Oleh: Ferly Tanggu Hana
Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta
Tinggal hitungan hari lagi kita akan berjumpa dengan tahun 2023. Tahun yang tentunya masih penuh misteri bagi kita semua. Sebelum melangkah kesana, ada baiknya kita sedikit menengok kebelakang untuk mencerna jalan yang sudah kita lewati sepanjang tahun 2022 ini.
Setelah diterpa fenomena besar Covid – 19 selama hampir dua tahun, tentu banyak perubahan yang kita rasakan dalam satu tahun terakhir yang sudah berangsur normal. Dalam kaitannya dengan pekerjaan dan organisasi, banyak perubahan penting yang juga mengalami “new normal” layaknya kita menyesuaikan diri dengan Covid-19.
Work From Home (WFH) atau bekerja dari rumah adalah salah satu opsi yang familiar diberlakukan dalam dunia kerja untuk menyikapi kala Covid – 19 mengganas.
Namun opsi ini tampaknya juga menjadi salah satu bentuk normal baru yang terus diterapkan setelah Covid-19 melandai seperti saat ini. Mari kita melihat opsi ini dari sudut pandang komunikasi organisasi.
Kontrol komunikasi organisasi terhadap karyawan menurut Tompkins & Chaney (2009) terbagi atas tiga bagian yakni kontrol sederhana yang bisa dilakukan secara langsung; kontrol secara teknis seperti menggunakan device atau teknologi; serta kontrol birokrasi yang dilakukan secara prosedural. Tulisan ini akan berfokus pada kontrol komunikasi secara teknis yang banyak dilakukan saat Covid – 19 merebak dan masih terus diadaptasi hingga kini.
Work From Home dan Kolonialisasi
Dalam sistem kerja tatap muka langsung atau offline dalam sebuah organisasi, interaksi yang dibangun antara atasan dan bawahan serta sesama karyawan dapat dilakukan tanpa sekat.
Keuntungannya yakni respon yang terjadi bisa seketika karena memperpendek jalur komunikasi yang ada.
Hal ini sekaligus menjelaskan keunggulan dari kemunikasi tatap muka. Pekerjaan offline seperti ini juga memiliki batasan jam kerja setiap harinya bahkan jadwal libur mingguan secara jelas.
Dalam praktek WFH, tentu relasi kerja yang terbentuk sepenuhnya dimediasi oleh teknologi, sehingga memiliki kendala klasik seperti jaringan dan koordinasi yang tidak serta merta terselesaikan dibandingkan tatap muka.
Hal lain yang sering terjadi saat WFH yakni kerja yang kebablasan karena melewati waktu kerja normal.
Bahkan pada hari libur sekalipun pesan – pesan instruksi pekerjaan via media masih bisa diterima oleh karyawan atau anggota organisasi.
Stanley Deetz menyebutkan fenomena ini sebagai salah satu bentuk kolonialisasi korporat. Dalam pandangannya, sebuah organisasi bahkan bisa memiliki power melebihi gereja, negara dan keluarga dalam kemampuannya untuk mempengaruhi hidup pekerjanya secara individu (Griffin, Ledbetter dan Sparks, 2019).
Deetz lebih lanjut menyebutkan bahwa korporasi mengontrol dan mengkolonialisasi kehidupan modern dengan cara yang bahkan tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Penyebabnya yakni komunikasi yang berlangsung antara level atas dan bawah, komunikasi antar unit maupun yang berlangsung secara perorangan dalam konteks penyelesaian pekerjaan dapat dimaknai sebagai proses penyampaian pesan dengan kekuatan transmisi bahasa yang cukup powerful dalam organisasi.
Sebut saja sebuah pesan melalui WhatsApp yang diterima dari atasan atau rekan kerja di luar jam kerja, walaupun sifatnya informal dan hanya berisi informasi yang cukup diteruskan saja, namun jika kita sebagai karyawan tidak meneruskannya, bisa dikategorikan sebagai orang yang menghambat kerja organisasi.
Demikian juga apabila seorang pekerja dihubungi via sambungan suara secara langsung oleh atasannya untuk menyelesaikan tugas tertentu, dipercaya bahwa tingkat urgensi untuk menyelesaikan tugas bahkan lebih besar dibandingkan hanya sekedar menjalankan tugas yang diinstruksikan melalui pesan tertulis secara informal.
Pekerja bisa saja menolak jika pesan yang diterima diluar waktu kerja tetapi resikonya adalah dianggap tidak loyal terhadap pimpinan dan organisasi.
Terlihat di sini bahwa simbol organisasi dalam komunikasi non verbal yang biasanya melekat secara formal dalam pesan organisasi seperti logo dan tandatangan pimpinan organisasi menjadi tidak terlalu penting dan terdegradasi dalam pesan – pesan informal melalui media.
Namun uniknya, nilai pesan informal tersebut tetap memiliki power untuk dilaksanakan oleh sang penerima pesan.
Itulah mengapa handphone dan laptop sebagai media pendukung kerja karyawan kini menjadi barang penting yang sulit dipisahkan dari pemiliknya.
Betapa tidak, pesan yang kita terima bisa jadi mengharuskan kita membuka laptop dan meneruskan pesan atau mengerjakan pekerjaan bahkan di luar jam kerja yang disepakati dalam kontrak.
Hal ini terjadi karena komunikasi dipahami hanya sebatas transmisi informasi pesan. Dengan pemahaman ini organisasi memperoleh manfaat sehingga dominasi organisasi akan abadi dalam hidup karyawan.
Hal yang tidak diperhitungkan sebelumnya bahwa pesan yang diterima tidak sekadar dimaknai begitu saja tetapi perlu diproses lebih lanjut.
Tahun baru, pola kerja baru?
Karl Weick (Weick, 1979; Littlejohn, Foss & Oatzel, 2017) mencontohkan saat kita menerima pesan pimpinan untuk menyelesaikan suatu masalah, di saat yang sama kita akan berpikir apa yang sesungguhnya terjadi, bagaimana saya menyelesaikan masalah tersebut? Apakah hanya saya yang dihubungi? dan seterusnya.
Jawaban dari pertanyaan – pertanyaan ini bisa diperoleh kala kita membuka ruang untuk berkomunikasi entah dengan pimpinan atau sesama karyawan.
Jika semua proses ini tidak dilakukan dalam waktu kerja, maka hak karyawan terkesan dikebiri karena aktivitas karyawan diluar jam kantor tentu tidak diperhitungkan sebagai waktu lembur yang nantinya akan dibayar oleh organisasi.
Dari sudut pandang managerial, Deetz menggambarkan situasi ini sebagai wacana berdasarkan sejumlah logika sistematis, sekumpulan praktik rutin dan ideologi.
Nilai – nilai ini mengontrol segala hal . Pemegang saham menghendaki profit, pekerja menghendaki kebebasan tetapi manajemen menginginkan kontrol.
Kita bisa merefleksikan pemahaman Deetz ini dengan membandingkan situasi organisasi saat ini terutama dalam liburan hari raya besar seperti natal dan tahun baru saat ini.
Benarkah kita menikmati hari libur tanpa kontrol organisasi? Ataukah kita menikmati hari libur dengan perasaan was-was karena kontrol tersebut terasa sangat nyata.
Tentu bagi pekerjaan – pekerjaan dengan keahlian dan peran tertentu, hari libur justru menjadi hari kerja yang padat, sebut saja para karyawan pada bidang transportasi ataupun perhotelan yang justru sibuk saat libur hari raya seperti saat ini.
Risikonya sudah bisa diprediksi sejak awal. Namun bagi organisasi dengan batasan jam kerja dan liburan yang jelas, tentu konsep WFH menjadi kabur ketika diterapkan saat ini.
Oleh karena itu, terlepas dari fenomena Covid-19 yang telah memberikan banyak perubahan dalam pola kerja organisasi, ada baiknya organisasi perlu memutuskan kembali pola kerjanya di masa yang akan datang dengan mempertimbangkan perkembangan komunikasi masa depan.
Apakah memang akan mengadopsi sistem online, hybrid (online dan offline) ataukah sepenuhnya offline.
Dengan pemetaan ini maka setidaknya hak karyawan atau anggota organisasi juga terbaca secara jelas, sehingga organisasi bisa membangun komunikasi yang relevan dengan para anggotanya sesuai dengan sistem kerja yang dipilih. Selamat menyongsong tahun kerja baru 2023!