Oleh: Igen Pous
Menjelang Pemilu, Pilkada atau Pilpres selalu ada pendukung setiap calon bahkan ada pendukung fanatik (basis tradisional) dari setiap calon. Setiap pendukung calon masing-masing selalu menganggap bahwa calonnya paling benar, paling hebat dan paling bisa dalam mengurus bangsa ini.
Padahal faktanya, setelah berkuasa para politisi ini sibuk berkoalisi untuk berbagi kue kekuasaan dan meninggalkan polarisasi di tengah masyarakat dan tidak ada lagi pemimpin yang hebat dan serba bisa sesuai janji-janji kampanyenya ketika berkuasa.
Mereka sibuk mengatur strategi untuk menjinakan lawan dan berbagi kepentingan sesuai porsi kekuatan politiknya. Ada pula yang berpura-pura menjadi oposisi ketika belum dapat jatah politik, jabatan atau bisnis apapun.
Ironisnya, rakyat tetap bertahan dan teguh pada perbedaan atas nama partai, kelompok atau golongan dan itu terulang kembali setiap kali Pemilu. Yang paling miris dan menimbulkan perpecahan adalah politik atas nama suku, ras atau agama.
Mungkin ini hasil dari sebuah kampanye politisi untuk membuat masyarakat pecah atau beda pilihan supaya dibilang itulah demokrasi.
Jika melihat faktanya siapapun yang menang tidak ada yang benar-benar bekerja mengutamakan kepentingan rakyat. Rakyat itu jadi perioritas tambahan, karena yang utama bagi politisi adalah bagaimana mengelola negara ini untuk kepentingan kekuasaan, partai dan sponsor-sponsor Pemilu.
Jatah proyek atau bisnis dibagikan kepada kawan politik dan sponsor Pemilu atas nama pembangunan.
Demokrasi itu hanya karena rakyat dimobilisasi untuk ikut Pemilu. Tetapi dalam hal kepentingan, rakyat itu hanya tambahan saja, bukan yang utama dan pertama.
Hampir tidak ada ruang buat rakyat untuk menjadi yang utama seperti slogan demokrasi dari segi apapun, kebebasan, hukum, ekonomi, dll.
Penguasa menguasai semua akses (ekonomi, hukum, pendidikan, media, dll) sehingga rakyat seperti di penjara secara halus. Tetapi ironisnya rakyat tetap percaya dengan janji-janji retorika tiap Pemilu.
Padahal janji kampanye itu seperti iklan. Itulah hebatnya elite politik. Mereka tahu benar psikologis masyarakat. Mereka menciptakan aturan main hanya untuk rakyat percaya dengan demokrasi.
Bagaimana jika sebenarnya para politisi itu adalah sekelompok orang yang hanya memainkan bisnis politik, dan tidak ada bedanya dengan bisnis konvensional yang lain yaitu cari untung (uang)?
Rakyat adalah konsumen dari produk demokrasi, makanya harus banyak partai dan banyak pilihan sehingga rakyat percaya bahwa mereka adalah orang-orang yang beda tetapi sesungguhnya mereka adalah sama.
Kalau partai hanya satu dan calon hanya satu itu bukan demokrasi, padahal demokrasi itu hanya permainan politik, bukan sesuatu yang ideal.
Sampai kapanpun rakyat tidak pernah sadar karena politisi selalu terdepan dalam memainkan isu.
Semoga rakyat mulai cerdas, karena jualan ala demokrasi banyak ada di tengah kita. Ada yang menjual surga dan neraka. Ada yang menjual kesehatan, dan lain-lain hanya untuk sesuatu yang ilusi.
Penulis adalah Putra Ndehes, Kecamatan Wae Ri’i, Manggarai yang berdomisili di Jakarta