(Catatan Reflektif & Kritik Diri Guru dari Perspektif Dialektika Socrates)
Oleh: Sipri Kantus
Tema HUT PGRI dan HGN ke-77 25 November tahun 2022 adalah “Guru bangkit, pulihkan Indonesia: Indonesia Kuat, Indonesia Maju.” Untuk saya pribadi sebagai guru, tema ini boleh dipahami sekalian sebagai ajakan juga sebagai sebuah introspeksi.
Melihat ke dalam diri secara jujur, yang membawa seorang guru pada pengakuan akan kekurangannya. Tentu, sebagai manusia biasa, seorang guru memiliki beberapa hambatan dalam diri, yang karenanya ajakan untuk bangkit guna memulihkannya menjadi relevan. Ajakan untuk memulihkan diri sendiri dari halangan-halangan yang membuatnya enggan terbuka terhadap perspektif-perspektif baru.
Saya menyebutkan antara lain dua sikap sebagai guru yang perlu dipulihkan yaitu sikap pura-pura tahu semuanya dan tidak mau tahu lagi. Dua sikap ini dalam perpektif dialektika Socrates adalah halangan terbesar untuk menjadi guru yang berkarakter ‘murid’,- guru pembelajar sepanjang hayat.
Menurut Socrates dalam metode dialektikanya, aktivitas belajar-mengajar pertama-tama harus mengantar seseorang untuk secara jujur menerima diri seperti terungkap dalam ungkapan ‘saya tahu, bahwa saya tidak tahu.’
Pada momen peringatan hari guru ini, ada baiknya kita belajar bersama Socrates untuk menemukan inspirasi baru juga api semangat baru untuk mengabdi bagi generasi penerus bangsa.
Belajar dari Dialektika Socrates
Socrates dilahirkan pada tahun 470 SM di Athena. Ibunya seorang Bidan dan ayahnya seorang pemahat (Kleden, 2002). Metode mengajar Socrates lahir dari adopsi kreatifnya atas profesi ayah dan ibunya.
Dalam menjalankan kedua tugas profesi itu, keduanya sangat membutuhkan kesabaran, ketekunan dan ketelitian. Dari ayahnya yang seorang pemahat, Socrates belajar tentang kesabaran dan kehati-hatian.
Memahat terlebih dahulu adalah menghancurkan bagian-bagian tertentu sebuah batu, lalu dengan penuh kesabaran dan ketekunan membentuknya kembali sesuai dengan bentuk estetik tertentu yang diinginkan. Itulah kehancuran positif, kehancuran yang membangun.
Karenanya, proses pengajaran (dalam konteks filsafat) menurut Socrates adalah seni membongkar, menyangkal atau menyanggah dan menyusun kembali sebuah pendapat sehingga menjadi sebuah gagasan yang bisa diterima.
Pembicaraan dan diskusi gagasan dilakukan terus-menerus. Inilah proses dialog-interaktif yang terus berulang, sebuah proses pembicaraan yang berkesinambungan yang disebut dengan dialektika atau Metode Socrates.
Sebagai sebuah metode mengajar, dialektika Socrates melalui dua tahap penting. Tahap pertama disebut Elenchos/elenchoi yang berarti sangkalan atau sanggahan. Tujuan sanggahan dan sangkalan adalah untuk menyadari ketidaktahuan.
Metode ini sama sekali tidak berarti menolak pendapat orang. Sebuah gagasan perlu disanggah dengan maksud agar apa yang menjadi ilusi, asumsi ataupun dugaan dibersihkan, dan bila perlu pembicaraan itu menggiring orang sampai pada kejujuran dan kerendahan hati untuk mengakui bahwa dia tidak tahu atau banyak hal yang tidak diketahuinya.
Tahap kedua dalam metode mengajar Socrates disebut dengan Maieutika Tekhne atau Teknik Kebidanan. Teknik ini berpijak pada pengandaian bahwa manusia siapapun dia mengandung dalam dirinya apa yang disebut dengan kebenaran dan kemampuan.
Potensi itu bisa berupa kemampuan berpendapat baik, tapi potensi itu belum diaktualkan atau masih sebatas pikiran. Untuk sanggup mengemukakan pendapatnya, dia membutuhkan kehadiran orang lain sebagai penuntun, agar apa yang dipikirkannya sanggup dituangkannya dalam suatu bentuk ide, gagasan atau pendapat.
Menurut Socrates, metode dialektika bisa diandaikan seperti peran seorang bidan yang dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian menolong seorang ibu agar sanggup melahirkan bayinya dengan selamat.
Dengan itu, metode Socrates hendak menyanggupkan seseorang untuk menyampaikan pendapatnya secara baik dan benar.
Peran Guru: Meyakinkan Siswa tentang Ketidaktahuannya
Dari pembedahan tentang metode dialektika berikut tahap-tahapnya, ditemukan bahwa upaya dasar terkait pencarian akan pengetahuan adalah membawa patner bicara kita (baca: murid) sampai kepada kesadaran akan ketidaktahuannya.
Masalah ini tidak bisa dianggap sepele, karena berbagai alternatif solusi yang hendak ditawarkan untuk pemecahan sebuah masalah mengandaikan kesadaran dan kejujuran untuk mengakui ketidaktahuan.
Ibarat seorang sakit yang membutuhkan penyembuhan, dia harus menunjukkan luka atau rasa sakitnya kepada dokter untuk didiagnosis, untuk kemudian diberikan obat.
Sejalan dengan pengobatan luka, penyakit ketidaktahuan juga perlu dibongkar. Subjek yang membongkar ketidaktahuan adalah guru dengan metode dialektika atau pembicaraan.
Penekanan pada metode dialektika bermaksud agar seorang guru keluar dari godaan rutinitasnya sebagai petugas transfer ilmu, sebab guru sebenarnya bukan bank ilmu. Dialektika membebaskan keduanya baik guru (tukang transfer) maupun murid (penerima pasif).
Dengan dialektika, seorang guru dibebaskan dari sekedar menjalankan tugas mengajar yang terkesan rutinitas-formal menjadi komunikator yang handal, teman dan patner bicara.
Sementara itu, dengan dialektika, seorang murid juga dibebaskan dari pasifitas sebagai pendengar menjadi subyek yang aktif dan terlibat. Dengan demikian, dialektika dengan rupa-rupa pertanyaan dan saling sanggah menjadikan sebuah situasi pembelajaran menjadi lebih interaktif.
Siswa-siswa kita boleh jadi berada dalam perangkap ketidaktahuan; “Seolah-olah tahu atau tidak menyadari ketidaktahuannya.”
Kepura-puraan seperti itu kerap menciptakan sebuah ‘kelas semu’ dengan ‘litani setuju’ dan ‘seribu anggukan’ atas apa yang diajarkan guru.
Situasi ini perlu dijernihkan dengan sebuah dialektika. Sifat semu dan seolah-olah perlu hadapkan pada sangkalan atau sanggahan. Sanggahan diperlukan untuk menginterupsi salah kaprah yang dianggap biasa dan mapan.
Salah satu contoh kemapanan dan salah kaprah itu berkaitan dengan penghayatan terhadap sebuah aturan. Jamak fakta tentang aturan yang sering tidak diindahkan menimbulkan anggapan atau asumsi bahwa ‘aturan memang untuk dilanggar.”
Asumsi ini bisa disanggah dengan beberapa pertanyaan, “benarkah aturan untuk dilanggar?,” “bukankah aturan dibuat untuk menjamin sebuah keteraturan?” atau bisa juga sanggahannya berupa sebuah bantahan tanpa tedeng aling-aling, “aturan bukan untuk dilanggar, titik!” Lantas, aturan sebenarnya untuk apa?
Lihat bahwa pernyataan yang dibantah, pun bantahan atas bantahan, berkelindan dalam suatu proses yang dialektis.
Dalam proses ini, selain diajak berpikir untuk menemukan jawaban yang lebih hakiki, seorang peserta didik juga masuk dalam proses pemurnian atau penjernihan atas asumsi-asumsi dan salah kaprah tentang sebuah aturan.
Dengan pengetahuannya, seorang guru lalu menegaskan beberapa hal terkait aturan (sekedar menyebutkan beberapa). Pertama, manusia punya kecenderungan kodrati pada keteraturan.
Kedua, manusia pada dasarnya hidup dalam batas-batas norma. Ketiga, manusia yang menolak hidup dalam aturan sebenarnya hidup dalam kebohongan. Dengan ini, untuk sementara asumsi tentang ‘aturan untuk dilanggar’ terjawab.
Namun tetap saja menyisakan kebingungan atau sekurang-kurangnya keraguan tentang keteraturan itu adalah hakikat manusia bila dibenturkan dengan fakta “semakin banyak orang tidak taat pada aturan.” It’s ok, sebab keraguan adalah salah satu tujuan dialektika agar upaya mencari pengetahuan tidak terhenti.
Dialektika akan terus hidup jika guru dan murid tidak berhenti bertanya dan saling membantah, karena sejatinya sebuah dialektika mengandung sebuah hakikat pencarian yang tidak pernah selesai.
Dari perspektif dialektika Socrates, tugas guru pada tempat pertama bukanlah pemberi jawaban, melainkan sebagai pembantu atau rekan yang membuka dan menunjukkan jalan kepada pengetahuan.
Dengan dialektika, seorang guru meyakinkan muridnya untuk menyadari ketidaktahuannya atas sesuatu. Bagi Socrates, pengetahuan dasar manusia itu terutama adalah kesadaran akan ketidaktahuannya.
Ungkapan terkenal dari Socrates adalah “saya tahu, bahwa saya tidak tahu.” Pengetahuan serta pengakuan akan ketidaktahuan merupakan karakter dari individu yang rendah hati, jujur, menyadari dirinya telanjang atau kosong.
Karakter demikian memungkinkan seorang individu untuk selalu belajar dan bersedia membuka diri untuk menerima serta diisi dengan pelbagai perspektif baru.
Bukan Semata Kurikulum, Tetapi Guru juga Perlu Jujur!
Aplikasi dialektika Socrates pada satu sisi tidak terbatas seputar geliat seorang murid. Pada sisi yang lain, hemat penulis, ungkapan “saya tahu, bahwa saya tidak tahu” seharusnya berlaku juga untuk seorang guru, sebab dialektika menempatkan guru pun muridnya sejajar sebagai dua rekan dengan hakikat ‘pencari.’
Karenanya, melalui ungkapan itu, Socrates sebenarnya juga menantang sekaligus menggugat sikap ilmiah dan akademik seorang guru. Ungkapan itu mau mengatakan lebih jauh bahwa seorang guru juga hendaknya mengambil posisi sebagai “murid.”
Tentu, agar dialektika tidak putus, guru harus berkarakter murid. Guru berkarakter murid sekurang-kurangnya memperhatikan dua hal ini. Pertama, hindari sikap “pura-pura tahu” semuanya. Kepura-puraan adalah karakter semu yang menyembunyikan kekurangan dan ketidaktahuan.
Seorang guru dengan karakter sekian akan menjadi halangan bagi sebuah proses dialektika sebab ia akan mendominasi pembicaraan. Ia kemungkinan tidak peduli dan bahkan juga enggan terlibat dalam pembicaraan apalagi dibantah atau disanggah dengan argumentasi tertentu oleh muridnya. Kedua, hindari sikap “tidak mau tahu lagi.”
Sikap “tidak mau tahu lagi’ adalah gambaran dari karakter individu yang berhenti belajar. Baginya, puluhan tahun di sekolah sampai memperoleh gelar akademiknya kini, telah cukup untuk menjawab semuanya.
Guru seperti ini sudah menutup diri terhadap dinamika yang terus berjalan. Dia sedang mengingkari waktu yang mempunyai sifat khas yaitu perubahan.
Dialah individu yang hanya bertahan dan terpukau pada romantika masa lalu (status quo). Dengan itu, dia menghambat pencarian pengetahuan baru, sebab dia tertutup untuk menerima bantahan atau sanggahan yang ditiupkan oleh angin perubahan.
Di penghujung ulasan ini, sekali lagi saya mau katakan bahwa dialektika Socrates sebenarnya juga menggugat guru (saya) untuk melihat diri secara jujur.
Meski kita membutuhkan bantuan tutor yang hebat, tetapi percayalah seorang guru tidak sepenuhnya bisa dirubah oleh sebuah trend pergantian kurikulum.
Guru perlu regulasi untuk sebuah ruang gerak yang merdeka, namun guru yang inovatif, kreatif, kritis, inspiratif dan lain-lain seperti yang dikehendaki kurikulum itu akan terpenuhi manakala seorang guru bersedia untuk terus belajar; Belajar dan mencari, yang lahir dari kesadaran, kejujuran dan pengakuan: “saya tahu, bahwa saya tidak tahu.”*
Penulis adalah Staf Pengajar di SMK Swakarsa Ruteng, Co-Author untuk Buku Setapak Literasi; Antologi Tulisan Para Guru SMK Swakarsa