah selesai kuliah, kebutuhan itu terurai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Meski demikian, kebutuhan ekonomi menjadi sinyal utama guna menggugat status aktivisme seseorang, urus diri sendiri atau sibuk urus kehidupan bersama (ruang publik).
Situasi ini membuat sebagian kelompok generasi muda lebih memilih bekerja di sektor swasta tanpa menggantungkan ekonominya pada anggaran pemerintah.
Dengan demikian, ada ruang di mana aktivisme dan daya kritis terhadap perilaku kekuasaan tetap berjalan.
Kedua, sosial budaya. Faktor sosial budaya setempat turut berpengaruh pada kadar idealisme anak muda. Ia tampak lebih kejam dari ekonomi. Sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah adalah ancaman dalam hidup bersama.
Kultur masyarakat dan mentalitas pejabat publik masih sangat antipati dan tidak terbiasa dengan kritik. Faktanya kritik publik adalah kesahihan demokrasi. Sikap permisif dan aspek relasi sosial kekerabatan/kekeluargaan tak mampu dipisahkan dalam praksis demokrasi lokal. Ide-ide kemajuan (ideas of progress) terhambat oleh pandangan kultural tersebut.
Ketiga, Krisis inovasi. Di era 4.0 saat ini, inovasi dan kreativitas adalah syarat mutlak. Menciptakan suatu produk baru atau mengelola sumber daya lokal. Aktivisme anak muda mudah jatuh manakala ia kehilangan visi dan orientasi soal pekerjaan.
Krisis ini perlahan membentuk ketergantungan akses pekerjaan pada pemerintah. Tentu poin ini sedikit memicu pertanyaan, bukankah lulusan Perguruan Tinggi mesti lekat dengan kompetensi kelimuan, karakter, inovasi, dan keterampilan teknis tertentu.
Ilmu yang ada padanya mesti membuatnya punya fighting spirit ketika terjun ke masyarakat. Di titik ini, saya merasa anak muda perlu berani jadi dirinya sendiri ketika kembali ke daerah, tidak terlampau ikut arus dan sekelumit jebakan kultural. Tiga hal tersebut hemat saya adalah pemicu idealisme anak muda mengalami kebuntuan.
Korelasi
Peristiwa tumbangnya rezim Soeharto di tahun 1998 oleh kelompok mahasiswa Indonesia dan para intelektual menjadi salah satu penanda gejolak kebangkitan civil society di Indonesia.
Dasar dari aksi massa ini adalah keprihatinan kolektif terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme akut dalam penyelenggaraan negara, krisis kebebasan ekspresi dan berpendapat dan sebagainya.
Pasca keruntuhan Soeharto, ada transisi ke demokrasi. Dalam konteks lokal Manggarai raya, perlawanan rakyat terhadap elitisme penguasa seringkali mencuat pada isu pengelolaan Taman Nasional Komodo (TNK) di Kabupaten Manggarai Barat.
Civil society adalah suatu gambaran khas masyarakat yang ditandai dengan partisipasi aktif dalam demokrasi, fungsi advokasi dan kontrol sosial. Tanpa gerakan civil society, demokrasi dan pembangunan bakal lari di tempat.
Di Manggarai Timur kritisisme dan ruang-ruang diskursus publik guna mengkaji kebijakan-kebijakan pembangunan daerah cenderung sepi. Butuh keberanian dan komitmen utuh untuk melihat aktivisme sebagai jalan keselamatan bagi demokrasi lokal. Krisis tersebut bisa ditarik ke salah satu penyebabnya yakni fenomena kebuntuan idealisme di kalangan anak muda.
Goncangan idealisme itu bukan tak mungkin ikut berpengaruh signifikan pada surutnya iklim civil society. Percakapan intelektual generasi muda idealis dalam membaca kekuasaan terlampau redup sebab dimatikan oleh tuntutan yang lebih realistis.
Pada akhirnya menjadi anak muda idealis dalam pembangunan adalah soal pilihan, ketidakpedulian pun adalah pilihan, namun krisis kesadaran ke apatisme sosial berpotensi melahirkan kebijakan publik yang cenderung ngawur akibat lemahnya kontrol publik.
Pada bagian akhir, saya ingin mengutip kalimat Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman. Dia bilang “Buta terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya seraya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri.”
Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan yang kita rayakan setiap tahun sepatutnya tak sekedar jadi proyek formalisme-ritualistik belaka tanpa kehendak dan semangat untuk berbuat sesuatu bagi pembangunan daerah.
Suatu kelompok generasi tanpa aktivisme lokal bakal bikin daerah jalan di tempat, tanpa kemajuan dan perubahan signifikan. Nasionalisme tanpa terlibat sama dengan cinta tanpa pembuktian. Anak muda adalah kelompok sosial strategis yang dilimpahi tugas sejarah mengisi ruang-ruang kosong dalam pembangunan.
Penulis adalah Lulusan Studi Kebijakan Publik, Minat Literasi dan Kajian Pembangunan Desa