Oleh: Vinsensius Arman
Disiplin positif merupakan unsur utama dalam terwujudnya budaya positif yang kita cita-citakan di sekolah kita.
Makna disiplin positif yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara maupun Diane Gossen, di mana kedua pakar pendidikan mengartikan disiplin sebagai bentuk kontrol diri, yaitu belajar untuk kontrol diri agar dapat mencapai suatu tujuan mulia.
Tujuan mulia di sini mengacu pada nilai-nilai atau prinsip-prinsip mulia yang dianut seseorang. Kita namakan nilai-nilai tersebut sebagai nilai-nilai kebajikan (virtues) yang universal.
Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.
Disiplin Positif dan Nilai-nilai Kebajikan Universal
Nilai-nilai kebajikan (virtues) yang universal menjadi acuan bagi seseorang dalam menentukan tujuannya. Nilai-nilai ini adalah nilai-nilai atau prinsip-prinsip mulia yang dianut seseorang.
Nilai-nilai kebajikan universal berarti nilai-nilai kebajikan yang disepakati bersama, lepas dari suku bangsa, agama, bahasa maupun latar belakangnya.
Nilai-nilai ini merupakan ‘payung besar’ dari sikap dan perilaku kita, atau nilai-nilai ini merupakan fondasi kita berperilaku. Nilai-nilai kebajikan adalah sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap individu.
Seperti yang telah dikemukakan oleh Dr. William Glasser pada Teori Kontrol (1984), menyatakan bahwa setiap perbuatan memiliki suatu tujuan.
Selanjutnya Diane Gossen (1998) mengemukakan bahwa dengan mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun, sehingga menggerakkan motivasi dari dalam untuk dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan.
Nilai-nilai kebajikan yang ingin dicapai oleh setiap anak Indonesia yang kita kenal dengan Profil Pelajar Pancasila: Beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Berakhlak Mulia, Mandiri, Bernalar Kritis, Berkebinekaan Global, Bergotong royong dan Kreatif.
Restructuring School Discipline
Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 motivasi perilaku manusia:
Pertama, untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman. Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia.
Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak melakukannya?
Sebenarnya mereka sedang menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan tindakan tersebut. Motivasi ini bersifat eksternal.
Kedua, untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.
Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, di sini orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi ini akan bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya melakukannya?
Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia berkualitas mereka.
Mereka juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan. Motivasi ini juga bersifat eksternal.
Ketiga, untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.
Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apabila saya melakukannya?
Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut.
Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksterna
Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang ketiga pada murid-murid kita yaitu untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.
Ketika murid-murid kita memiliki motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah.
Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai.
Cara Menanamkan Disiplin Positif
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara kita sebagai guru untuk menanamkan disiplin positif kepada murid-murid kita?
Restitusi
Kembali kepada Restitusi. Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004)
Restitusi juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).
Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah.
Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai.
Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan cara yang memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan mendapatkan kembali harga dirinya.
Restitusi menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Ini sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi menang- menang.
Ada peluang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh ketika mereka melakukan kesalahan, bukankah pada hakikatnya begitulah cara kita belajar.
Murid perlu bertanggung jawab atas perilaku yang mereka pilih, namun mereka juga dapat memilih untuk belajar dari pengalaman dan membuat pilihan yang lebih baik di waktu yang akan datang.
Ketika guru memecahkan masalah perilaku mereka, murid akan kehilangan kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang berharga untuk hidup mereka.
Ciri-ciri restitusi yang membedakannya dengan program disiplin lainnya:
Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan. Restitusi memperbaiki hubungan.
Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan. Restitusi menuntun untuk melihat ke dalam diri. Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan. Restitusi diri adalah cara yang paling baik. Restitusi fokus pada karakter bukan tindakan. Restitusi menguatkan. Restitusi fokus pada solusi. Restitusi mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya.
Keyakinan Kelas
Mengapa keyakinan kelas, mengapa tidak peraturan kelas saja?
Menekankan pada keyakinan seseorang akan lebih memotivasi seseorang dari dalam. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa makna.
Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan memahami arti sesungguhnya tentang peraturan-peraturan yang diberikan, apa nilai-nilai kebajikan dibalik peraturan tersebut, apa tujuan utamanya.
Nilai-nilai Kebajikan Universal, yang dapat menjadi landasan kita dalam membuat suatu keyakinan sekolah atau menentukan visi dan misi atau tujuan dari sebuah institusi/sekolah.
Pembentukan Keyakinan Sekolah/Kelas
Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit. Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal. Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.
Kebutuhan Dasar Manusia dan Dunia Berkualitas
5 Kebutuhan Dasar Manusia menurut Dr. William Glasser dalam “Choice Theory”
Pertama, Kebutuhan Bertahan Hidup.
Kebutuhan bertahan hidup (survival) adalah kebutuhan yang bersifat fisiologis untuk bertahan hidup misalnya kesehatan, rumah, dan makanan.
Kebutuhan biologis sebagai bagian dari proses reproduksi termasuk kebutuhan untuk tetap bertahan hidup. Komponen psikologis pada kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan perasaan aman.
Kedua, Kasih sayang dan Rasa Diterima
(Kebutuhan untuk Diterima). Kebutuhan ini dan tiga kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan psikologis.
Kebutuhan untuk disayangi dan diterima meliputi kebutuhan akan hubungan dan koneksi sosial, kebutuhan untuk memberi dan menerima kasih sayang dan kebutuhan untuk merasa menjadi bagian dari suatu kelompok.
Kebutuhan ini juga meliputi keinginan untuk tetap terhubung dengan orang lain, seperti teman, keluarga, pasangan hidup, teman kerja, binatang peliharaan, dan kelompok dimana kita tergabung
Ketiga, Kebebasan (Kebutuhan akan Pilihan).
Kebutuhan untuk bebas adalah kebutuhan akan kemandirian, otonomi, memiliki pilihan dan mampu mengendalikan arah hidup seseorang.
Anak-anak dengan kebutuhan kebebasan yang tinggi menginginkan pilihan, mereka perlu banyak bergerak, suka mencoba-coba, tidak terlalu terpengaruh orang lain dan senang mencoba hal baru dan menari.
Keempat, Kesenangan (Kebutuhan untuk merasa senang). Kebutuhan akan kesenangan adalah kebutuhan untuk mencari kesenangan, bermain, dan tertawa.
Bayangkan hidup tanpa kenikmatan apa pun, betapa menyedihkan. Glasser menghubungkan kebutuhan akan kesenangan dengan belajar.
Semua hewan dengan tingkat intelegensi tinggi (anjing, lumba-lumba, primata, dll) bermain. Saat mereka bermain, mereka mempelajari keterampilan hidup yang penting. Manusia tidak berbeda.
Anak-anak dengan kebutuhan dasar kesenangan yang tinggi biasanya ingin menikmati apa yang dilakukan.
Mereka juga bisa berkonsentrasi tinggi saat mengerjakan hal yang disenangi. Mereka suka permainan dan suka mengoleksi barang, suka bergurau, suka melucu dan juga menggemaskan. Bahkan saat mereka bertingkah laku buruk, mereka masih terlihat lucu.
Kelima, Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan). Kebutuhan ini berhubungan dengan kekuatan untuk mencapai sesuatu, menjadi kompeten, menjadi terampil, diakui atas prestasi dan keterampilan kita, didengarkan dan memiliki rasa harga diri.
Kebutuhan ini meliputi keinginan untuk dianggap berharga, bisa membuat perbedaan, bisa membuat pencapaian, kompeten, diakui, dihormati. Ini meliputi self esteem, dan keinginan untuk meninggalkan pengaruh.
Anak-anak yang memiliki kebutuhan dasar akan penguasaan yang tinggi biasanya selalu ingin menjadi pemimpin, mereka juga suka mengamati sebelum mencoba hal baru dan merasa kecewa bila melakukan kesalahan. Mereka juga biasanya rapi dan sistematik dan selalu ingin mencapai yang terbaik.
Restitusi: Lima Posisi Kontrol
Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas mereka selama ini.
Apakah telah efektif, apakah berpusat, memerdekakan, dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa?
Melalui serangkaian riset dan berdasarkan pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol.
Kelima posisi kontrol tersebut adalah
Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer.
Restitusi – Segitiga Restitusi
Diane Gossen dalam bukunya Restitution; Restructuring School Discipline, (2001) telah merancang sebuah tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi, bernama segitiga restitusi/restitution triangle.
Proses tiga tahapan tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip utama dari Teori Kontrol, yaitu:
Sisi 1. Menstabilkan Identitas (Stabilize the Identity)
Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses.
Anak yang melanggar peraturan karena sedang mencari perhatian adalah anak yang sedang mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi kebutuhan dasarnya namun ada benturan.
Kalau kita mengkritik dia, maka kita akan tetap membuatnya dalam posisi gagal. Kalau kita ingin ia menjadi reflektif, maka kita harus meyakinkan si anak, dengan cara mengatakan kalimat-kalimat ini
Berbuat salah itu tidak apa-apa. Tidak ada manusia yang sempurna. Saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu. Kita bisa menyelesaikan ini.
Bapak/Ibu tidak tertarik mencari siapa yang salah, tapi Bapak/Ibu ingin mencari solusi dari permasalahan ini. Kamu berhak merasa begitu.
Apakah kamu sedang menjadi teman yang baik buat dirimu sendiri?
Kalau kita mengatakan kalimat-kalimat diatas, akan sangat sulit, bahkan hampir tidak mungkin, buat anak untuk tetap membangkang.
Para guru yang bertugas mengawasi anak-anak saat mereka bermain di halaman sekolah, menyatakan bahwa bila mereka mengatakan kalimat tersebut yang mungkin hanya butuh 30 detik, bisa mengubah situasi yang sulit menjadi kooperatif.
Ketika seseorang merasa sedih dan emosional, mereka tidak bisa mengakses bagian otak yang berfungsi untuk berpikir rasional. Saat itulah ketika kita harus menstabilkan identitas anak.
Sebelum terjadi hal-hal lain yang bisa memperburuk keadaan, kita sebaiknya membantu anak untuk tenang dan kembali ke suasana hati dimana proses belajar dan penyelesaian masalah bisa dilakukan.
Sisi 2, Validasi Tindakan yang Salah
Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk, pasti memiliki maksud/tujuan tertentu. Seorang guru yang memahami teori kontrol pasti akan mengubah pandangannya dari teori stimulus response ke cara berpikir proaktif yang mengenali tujuan dari setiap tindakan.
Kita mungkin tidak suka sikap seorang anak yang terus menerus merengek, tapi bila sikap itu mendapat perhatian kita, maka itu telah memenuhi kebutuhan anak tersebut.
Kalimat-kalimat di bawah ini mungkin terdengar asing buat guru, namun bila dikatakan dengan nada tanpa menghakimi akan memvalidasi kebutuhan mereka.
“Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?”
“Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu”
“Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi sesuatu yang penting buatmu”.
“Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan sikap yang baru.”
Sisi 3, Menanyakan Keyakinan (Seek the Belief)
Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan.
*Penulis adalah staf pengajar/pendidik dan calon guru penggerak pada SMKN 1 Wae Ri’i, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.