Kupang, Vox NTT- Indonesian Coruption Watch (ICW) dan LSM Asosiasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung (Bengkel APPek) NTT melakukan riset tentang Riset Studi Keputusan Pengadilan Konflik Kepentingan Pejabat Publik Dewan Perwakilan Daerah Nusa Tenggara Timur di bidang Sumber Daya Alam.
Pada Kamis (30/03/2023), hasil riset itu kemudian dipaparkan ke publik. Peneliti Bengkel APPek, U. R. Landuawang mengatakan jika konflik kepentingan dapat mempengaruhi kualitas keputusan seorang pejabat publik, karena dapat diciptakan sebagai alat penyalahgunaan wewenang, akan tetapi bisa juga kehadirannya tidak disadari oleh pejabat publik.
Menurutnya, Riset ICW Pejabat publik merupakan salah satu aktor yang marak terjerat dalam kasus-kasus korupsi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, dari 533 kasus korupsi yang ditindak oleh aparat penegak hukum pada tahun 2021, terdapat 1.173 tersangka yang sebagian besarnya merupakan pejabat publik.
Pantauan ICW sepanjang 2003 – 2022 turut menunjukkan sedikitnya 167 kepala daerah tersangkut kasus korupsi dan ditangani oleh KPK.
Jumlah tersebut berpotensi lebih besar jika diakumulasikan dengan kasus yang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan.
Pemantauan ICW terhadap kasus korupsi anggota legislatif sepanjang 2014 – 2019 juga menunjukkan terdapat 22 anggota DPR RI terjerat kasus korupsi.
Korupsi politik, dari total 1.519 orang yang ditetapkan tersangka oleh KPK, 521 orang di antaranya berasal dari sektor politik.
“Bengkel Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung (Bengkel APPeK) bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan penelitian Studi Keputusan Pengadilan Konflik Kepentingan Pejabat Publik di bidang Sumber Daya Alam untuk mengurai problematika konflik kepentingan di lembaga DPRD NTT,” jelas Landuawang.
Terlibat Korupsi
Riset itu menjelaskan jika dari hasil penelusuran beberapa media dan studi keputusan pengadilan yang dilakukan ditemukan pejabat publik yang terindikasi konflik kepentingan di bidang Sumber Daya Alam dalam proses pembangunan yang berujung pada tindak pidana korupsi, adalah Jefri Unbanunaek.
Landuawang menyebut mantan Anggota DPRD Provinsi NTT dari PKPI Komisi IV dengan fokus pada bidang pembangunan periode 2014 – 2019, dalam proyek pembangunan embung di Desa Mnelalete Kabupaten Timor Tengah Selatan tahun 2015 – 2016.
“Adapun perkara tersebut diputus berdasarkan putusan pengadilan Nomor 55/Pid.Sus-TPK/2019/PN Kpg, Nomor 12/PID.SUS-TPK/2020/PT KPG, dan Nomor 3429 K/Pid.Sus/2020,” ujarnya.
Dengan menemukan contoh kasus penyalahgunaan wewenang DPR, ICW dan Bengkel APPeK merekomendasikan beberapa hal yakni; Pertama, partai politik mempertimbangkan dan memasukkan kepemilikan bisnis sebagai indikator menilai konflik kepentingan sebelum menempatkan anggota terpilih di dalam komisi, di DPRD NTT.
Kedua, partai politik harus mengurai secara rinci dan memasukkan konflik kepentingan dalam kode etik internal.
Ketiga, partai politik harus membuka kanal pelaporan di internal kepada masyarakat terkait anggotanya yang terindikasi konflik kepentingan dan terus melakukan sosialisasi pada anggotanya.
Selain itu, ada juga rekomendasi bagi BKD di DPRD NTT, yakni, Pertama, Badan Kehormatan perlu ada mekanisme refleksi dan evaluasi untuk memastikan dan mengupdate peran anggota DPRD dalam menjalankan fungsi dalam menjaga marwah lembaga.
Kedua, Angggota BK dapat berasal dari internal DPRD dan pihak eksternal (representasi publik) secara proporsional yang memiliki independensi dan integritas yang kuat untuk menetralisir konflik kepentingan anggota BK yang berasal dari fraksi-fraksi karena masyarakat punya hak untuk mengontrol bagaimana tugas pelaksanaan DPRD ini.
Fungsi BK dalam penegakan kode etik bersifat rekomendasi. Jadi, jika ada laporan yang sifatnya pidana/perdata maka BK merekomendasikan hasil kajian kasus tersebut ke pihak hukum untuk diproses lebih lanjut.
Jika berhubungan dengan pergantian, maka direkomendasikan kepada partai melalui Fraksi di DPRD untuk diputuskan oleh partai.
“Sehingga BK tidak terlalu jauh masuk dalam urusan konflik kepentingan masalah-masalah dimaksud (sering ada kasus yang proses peradilan dan putusan pengadilan berbeda dengan kajian dan keputusan BK),” paparnya.
Kepada publik, riset itu merekomendasikan agar, setiap institusi publik perlu memiliki unit kerja yang bertugas mengelola konflik kepentingan, baik dengan membentuk unit kerja khusus ataupun memberikan kewenangan pada unit kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan, menerima pengaduan masyarakat atas dugaan konflik kepentingan serta monitoring dan evaluasi terhadap implementasi pengelolaan konflik kepentingan dengan mengintegrasikan sistem yang dibangun oleh KPK.
Lembaga negara di tingkat pusat perlu mendesain dan mendorong program peningkatan kapasitas setiap pejabat publik terhadap konsep dan prinsip-prinsip pengelolaan konflik kepentingan.
Penulis: Ronis Natom