Oleh: Irvan Kurniawan
Gubernur NTT, Viktor Laiskodat memang “gila”. Gila bukan karena ia tidak waras. Tapi karena kebijakannya yang kerap mengganggu zona nyaman masyarakat NTT termasuk elit birokrasi di daerah ini.
Hampir sepekan ini, kegilaan Viktor kembali memancing reaksi publik dengan kebijakannya memulai sekolah pada pukul 5 pagi. Tak tanggung-tanggung, setidaknya dua sekolah di NTT sudah mulai menerapkan kebijakan ini.
Hasilnya, sudah bisa ditebak. Tanggapan masyarakat membanjir di berbagai kanal media sosial. Viktor pun didera oleh berbagai kritikan, sinisan, umpatan bahkan buly-an yang datang silih berganti dari pelosok NTT bahkan Indonesia.
Sayangnya (maaf saja), dari berbagai kritikan yang muncul di media sosial sampai saat ini, belum ada alasan kuat dan mendalam dari kelompok kontra Viktor untuk merumuskan sikap penolakan yang logis dan sistematis.
Hal diperparah dengan rendahnya kemampuan birokrasi Viktor untuk mengkomunikasikan kebijakannya dengan argumentasi yang kuat. Alhasil, antara pemimpin dan rakyatnya terjadi miskomunikasi yang cukup akut.
Melalui tulisan ini, saya tidak sedang membela Gubernur Viktor Laiskodat. Tetapi saya sengaja bersikap pro terhadap kebijakan Viktor untuk mengasah lebih tajam argumentasi pihak kontra yang mengeritik tanpa substansi yang mendasar.
Kedua, saya sengaja mengambil sikap pro gagasan Viktor, agar terjadi dialektika opini yang dapat menghasilkan suatu sintesis atau kesimpulan yang matang dan mendasar.
Saya paham bahwa tulisan ini mungkin akan melawan arus utama pemikiran masyarakat NTT. Saya juga berpotensi dibuly habis-habisan di media sosial lantaran tidak searah dengan pendapat netizen. Namun sebelum memberi tanggapan, ada baiknya opini sederhana ini dibaca sampai habis biar tidak gagal paham.
Bahaya Zona Nyaman
Jujur, saya sendiri awalnya kaget ketika pertama kali mendengar kebijakan ini. Lalu, mencoba untuk membayangkan bagaimana tersiksanya bangun jam 4 pagi jika menjadi guru, siswa dan orang tua.
Namun kemudian, saya cukup tersentak karena ternyata ada “sesuatu yang wow” yang barangkali juga tidak terlintas di kepala Gubernur Viktor Laiskodat dan Linus Lusi, Kadis P&K NTT. Apakah sesuatu itu? Jawabannya adalah Zona Nyaman.
Untuk menjelaskan soal bahaya zona nyaman serta relevansinya dengan kebijakan sekolah pukul 5 pagi, ada satu cerita yang cukup meresahkan saya.
Saya punya adik, sebut saja namanya Jonatan. Ia adalah siswa SMA di salah satu sekolah di Kota Kupang. Gurunya sering mengeluh bahkan beberapa kali orang tua saya dipanggil ke sekolah lantaran si Jonatan sering mengantuk dan terlambat ke sekolah. Hal ini pun berdampak pada nilai ujiannya yang ambruk dan nyaris tidak naik kelas.
Setelah dicermati, ternyata adik Jonatan punya masalah dengan waktu tidur dan sering mengalami kelelahan fisik. Hal itu ia alami ketika terjebak dan terhanyut dalam Tik Tok, Facebook, dan game online Free Fire yang sedang digandrungi kelompok remaja seusianya.
Bahkan saking candunya dengan game online, Jonatan kerap terlihat linglung ketika kami terpaksa menyita HPnya. Dampaknya tidak hanya sampai di situ, remaja berumur 15 tahun ini, mulai bersikap membangkang. Emosionalnya kadang meledak-ledak lantaran tidak diberikan HP. Ia bahkan melakukan aksi mogok makan lantaran keinginannya tidak tercapai.
Meski demikian, si Jonatan masih punya impian tentang masa depan. Saat ditanya cita-citanya, dia punya ambisi menjadi tentara. Karena itulah, ia masih berusaha ke sekolah setiap hari untuk meraih impiannya. Dapat dikatakan, salah satu institusi yang ia takuti selain institusi keluarga adalah sekolah.
Di sinilah, saya kemudian menemukan suatu relevansi antara bahaya zona nyaman dan kebijakan sekolah pukul 5 pagi. Selama ini, Jonathan terjebak dalam zona nyaman. Zona itu adalah dunia virtual atau dunia maya.
Kehadiran internet, big data dan kecerdasan buatan memungkinkan semua orang terhubung dalam satu aplikasi social media atau game online. Jonatan pun ikut terhanyut di dalamnya dan tak bisa menemukan jalan keluar ke dunia nyata. Ia tersesat di jalan yang salah.
Fakta ini juga ditemukan di berbagai keluarga di Kota Kupang. Tak sedikit yang menyampaikan kegelisahan yang sama seperti yang dialami Jonatan. Bahkan fenomena kecanduan sosial media itu tidak hanya menjangkit anak-anak remaja usia SMA. Bayi di bawah lima tahun pun ikut terseret kecanduan gadget/HP.
Dari sisi waktu, kebanyakan jam prime time mereka mengakses medsos dan game online berkisar dari pukul 14.00 (saat pulang sekolah), sore hari bahkan sampai jauh malam. Hal ini juga diperparah dengan fakta bahwa orang tua juga ikut terseret ke dalam fantasi dunia maya, sehingga kesulitan bersikap tegas kepada anak mereka.
Lalu apa relevansi cerita fakta ini dengan pemberlakuan sekolah pukul 05.00 pagi?
Ketika jam 5 anak harus berada di sekolah, maka akan terjadi perubahan pola hidup dan gaya hidup yang sangat signifikan.
Pertama, orang tua dan anak sama-sama menyadari akan pentingnya mengontrol waktu tidur. Ketika jam 4 harus bangun pagi, maka mau tidak mau, batasan maksimal waktu begadang seorang anak harus sampai pukul 21.00 atau jam 9 malam.
Dengan demikian ia punya waktu 8 jam untuk beristirahat sebagaimana waktu normal tidur malam. Kebiasaan ini kemudian akan menciptakan terapy pola hidup bagi siswa karena dua institusi yakni keluarga dan sekolah, kompak memaksanya untuk keluar dari zona nyaman. Dorongan dua institusi ini juga akan membantu pihak keluarga yang mengalami masalah seperti Jonatan.
Kedua, pukul 5 pagi adalah jam yang efektif untuk belajar karena otak manusia belum banyak mencerna informasi yang datang secara langsung maupun lewat media sosial. Pengalaman ini saya temukan ketika 6 tahun sekolah di Seminari (SMP-SMA).
Dengan sistem seleksi yang ketat, kami mau tidak mau harus mencuri waktu belajar pada pukul 3-4 pagi dan terbukti mampu menyerap ilmu pengetahuan dengan efektif. Sungguh disayangkan, kalau pagi hari tidak dimanfaatkan untuk menyerap ilmu pengetahuan.
Ketiga, dengan dimulai dari sekolah, kebijakan ini akan menjadi detonator perubahan pola hidup masyarakat. Ketika siswa, orang tua dan guru bangun jam 4 pagi, maka akan disusul oleh sopir-sopir angkutan umum yang juga harus mengais rejeki di waktu serupa.
Kemudian pasti disusul penjual sarapan pagi yang juga berjagal di setiap sudut jalanan utama kota. Gojek, Grab, dan Maxim juga pasti mulai ramai di jam serupa dan bukan tidak mungkin kios-kios kecil di sepanjang jalanan utama mulai dibuka. Dengan demikian, mesin ekonomi masyarakat menengah mulai dipanaskan sejak pukul 4 pagi dan kota mulai hidup menyambut matahari terbit.
Sayangnya, kebijakan Gubernur Viktor ini hanya berlaku di sekolah. Bagaimana jika ASN di lingkup pemprov NTT juga diwajibkan masuk kantor pukul 05.00 pagi? Pasti suasana makin ramai dan makin menghidupkan kota secara ekonomi.
Rekomendasi
Karena itu, kebijakan ini berpeluang menjadi detonator perubahan gaya hidup dan revolusi mental masyarakat NTT. Jika memang seperti ini yang diharapakan Gubernur Viktor, maka beberapa catatan berikut perlu dicermati.
Pertama, formulasikan ulang kebijakan ini yang melibatkan guru, siswa, orang tua dan semua pihak yang terkait. Semua pihak harus menyadari apa tujuan dan bagaimana peran setiap pihak dalam mencapai tujuan dari kebijakan ini.
Kedua, benahi sistem komunikasi pemprov NTT agar tidak terkesan krisis agrumentasi dan lebih banyak mencari sensasi dari pada substansi.
Ketiga, kebijakan ini perlu dikoordinasikan dengan pihak kepolisian agar pada pukul 3-5 pagi, polisi lalu lintas sudah patroli menjaga keamanan khususnya bagi anak sekolah. Tak hanya polisi, Pol PP juga perlu dikerahkan untuk menjaga keamanan.
Keempat, manfaatkan bus-bus yang banyak menganggur di setiap instansi pemerintah untuk menjemput siswa. Bus-bus ini tidak perlu menjemput siswa di rumahnya, tetapi ditempatkan di berbagai titik sentral yang mudah dijangkau oleh siswa yang tidak punya kendaraan.
Kelima, kebijakan ini tidak boleh serempak dilakukan di NTT mengingat kondisi geografi yang tidak memungkinkan. Pasalnya, di daerah terpencil, akses ke sekolah cukup jauh, ditambah fasilitas pendukung yang tidak memadai. Melihat kondisi NTT saat ini, kebijakan ini lebih tepat jika diterapkan di daerah perkotaan.
Keenam, saat siswa tiba di sekolah pukul 05.00 pagi, sebaiknya jangan langsung disusul kegiatan belajar mengajar. Semua siswa perlu dikumpulkan di halaman sekolah untuk menyerap energi pagi dengan senam dan meditasi. Dengan meditasi yang terarah, mereka akan semakin menemukan diri dan memahami ke mana tujuan hidup mereka. Semoga saya tidak dibuly…