Oleh: Yohanes Rudin
Calon Misionaris SVD.
Kini Sedang Menjalankan OTP di Tchad- Afrika
“Ada apa dengan situasi negeriku saat ini? Apakah negeriku telah kembali ke masa di mana kata kemerdekaan belum sempat merangkul negiriku?”
Pertanyan ini terus mengetok isi kepala anak muda itu. Secangkir kopi pahit dan sebatang rokok sampoerna serta koran bekas yang tergeletak begitu saja di atas meja kayu, sedang menemani anak muda itu yang dari tadi duduk merenung.
Pertanyaan-pertanyaan tentang situasi negiri yang terus mengetok pintu kepalanya itu, muncul setelah ia membaca berita yang muat di koran.
Berita yang dia baca itu sedikit merangsang otaknya untuk bisa menemukan jawaban atas kegaduhan yang terjadi di negirinya saat ini.
Negerinya seakan kembali ke masa di mana para penjajah merajalela mengkekang kebebasan rakyat untuk bersuara.
Keadilan masih terasa tumbul dan hukum masih suram, kejujuran masih sangat tidak berharga di mata para penjajah.
Situasi itu seakan terjadi lagi di masa sekarang, di mana keadilan dan hukum tidak lagi berpihak pada kebenaran melainkan hanya berlaku bagi yang memiliki kekayaan.
Hukum dan keadilan tidak lagi dipergunakan demi kemanusiaan tetapi
demi kekayaan.
Kejujuran tidak bisa meringankan kesalahan melainkan penipuanlah yang bisa memberikan kebebasan.
Namun, kalau dulu hal itu terjadi karena disebabkan oleh para penjajah tetapi sekarang hal itu karena disebabkan oleh para penguasa di negeri sendiri.
Para penguasa seakan lupa akan nilai kemanusiaan yang sudah tercantum di negaranya sendiri atau mungkin
mereka tidak mengerti dengan nilai kemanusiaan.
Lalu kalau mereka tidak memahami tentang nilai kemanusiaan, lantaran kenapa mereka bisa jadi penguasa di negeri yang butuh pemimpin berperikemanusiaan?
****
Dalam kegaduhan, anak muda itu mulai merasa frustasi atas ketidakjelasan yang terjadi di negerinya sendiri.
Ia merasa bahwa tidak ada gunanya berpangkat tinggi jika hanya membela
kebenaran saja, harus membutuhkan uang.
Pangkat tinggi yang menjadi identitas pendidikannya sangatlah begitu murah dan tidak sebanding dengan perjuangannya dalam menggapai semuanya itu.
Ia juga sempat berpikir bahwa ternyata kemerdekaan yang tertera di buku sejarah bangsa hanyalah sebuah kisah perjuangan masa lalu, karena kini sejarah itu telah dinodai oleh para penguasa itu sendiri.
Penguasa lebih mengutamakan isi dompet daripada isi negeri; lebih berjuang untuk mendapatkan uang berlimpah daripada berjuang menjaga sejarah untuk negeri.
Belum sempat anak muda itu menemukan jawaban yang pasti akan pertanyaan yang terus mengetok kepalanya itu, tiba-tiba muncul seorang pria yang berkaca mata, pakai masker serta bertopi dan memakai headsheat menghampiri anak mudah itu.
Lalu anak muda itu menyatakan
kepada pria yang baru tiba itu, “saya harap kau memakai masker bukan karena kau ingin menutup mulut untuk tidak menyatakan tentang kebenaran dan keadilan, dan menutup hidung
untuk tidak mencium bau busuk janji manis yang tidak terpakai dengan benar. Memakai kacamata untuk menutup mata agar pura-pura tidak melihat rakyat yang tertindas oleh ketidakadilan dari para penguasa. Menutup kepala untuk tidak mau memikirkan tentang bangsa
yang lagi berada di abang kehancuran. Menutup telinga untuk tidak mau mendengar jeritan dan tangisan orang yang ditindas oleh kekuasaan”.
Mendengar pernyataan yang dilontarkan oleh anak muda itu, pria itupun merespons, “saya adalah bukan seorang pencundang layaknya seperti yang kau pikirkan, melainkan saya adalah seseorang yang ingin berjuang demi kemanusian
bukan demi isi saku. Saya berpanampilan seperti ini, karena ada yang mengincar dan berusaha mencari celah untuk melukai kalimat-kalimat kritik yang saya lontarkan, saat saya meneruskan suara rakyat yang tak terdengarkan oleh mereka yang memiliki kekuasaan. Saya bersuara bukan
untuk cari suara agar bisa terpilih saat pemilu nanti, melainkan hanya sekedar bersuara demi kebenaran”.
***
Setelah sekian lama mereka berbagai cerita tentang situasi yang terjadi di negeri saat ini.
Akhirnya mereka mulai berpikir bahwa jika mau melakukan sebuah kejahatan, bukti yang valid tidak lagi dibutuhkan, karena yang dibutuhkan sekarang adalah seberapa banyak uang yang dimiliki.
Bukti yang valid dan kejujuran tidak lagi bisa digunakan sebagai perisai untuk
meringankan hukuman, melainkan uang dan cerita mengharukan yang dibutuhkan untuk mendapatkan kebebasan. Sebab terbukti apa yang dilakukan oleh para penguasa saat ini.
Jika rakyat yang memiliki kekurangan harta, maka ia siap dihukum bahkan tidak setimpal dengan yang ia perbuat, namun jika kaum elit (memiliki banyak uang) yang berbuat salah, maka pasti hukumannya ringan dan bahkan di dalam penjara telah disediakan berbagai macam fasilitas yang
bisa membantu para korban untuk hidup bebas.
Para penguasa selalu dibela dan dijaga walaupun telah berbuat salah, namun para rakyat selalu dibungkam dan disingkirkan.
Mereka selalu menunjukkan sikap bijak di hadapan rakyat, saat ia belum duduk di atas singgasana, namun setelah ia duduk di atas singgasana ia tidak lagi mempedulika rakyat yang telah memilihnya.
Mereka lebih menuntut rakyat untuk mentaat pada aturan negara, namun mereka sendiri tidak pernah taat.
Mereka lebih memilih menggunakan uang rakyat demi kepentingan pribadi daripada menggunakan uang rakyat untuk kepentingan negeri.
Akibatnya, perkembangan negiri yang
seperti dibicarakan saat kampanye tidak terlihat, tetapi isi dompet pribadi yang tidak pernah disampaikan saat kampanye semakin meningkat.
Mereka selalu menggunakan kekuasaan bukan untuk membantu rakyat dalam memberantas kemiskinan dan penderitaan, tetapi malahan mereka itulah yang menciptakan kemiskinan dan penderitaan bagi rakyat.
Mereka selalu berbicara tentang penderitaan rakyat disaat ada rapat paripura dan menjual rakyat untuk mendapatkan uang, namun mereka tidak pernah berbicara tentang rakyat setelah memegang uang yang pada sebenarnya dipergunakan untuk kepentingan rakyat.
***
Kalau hal seperti ini akan terus terjadi di negeri kita, maka kira-kira apa yang akan terjadi dengan negeri kita ke depannya?
Apakah masih layak disebut sebagai negeri yang merdeka atau dikatakan sebagai negeri yang masih dibawah jajahan para penguasa di negeri sendiri?
Pertanyaan ini lahir dari kepala anak muda yang sedari tadi terus memikirkan situasi negerinya.
Lalu pria yang berkacamata itu mencoba merespon atas pertanyaan anak muda itu dengan berkata, bahwa “para penguasa kita saat ini sedang tergila oleh harta kekayaan tanpa mereka berpikir akan kondisi rakyat. Mereka tidak berpikir untuk mencari solusi dalam menyelesaikan berbagai macam persoalan yang di hadapi oleh negeri, tetapi yang mereka pikirkan itu adalah mencari solusi untuk menghabiskan uang rakyat dengan secara cuma-cuma. Karena itu, jika ada
para pejabat yang kerapkali membicarakan tentang situasi negeri, tetapi mereka sendiri tidak pernah memberikan solusi untuk menyelesaikan persoalan yang di hadapi oleh negeri, maka itu pasti sedang mencari perhatian publik agar bisa menyembunyikan segala keburukan yang pernah ia lakukan selama menjabat. Karena pada dasarnya bahwa para pejabat yang bejat selalu pintar menyembunyikan kebusukan di balik kalimat-kalimat indah yang seringkali ia bicarakan di hadapan publik”.
Akir kata mereka berdua saling bersalaman dan merancangkan sebuah rencana untuk terus menelusuri kesalahan yang dibuat oleh para pejabat bejat.
Dan berjanji untuk terus bersuara demi
kepentingan negeri bukan demi kepentingan pribadi…. Selamat berjuang untuk memberantas kejahatan yang dilakukan oleh para pejabat di negeri kita sendiri. Kata anak muda itu. Selamat
berjuang, NKRI selalu di hati! Kata pria berkacamata itu.