Oleh: Petrus Kanisius Nahak
Anggota Bawaslu Kabupaten Malaka
Cypri Jehan Paju Dale dalam bukunya Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik (2013) mengatakan gerakan emansipasi menuntut pemaknaan ulang demokrasi melampaui demokrasi elektoral dan demokrasi reprensentatif, yang menjadikan masyarakat semata-mata sebagai voters dan bukan pelaku politik yang berdaulat.
Prosedur-prosedur demokrasi sebagaimana yang dijalankan dalam tata politik dominan antara lain lewat pemilihan umum hanya menggantikan si A dengan si B, dan bukan cara kerja, visi dan sistem.
Praktik politik yang demikian, tulis Dale, hanya mengganti penguasa, tetapi karakter dan pola kerjanya tetap sama. Gerakan emansipasi berikhtiar untuk menegakkan kuasa rakyat, sekaligus mengakhiri dominasi elite dan merintis praktik-praktik kuasa baru yang lebih adil dan setara.
Mari kita menilik kembali format demokrasi kita di Indonesia telah mengalami beberapa fase. Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, demokrasi sesungguhnya sudah menjadi pilihan kolektif, tidak saja melalui diskursus yang sangat panjang dari mimbar ke mimbar, namun juga sudah menjadi komitmen kenegaraan.
Pilihan ini pada dasarnya termaktub dalam ideologi negara Pancasila secara substansial. Pilihan demokrasi ini mengalami metamorfosa substansi dari waktu ke waktu.
Transisi pemerintahan dari satu orde ke orde lainnya telah membawa implikasi yang luas dalam setiap rezim.
Implikasi itu misalnya juga dibaca pada dinamisnya penyelenggaraan Pemilu di Indonesia (Suswantoro 2015:28).
Demokrasi pada rezim Orde Lama dan Orde Baru menjadi dua babak yang relatif dramatik dalam aspek substansialnya.
Demokrasi di Indonesia kini memasuki orde reformasi yang ditandai dengan format yang jauh berbeda dibandingkan dengan demokrasi pada dua orde sebelumnya.
Ketika bangsa-bangsa lain sedang memalingkan perhatian pada pilihan demokrasi terkini yang dianut di Indonesia, ada kebutuhan untuk kemudian melihat bagaimana capaian demokrasi yang telah dipilih oleh Indonesia.
Era reformasi tidak bisa dihindari melahirkan sebuah era demokrasi baru yang ditandai dengan perubahan substansial.
Dalam satu era bernama reformasi ini kerangka berdemokrasi mengalami berbagai penyesuaian.
Reformasi yang telah berjalan lebih kurang 24 tahun telah memunculkan berbagai perubahan format berpolitik dengan varian metodologisnya.
Dalam usianya yang terbilang muda tersebut, kualitas demokrasi di Indonesia dinilai mengalami berbagai dinamika.
Ada perkembangan positif, namun tidak sedikit pula yang dinilai negatif. Ada beberapa hal positif yang terjadi selama 24 tahun perjalanan reformasi.
Pemilu lebih demokratis, adanya rotasi kekuasaan dari pemerintah pusat hingga daerah, pola rekrutmen politik terbuka, dan hak-hak dasar warga negara terjamin.
Pertama, Pemilu yang dilaksanakan jauh lebih demokratis dari sebelumnya. Sistem Pemilu terus berkembang memberikan jalan bagi rakyat untuk menggunakan hak politik dalam Pemilu.
Puncaknya pada 2004 rakyat bisa langsung memilih wakilnya di lembaga legislatif serta presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung. Pada 2005 kepala daerah pun dipilih langsung oleh rakyat.
Pemilu diselenggarakan secara berkala dan relatif bebas hingga kita menyelanggarakan Pemilu 2019 lalu, meskipun masih banyak tugas terkait fairness.
Kedua, rotasi kekuasaan dilaksanakan dari mulai pemerintahan pusat hingga pemerintah daerah.
Pemilu merupakan pesta demokrasi lima tahunan dalam rangka melaksanakan pergantian rotasi kekuasaan yang dilakukan secara beradab dan berkala sekalipun diwarnai dengan adanya politik dinasti.
Ketiga, pola rekrutmen politik terbuka untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka.
Setiap warga negara yang mampu dan memenuhi syarat dapat menduduki jabatan politik tanpa diskriminasi.
Peran partai politik sebagai sarana rekrutmen politik dalam rangka meningkatkan partisipasi politik masyarakat adalah bagaimana partai politik memiliki andil yang cukup besar dalam hal: (1) menyiapkan kader-kader pimpinan politik, (2) melakukaan seleksi terhadap kader-kader yang telah dipersiapkan, serta (3) perjuangan untuk penempatan kader yang berkualitas, berdedikasi, memiliki kredibilitas tinggi serta mendapat dukungan dari masyarakat pada jabatan-jabatan politik yang bersifat strategis.
Keempat, pemenuhan hak-hak dasar warga negara bisa terjamin seperti adanya kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers dan sebagainya. Diantara hak-hak warga negara yang dijamin dalam UUD adalah Hak Asasi Manusia yang rumusan lengkapnya tertuang dalam pasal 28 UUD perubahan kedua yakni sebagai berikut seperti kesamaan dalam hukum dan pemerintahan (pasal 27 ayat 1), hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2), ikut serta dalam upaya pembelaan negara (pasal 27 ayat 3, perubahan kedua tanggal 18 Agustus 2000), hak mendapat pendidikan (pasal 31 ayat 1, perubahan keempat tanggal 10 Agustus 2000) dan hak akan kesejahteraan sosial (pasal 33 ayat 1,2 dan pasal 34).
Namun, ada sejumlah perkembangan negatif yang menghambat kemajuan pertumbuhan demokrasi.
Pertama, korupsi dan minimnya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran publik menjadi praktik meluas, sedangkan lembaga anti-korupsi semakin lemah.
Kedua, ancaman nyata kebebasan berekspresi semakin nampak, baik dari negara maupun masyarakat.
Ketiga, kebebasan berorganisasi cenderung mengalami pelemahan.
Keempat, independensi media yang semakin melemah dengan menguatnya media partisan.
Kelima, penegakan hukum tak mengalami kemajuan berarti.
Ancaman terhadap demokrasi muncul dari negara melalui penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi, peraturan tidak adil, intimidasi, kekerasan, dan diskriminasi.
Ancaman terhadap tumbuhnya demokrasi yang sehat datang dari elit politik berupa korupsi, pemusatan kuasa ekonomi-politik, populisme dan propaganda.
Ancaman yang sama juga datang dari elit ekonomi berupa perburuan rente, pemusatan kuasa ekonomi-politik, pembiayaan partai politik yang tidak sah, dan peminggiran terhadap kelompok ekonomi rentan.
Ancaman dari masyarakat sendiri berupa tindakan kekerasan, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, jebakan berita bohong yang semakin merajalela.
Kajian atas tiga laporan utama yakni 2020 Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2019, dan 2021 Democracy Report, Staf Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai bahwa kualitas demokrasi Indonesia 2021 semakin menurun.
Secara lebih spesifik, laporan EIU dan Indeks Demokrasi Indonesia menggarisbawahi menurunnya kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai pangkal utama menurunnya kualitas demokrasi Indonesia.
Setelah runtuhnya rezim totalitarian Orde Baru, Indonesia berkomitmen menerapkan demokrasi yang mapan dan terkonsolidasi sampai ke akar rumput.
Akan tetapi, perjalanan panjang proses transisi demokrasi di Indonesia tentu bukan tanpa halangan.
Terlebih sejak jatuhnya Indeks Demokrasi Indonesia yang dirilis EIU dengan total skor 6,3. Poin itu menempatkan Indonesia di peringkat ke-64 dunia, catatan terburuk kualitas demokrasi Indonesia dalam 14 tahun terakhir.
Ketiga laporan tersebut menunjukkan kalau kualitas demokrasi kita telah menunjukkan adanya pengurangan siginifikan yang tidak hanya menyentuh aspek kebebasan sipil dan pluralisme, namun juga fungsi pemerintahan.
Secara lebih spesifik, laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) dan Indeks Demokrasi Indonesia menggarisbawahi menurunnya kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai pangkal utama menurunnya kualitas demokrasi Indonesia.
Laporan EIU menempatkan Indonesia pada urutan 64 dari 167 negara, sedangkan laporan Indeks Demokrasi Indonesia memperlihatkan turunnya skor indeks kebabasan berpendapat yang semula 66,17 di tahun 2018 menjadi 64,29 di tahun 2019.
Adapun laporan 2021 Democracy Report menempatkan Indonesia pada urutan 73 dari 179 negara dalam hal kebebasan dalam demokrasi.
Secara ringkas, ketiga laporan demokrasi ini menunjukkan adanya pergeseran dalam pola demokrasi Indonesia yang semula adalah demokrasi elektoral menuju pada “demokrasi yang cacat”.
Wasisto Raharjo Jati juga mengatakan pemahaman mendasar dari pergeseran ini adalah pemilu tidaklah menjamin akan melahirkan para pimpinan yang mampu menyejahterakan rakyat.
Adanya pandemi Covid-19 ini telah memberikan dampak luar biasa terhadap sektor sosial dan ekonomi.
Dampak pandemi dalam kedua sektor tersebut telah memberikan adanya situasi yang tidak menentu dalam demokrasi di Indonesia sekarang ini.
Secara lebih khusus, selain halnya kebebasan menurun yang berkembang menjadi praktik intoleransi, yang paling krusial adalah inkonsistensi dalam pemerintahan yang diakibatkan oleh para perilaku elit politik.
Persoalan inkonsistensi dan juga intoleransi ini secara ringkas mencakup tiga poin utama, yakni semakin kuatnya pengaruh militer dalam ruang-ruang sipil, segregasi sosial berbasis identitas ideologi, dan juga dinasti politik.
Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan agar bangsa ini bisa keluar dari kemunduran demokrasi.
Pertama penguatan demokrasi ekonomi perlu dilakukan agar semua pihak memiliki akses yang adil dan setara ke pengelolaan sumberdaya ekonomi selain sumber daya ekonomi yang mengatur hajat hidup orang banyak.
Bagi sumber daya ekonomi yang mengatur hajat hidup orang banyak seperti air, energi dan pangan wajib dikuasai oleh negara dan diperuntukan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Pemusatan kuasa menjadi persoalan yang semakin serius lewat kesenjangan ekonomi-politik. Jika problem distribusi sumber daya ini bisa diselesaikan secara berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka persoalan lain akan menjadi lebih mudah dicarikan solusinya.
Demokrasi ekonomi atau demokrasi pemangku kepentingan adalah filsafat sosial ekonomi yang menganjurkan penggantian kekuasaan pembuatan keputusan dari manajer korporasi dan pemegang saham korporasi ke kelompok pemegang saham publik yang lebih besar, termasuk di dalamnya pekerja, pelanggan, penyuplai, lingkungan sekitar dan publik luas.
Kedua penguatan demokrasi politik yang menjadikan Indonesia sunguh-sunguh berdaulat dalam bidang politik. Demokrasi politik artinya politik yang berdaulat, tidak ada “intervensi”.
Politik berdaulat sebagai alat diplomasi di panggung dunia, serta dihormati dan dihargai sebagai bangsa yang kuat.
Hubungan antarnegara berdasar pada kepentingan masing-masing dengan kesetaraan dan menghargai keutuhan wilayah masing-masing, serta berprinsip saling menghormati.
Peran Indonesia di kancah dunia internasional juga dipengaruhi kondisi ekonomi, sosial dan budaya.
Kekuatan itu lahir dari kehidupan sosial dan budaya yang bermartabat sehingga kebijakan Indonesia selalu berdaulat secara politik.
Ketiga, reformasi penegakan hukum. Mampetnya reformasi di bidang hukum menimbulkan komplikasi sistemik dalam kehidupan bernegara. Jika tidak segera ada terobosan, ambruknya reformasi hanyalah soal waktu.
Keempat, penguatan demokrasi kewargaan. Demokrasi kewargaan yang kuat membutuhkan negara maupun warga negara yang sama kuatnya.
Perbaikan sistem hukum, ekonomi, dan politik dapat memperkuat negara dan memberdayakan rakyat. Penguatan demokrasi kewargaan akan memberi harapan lebih baik bagi demokrasi deliberatif.
Demokrasi deliberatif artinya model demokrasi yang pengesahan (legitimation) hukumnya diperoleh dari pergulatan yang terjadi dalam dinamika masyarakat sipil, agar partisipasi masyarakat dalam membentuk aspirasi dapat dihargai secara setara.
Namun, penguatan demokrasi kewargaan seperti ini hanya akan mungkin jika warga sadar media massa dan bersama-sama dengan media massa memainkan peran sebagai watchdog atau pengawas bagi pemerintah.
Tidak bisa dipungkiri, penyediaan kanal media massa yang didukung dan ada bersama warga akan membantu warga untuk terlibat jauh lebih aktif dalam pembangunan demokrasi yang berkelanjutan.
Hemat penulis, langkah-langkah ini penting untuk diambil demi mengembalikan praktik berdemokrasi kita yang berlandaskan semangat Pancasila.
Sehingga praktik berdemokrasi kita tidak terjebak dalam praktik demokrasi tanpa makna. Jika tidak demikian, cita-cita Trisakti Bung Karno yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkarakter di bidang budaya semakin jauh panggang dari api.