Oleh: Ano Parman
Warga Lembor Selatan-Manggarai Barat
Setidaknya, 67 pihak pernah menggugat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential treshold/PT) ke Mahkamah Konstitusi. Namun, tak satu pun gugatan itu dikabulkan MK (Sindonews, 30/09/2022).
Lembaga negara pengawal konstitusi itu tetap berpendirian bahwa PT yang diatur dalam Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu konstitusional.
Sontak, sikap lembaga tersebut menuai protes banyak pihak. Mereka protes lantaran MK dianggap tak adil memutus perkara itu. Padahal, MK sudah diberi mandat dan fasilitas untuk menghasilkan keadilan konstitusi.
Analis politik Rocky Gerung bahkan memberi sindiran keras bahwa MK telah menghina kecerdasan publik dan melanggengkan peternakan oligarki. Meski demikian, putusan MK tetap harus dipatuhi karena bersifat final dan mengikat.
Banyak Soal
Sekurangnya, ada empat soal dalam PT itu. Pertama, bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945. Pasal itu berbunyi: “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu”.
Namun, kehendak Pasal 6A ayat 2 di atas diterjemahkan secara lain oleh pembentuk undang-undang.
Hal itu terlihat dalam pasal 222 yang berbunyi: “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya”.
Hal mencolok dari pasal 222 di atas adalah berlakunya ambang batas dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Norma itu sama sekali tidak diatur dalam pasal 6A ayat 2 UUD 1945.
Lucunya lagi, ambang batas itu diambil dari hasil pemilu 2019. Padahal, kedua pemilu itu sama sekali berbeda secara substantif. Dalam bahasa Fahri Hamzah, pemilu pakai tiket daluwarsa.
Jelas ini kesalahan fatal yang harus segera dikoreksi agar kerusakan konstitusi dan demokrasi kita tidak semakin parah. Secara hierarkis, Undang-undang itu lebih rendah kedudukannya dari Undang-undang Dasar.
Karena itu, norma dalam undang-undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang Dasar. Jika keduanya bertentangan, norma dalam Undang-undanglah yang harus dibatalkan demi tertib berkonstitusi.
Namun, dalam kasus PT ini, MK kerap berdalil bahwa hal itu termasuk open legal policy pembentuk Undang-undang yang tidak bertentangan dengan konstitusi. Tapi dalil itu ditentang banyak pihak termasuk Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Dalam Putusan MK Nomor: 73/PUU-XX/2022, mantan dosen Universitas Andalas itu dengan tegas menyatakan bahwa PT bukanlah open legal policy pembentuk Undang-undang. Sebab, secara konstitusional, syarat pengajuan calon presiden dan wakil presiden telah ditentukan secara eksplisit dalam UUD 1945.
Soal kedua dalam PT itu, yakni dikebirinya hak partai politik peserta pemilu 2024. Mengacu Pasal 6A ayat 2 di atas, seharusnya semua partai politik nasional yang ditetapkan KPU sebagai peserta pemilu 2024 boleh dan berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, baik sendiri-sendiri maupun bergabung dengan partai politik lain.
Namun, dengan berlakunya ambang batas, persis hanya parpol peserta pemilu 2019 yang memenuhi parlementary treshold berhak mengusulkan pasangan calon, sedangkan parpol baru tak berhak untuk itu.
Padahal kesemuanya adalah peserta pemilu yang punya hak dan kedudukan yang sama di depan hukum. Pertanyaannya: bukankah ini termasuk diskriminasi dan oleh karenanya harus bertentangan dengan konstitusi?
Jika kembali ke belakang, PT itu murni kehendak partai politik sendiri via kadernya di DPR. Jadi aneh, bila hari ini parpol protes bahkan ikut menggugat ketentuan itu ke MK seperti yang dilakukan oleh PKS.
Logisnya, kalau parpol ingin mandiri mengusulkan pasangan capres dan cawapres, maka ambang batas itu dihapuskan. Tapi karena demi kepentingan taktis dan sesaat, parpol kemudian memasang ambang batas meski kemudian disadari keputusan itu buruk bagi parpol dan demokrasi itu sendiri.
Aneh memang, mungkin hanya di negeri ini saja parpol membuat aturan yang mengebiri salah satu fungsi pentingnya yaitu rekrutmen politik. Padahal, itu mahkota parpol yang harus dijaga dari kemungkinan digilas oleh kekuasaan.
Karena itu, tak salah bila orang mengatakan bahwa partai politik di negeri ini didirikan bukan untuk mendidik kader yang siap dicalonkan menjadi pemimpin tapi sekadar menjual lisensi dan tiket bertarung kepada siapapun yang mampu membayar.
Selanjutnya, soal ketiga dari PT itu yakni menyempitnya ruang kompetisi dalam demokrasi elektoral kita. Keberlakuan ambang batas, apalagi terlalu tinggi seperti saat ini, persis menutup kesempatan bagi orang-orang hebat bangsa ini untuk mencalonkan diri sebagai presiden maupun wakil presiden.
Padahal, kalau tanpa ambang batas, lebih banyak orang yang bisa dicalonkan. Bayangkan saja, kalau 18 parpol peserta pemilu 2024 ini mengusulkan pasangan calonnya sendiri-sendiri, maka akan ada 18 pasangan calon yang akan dipilih.
Tentu rakyat beruntung jika tersedia banyak pilihan. Sebab, ada ruang bagi rakyat untuk membandingkan pasangan calon sebelum memilih yang terbaik untuk memimpin negeri ini.
Hal ini menjadi penting sebab presiden dan wapres Indonesia itu akan memimpin ratusan juta orang. Taruhanya besar sekali. Karena itu, selayaknya pilpres harus dipertandingkan secara ketat dengan melibatkan banyak konstestan.
Soal keempat dari PT itu yakni menguatnya oligarki dalam pilpres kita. Sadar atau tidak, rezim ambang batas itu membuat tiket jadi mahal. Itu terjadi karena tiketnya sangat terbatas.
Sebagaimana kebiasaan pasar, kalau barangnya langka pasti saja harganya mahal. Akibatnya, tak semua orang sanggup membelinya dan hanya orang beruang saja yang punya akses ke sana.
Kondisi demikianlah yang mengundang oligarki masuk dan membajak pilpres dari hulu hingga ke hilir. Jika demikian, kandidasi pilpres menjadi semacam pasar politik, dimana penjual dan pembeli tiket bertransaksi.
Di sinilah uang menjadi penentu. Wajar kalau para bohir di sekitar kandidat sangat dominan mempengaruhi pandangan dan proposal kebijakan yang ditawarkan kepada pemilih.
Belum Terlambat
Masih ada waktu bagi MK untuk menghapus ambang batas ini dan menegakan maksud sebenarnya dari Pasal 6A ayat 2 UUD 1945. Mengacu PKPU 3/2022, tahapan pencalonan presiden dan wapres baru akan bergulir September 2023 mendatang.
Waktu sembilan bulan ke depan masih cukup untuk membuat terobosan berguna demi terbangunnya tertib berkonstitusi. Kuncinya, ada kemauan baik MK untuk menjaga kedaulatan konstitusi. Sebab, sudah terbukti PT itu merusak konstitusi dan demokrasi.
Lantas apa yang bisa dibuat? Setidaknya ada dua jalan yang bisa ditempuh yakni penerbitan Perpu dan gugatan massif ke MK. Perpu tentu bukan pilihan terbaik, tapi menjadi pilihan yang mungkin bisa diambil Presiden dalam waktu yang masih tersisa ini.
Adapun kegentingan yang menjadi dasar Perpu itu yakni semakin meluasnya keresahan masyarakat atas penerapan ambang batas serta dampak pilpres yang diikuti sedikit pasangangan calon sebagaimana pernah terjadi pada pilpres 2014 dan 2019.
Jika opsi perpu tak diambil, maka jalan berikutnya yakni mengajak sebanyak-banyak elemen masyarakat untuk terus menggugat ketentuan ini ke MK. Selain itu jalan konstitusional, mungkin saja MK akan berubah pendirian begitu melihat masifnya gugatan soal ini ke lembaganya.
Dua jalan itu sesungguhnya tak ideal, tapi terpaksa dilakukan demi terbangunya tertib berkonstitusi. Pasti ada tantangan dan tekanan, terutama dari kelompok-kelompok yang sudah nyaman dengan rezim ambang batas ini.
Tapi, apakah konstitusi dibuat untuk melayani kepentingan kelompok semacam itu? Tentu saja tidak. Konstitusi itu dibuat untuk ditegakkan demi kebaikan seluruh warga bangsa.