Oleh:
Fortunatus Hamsah Manah
Anggota Bawaslu Kabupaten Manggarai
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dalam penanganan tindak pidana pemilu/pemilihan, kita dihadapkan dengan berbagai persoalan, baik karena konten aturannya yang tidak terlalu mendukung maupun karena faktor penegakan dan budaya hukum.
Menurut Gustave Radbruch, ada tiga nilai hukum yang mesti dicapai dalam proses penegakan hukum yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan hukum.
Sistem Peradilan Pidana Pemilu
Sebagai bagian dari rezim hukum pidana, mekanisme peradilan pidana pemilu juga mengikuti sistem peradilan pidana secara umum.
Dalam sistem peradilan pidana, terjalin sebuah kerangka jaringan sistem peradilan yang mendayagunakan hukum pidana (hukum pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana) secara terintegrasi.
Dalam kerangka itu, semua unsur sub sistem penegakan hukum yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan terlibat dalam satu jaringan kerja yang saling berkaitan satu sama lain.
Dalam hukum pidana pemilu, sistem kerja demikian juga berlaku. Hanya saja, terdapat sejumlah karakter khusus yang terdapat dalam hukum pidana pemilu.
Pertama, dari segi hukum materil yang digunakan, tindak pidana pemilu diatur secara khusus dalam UU Pemilu dan UU Pilkada.
Sejumlah tindak pidana pemilu bahkan sebelumnya telah ditentukan sebagai tindak pidana umum, seperti melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan (Pasal 293 UU Pemilu), pemalsuan dokumen (298 UU Pemilu), melakukan perbuatan pengrusakan (Pasal 311 UU Pemilu).
Hanya saja, pengaturan berbagai tindak pidana tersebut dalam UU Pemilu adalah dalam kaitannya dengan pelaksanaan pemilu (Mulyadi, 2019).
Konsekuensinya, tindak pidana tersebut hanya dapat dituntut jika dilakukan dalam konteks pemilu.
Dalam arti, berbagai perbuatan yang ditetapkan sebagai tindak pidana pemilu hanya dapat dituntut sesuai UU Pemilu, bukan ketentuan pidana umum.
Hal ini sesuai dengan penerapan asas lex specialis derogat legi generali. Menurut asas ini, semua unsur-unsur suatu rumusan delik terdapat atau ditemukan kembali di dalam peraturan lain, sedangkan peraturan yang disebut kedua (yang khusus) itu disamping semua unsur-unsur peraturan pertama (yang umum) memuat pula satu atau beberapa unsur lain (Hamzah, 2012).
Dalam kaitan dengan pemilu, unsur lain yang dimaksud adalah tindak pidana tersebut terjadi dalam kaitannya/dalam proses penyelenggaraan pemilu.
Kedua, dari aspek hukum formil, hukum pidana pemilu juga tunduk pada ketentuan yang berlaku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Di mana, pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana pemilu menggunakan KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam Pemilu.
Frasa kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini dalam Pasal 477 UU Nomor 7 Tahun 2017 merupakan klausul yang memberi kekhususan tertentu bagi proses pemeriksaan dugaan tindak pidana pemilu.
Salah satu kekhususannya adalah sangat terbatasnya waktu penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan oleh pengadilan.
Pembatasan waktu dalam memeriksa dan mengadili tindak pidana pemilu sesungguhnya ditujukan agar penanganan tindak pidana pemilu dapat memberikan kepastian hukum bagi tahapan penyelenggaraan pemilu.
Selain itu, kekhususan tindak pidana pemilu juga terlihat pada keterbatasan upaya hukum bagi orang yang dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana pemilu.
Di mana, terhadap putusan pengadilan hanya dapat dilakukan banding dan putusan pengadilan banding (Pengadilan Tinggi) memiliki sifat terakhir dan mengingat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.
Dengan demikian, upaya kasasi sebagai upaya hukum biasa tidak tersedia dalam pemeriksaan tindak pidana pemilu.
Ketiga, penegakan hukum pidana pemilu tidak saja melibatkan aparatur penegak hukum dalam sistem peradilan pidana biasa, melainkan juga melibatkan institusi penyelenggara pemilu (Setiawan, 2020), dalam hal ini Bawaslu dan jajarannya.
Penyidikan dugaan tindak pidana pemilu terlebih dahulu harus dengan adanya laporan/ rekomendasi dari Bawaslu Propinsi dan Bawaslu Kabupaten/kota.
Dalam mekanisme tersebut, dugaan pelanggaran pemilu terlebih dahulu harus melalui kajian Bawaslu beserta jajaran.
Di mana, apabila hasil kajian pengawas pemilu berkesimpulan adanya dugaan tindak pidana pemilu, maka hasil kajian beserta rekomendasi pengawas pemilu diteruskan kepada penyidik kepolisian.
Penanganan tindak pidana pemilu melibatkan sejumlah lembaga, maka untuk tujuan menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilu oleh Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan, diatur dan dibentuklah sebuah sentra penegakan hukum terpadu (Sentra Gakumdu).
Di mana, institusi ini berkedudukan sebagai tempat untuk menyamakan pandangan antar institusi yang terlibat dalam menangani tindak pidana pemilu (Yeni, 2020).
Dalam pengaturan teknis dan praktiknya, Gakkumdu ditempatkan sebagai institusi yang bertugas menyelenggarakan penanganan tindak pidana pemilu secara terpadu.
Pada saat yang sama, Gakkumdu juga memberi penilaian apakah bukti-bukti dugaan tindak pidana yang diserahkan Bawaslu beserta jajaran telah terpenuhi atau tidak.
Dalam konteks itu, penyidik kepolisian tidak hanya menerima bersih laporan tapi jugamelakukan penyidikan lagi. Sesuai UU Pemilu, penyidik kepolisian melakukan penyidikan atas telah terjadinya dugaan tindak pidana pemilu.
Keempat, pemeriksaan perkara tindak pidana pemilu ditangani oleh majelis khusus yang dibentuk pada pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi, karena itu, hakim khusus perkara pidana pemilu dituntut memiliki syarat dan kualifikasi tertentu yang pengangkatannya ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Setidaknya empat hal itulah yang menunjukkan kekhususan sistem peradilan pidana pemilu yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Nomor 10 Tahun 2016.
Alur penanganan tindak pidana dalam sistem peradilan pidana pemilu sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan birokrasi penanganan yang tidak sederhana.
Sistem penanganan tindak pidana pemilu jauh lebih rumit dibandingkan tindak pidana biasa yang hanya melibatkan polisi, jaksa dan pengadilan.
Sementara tindak pidana pemilu juga melibatkan pengawas pemilu. Sehingga, kondisi inipun dinilai sebagai salah satu alasan kenapa penanganan tindak pidana pemilu menjadi tidak efektif (Sulistyoningsih, 2015).
Pengaturan Tindak Pidana Pemilu
Sebelum lebih jauh mengulas arti penting pengaturan tindak pidana pemilu, terlebih dahulu perlu disinggung perihal istilah dan defenisi tindak pidana pemilu.
Secara eksplisit, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak ada definisi apa itu Tindak Pidana Pemilu.
Sementara di Psal 145 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tindak pidana Pemilihan didefinisikan secara tegas sebagai pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan Pemilihan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Secara umum, istilah tindak pidana pemilu merupakan terminologi yang sama atau menjadi bagian dari tindak pidana dalam rezim hukum pidana.
Istilah lain untuk tindak pidana adalah perbuatan pidana atau delik yang dalam bahasa Belanda disebut dengan strafbaar feit.
Jika dikaitkan dengan pemilu, maka dapat diistilahkan dengan delik pemilu atau tindak pidana pemilu.
Perbuatan pidana yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana dinamakan “delik” yang dalam sistem KUHP terbagi dalam dua jenis yaitu (Poernomo, 1985:96): Pertama, Kejahatan (misdrijven), yang disusun dalam Buku II KUHP, kejahatan adalah Criminal-onrecht yang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum atau dengan kata lain perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma menurut kebudayaan atau keadilan yang ditentukan oleh Tuhan dan membahayakan kepentingan hukum.
Contoh kejahatan dalam KUHP yaitu pada Pasal 362 tentang pencurian, Pasal 378 tentang pidana penggelapan dan lain-lain.
Kedua, Pelanggaran (overtredingen), disusun dalam Buku III KUHP, pelanggaran adalah polite-onrecht adalah perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa Negara atau dengan kata lain perbuatan yang pada umumnya dititikberatkan pada larangan yang diatur dalam peraturan penguasa Negara.
Contoh dari bentuk pelanggaran dalam KUHP adalah: Pasal 504 tentang pengemisan, Pasal 489 tentang kenakalan dan lain-lain.
Dalam Tindak pidana Pemilu menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilu (Perma 1/2018) sebagai berikut: Tindak Pidana Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Tindak Pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Defenisi yang sama juga dapat dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Berdasarkan defenisi tersebut, perbuatan/tindakan yang dapat dinilai sebagai tindak pidana pemilu adalah perbuatan yang dikriminalisasi berdasarkan Undang-Undang Pemilu. Sesuai defenisi itu (Afifah, 2014) , juga dapat dipahami bahwa tindak pidana pemilu adalah pelanggaran terhadap suatu kewajiban, hal mana pelanggaran tersebut diancam sanksi pidana dalam UU Pemilu.
Lebih jauh, kriminalisasi atas perbuatan tertentu sebagai tindak pidana pemilu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: pelanggaran dan kejahatan.
Hanya saja, Undang-Undang Pemilu tidak mendefenisikan secara spesifik apa yang dimaksud dengan tindak pidana dalam bentuk pelanggaran dan apa pula cakupan/defenisi tindak pidana kejahatan.
Undang-Undang ini hanya mengatur bentuk-bentuk perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran dan juga kejahatan yang satu sama lain sulit untuk membedakannya secara pasti (Fahmi, 2016).
Sebagai bagian dari sistem pengaturan penyelenggaraan pemilu, ketentuan tindak pidana pemilu pada dasarnya untuk menopang terwujudnya pemilu yang jujur dan adil.
Dalam konteks itu, arti penting pengaturan tindak pidana pemilu dapat diturun menjadi dua hal penting.
Pertama, norma tindak pidana pemilu ditujukan untuk melindungi peserta pemilu, lembaga penyelenggara dan pemilih dari berbagai tindakan pelanggaran dan kejahatan pemilu yang merugikan.
Kedua, norma tindak pidana pemilu ditujukan untuk menegakkan tertib hukum dan masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu (Nursyamsi & Ramadhan, n.d.).
Tindak pidana pemilu dapat saja merugikan peserta pemilu lainnya, merugikan penyelenggara dan juga pemilih.
Kerugian yang dialami peserta bisa dalam bentuk gagalnya yang bersangkutan memperoleh kursi karena adanya kecurangan peserta lain secara langsung ataupun melalui upaya tidak fair melalui kolusi dengan penyelenggara pemilu.
Sementara kerugian yang dialami penyelenggara bisa saja dalam bentuk terganggunya proses penyelenggaraan, integritas penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Sedangkan kerugian pemilih bisa terjadi dalam bentuk tidak terjadinya proses konversi suara menjadi kursi sesuai dengan kehendak pemilih melalui proses pemberian suara yang dilakukan pemilih.
Agar hak berbagai pihak berkepentingan dalam pemilu dapat terlindungi, maka hukum pidana dijadikan salah satu instrumen memeliharanya.
Beberapa catatan tentang tindak pidana pemilu di Undang-Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, diantaranya terdapat 77 tindak pidana Pemilu diatur di 66 pasal ketentuan pidana.
Jumlah ini meningkat dibanding undang-undang Pemilu sebelumnya di UU No 8 Tahun 2012 terdapat 56 tindak pidana Pemilu yang diatur di 48 pasal.
Subyek (pelaku) dari tindak pidana Pemilu ada beberapa macam yakni, setiap orang sebanyak 22 tindak pidana dari 77 tindak pidana Pemilu.
Ini biasa disebut delik komun, atau tindak pidana yang bisa dilakukan setiap orang.
Dan sisanya yakni sebanyak 55 tindak pidana yang merupakan delik propria (tindak pidana yang subyeknya tertentu/tidak setiap orang), dalam UU No 7 Tahun 2017 subyeknya bermacam-macam antara lain penyelenggara Pemilu mulai dari paling bawah (anggota KPPS) hingga paling atas (Ketua KPU), pejabat negara, penegak hukum, dan lain-lain.
Terdapat 23 tindak pidana Pemilu dari 77 tindak pidana Pemilu, atau sekitar 18 persen dari seluruh tindak pidana Pemilu yang subyek atau pelaku deliknya adalah penyelenggara Pemilu, mulai dari Ketua KPU hingga KPPS.
Pengawas Pemilu dari paling bawah hingga paling atas menjadi subyek tindak pidana pada 3 (tiga) tindak pidana Pemilu.
Sementara pelaksana kampanye Pemilu, peserta kampanye Pemilu, peserta Pemilu, calon Presiden dan wakil presiden serta pimpinan partai politik menjadi subyek pada 13 tindak pidana Pemilu.
Artinya: lebih banyak tindak pidana diancamkan bagi penyelenggara Pemilu dibandingkan pelaksana kampanye, peserta kampanye, peserta Pemilu, calon Presiden dan wakil presiden, serta pimpinan partai politik.
Selain itu subyek tindak pidana Pemilu adalah: Kepala Desa, Perangkat Desa, dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, Aparatur Sipil Negara, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, majikan/atasan, Ketua/Wakil Ketua/ketua muda/hakim agung/hakim konstitusi, hakim pada semua badan peradilan, Ketua/Wakil Ketua dan/atau anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Gubemur, Deputi Gubernur Senior, dan/atau deputi grbernur Bank Indonesia serta direksi, komisaris, dewan pengawas, dan/ atau karyawan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah perusahaan pencetak surat suara.
Tantangan Penegakan Hukum Pidana Pemilu
Tantangan penegakan hukum pidana pemilu setidaknya dapat dilihat dari masing-masing komponen dalam sistem hukum yang secara langsung berpengaruh terhadap penegakan hukum.
Lawrence M. Friedman menilai, berhasil atau tidaknya hukum ditegakkan tergantung pada tiga komponen sistem hukum.
Pertama, substansi hukum (legal substance). Substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.
Kedua, struktur hukum (legal structure) atau struktur sistem hukum. Friedman menyebutnya sebagai kerangka atau rangka atau bagian yang tetap bertahan atau bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan.
Keberadaan struktur hukum sangat penting, karena betapapun bagusnya norma hukum, namun jika tidak ditopang aparat penegak hukum yang baik, penegakan hukum dan keadilan hanya sia-sia. Ketiga, budaya hukum (legal culture).
Kultur hukum adalah opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebisaaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum (Ali, 2009).
Berangkat dari tiga indikator tersebut, belum efektifnya penegakan hukum pidana pemilu juga tidak dapat dilepaskan dari masalah yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan pemilu, khususnya terkait tindak pidana pemilu; masalah profesionalisme aparat penegakan hukum yang terdiri dari pengawas pemilu, kepolisian, kejaksanaan dan hakim pada pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi; dan budaya hukum penyelenggaraan pemilu.
Pada taraf norma, peraturan perundang-undangan sebagaimana diulas pada bagian sebelumnya belum cukup jelas dan lengkap mengatur hukum materil maupun hukum formil.
Bahkan hukum formil yang ada tidak cukup memadai untuk menegakkan hukum pidana pemilu secara efektif.
Sementara pada level struktur, penegak hukum dihadapkan pada persoalan masih belum memadainya pemahaman aparatur terhadap jenis tindak pidana pemilu; belum profesional dan masih terjadinya tolak-menolak yang berujung pada kebuntuan dalam menangani perkara pidana pemilu.
Sedangkan pada ranah budaya hukum, pihak-pihak berkepentingan, terutama peserta pemilu masih berkecenderungan untuk mengakali aturan yang ada sehingga dapat berkelit dari tuntutan hukum.
Masyarakat politik bukannya membangun kesadaran akan perlunya mengikuti pemilu sesuai aturan-aturan yang ada, melainkan justru membangun sikap culas atas aturan yang ada (Santoso, 2017).
Berdasarkan tata kerja Sentra Gakkumdu, permasalahan yang selama ini menjadi beban Bawaslu yaitu terkait dengan beban pembuktian, sekurang-kurangnya dua (2) alat bukti, maka banyak laporan yang tidak diproses karena alat bukti dan saksi-saksi tidak lengkap, karena keterbatasan wewenang Bawaslu.
Jauh berbeda halnya jika dibandingkan dengan kewenangan KPK dalam pembuktian TIPIKOR. Terkait menghadirkan pelapor dan saksi misalnya, Bawaslu tidak memiliki kewenangan melakukan pemanggilan paksa terhadap pelapor, terlapor dan saksi untuk dimintai keterangan.
Terkait tidak memiliki kewenangan untuk menggeledah dan menyita barang bukti. Bawaslu tidak memiliki kewenangan untuk menggeledah tempat dan/atau badan, dan tidak memiliki kewenangan untuk menyita alat bukti yang ada di tangan pelapor, terlapor atau saksi.
Rekomendasi
Dengan waktu penanganan tindak pidana pemilu yang amat singkat, birokrasi penanganan tindak pidana pemilu mesti didesain lebih sederhana.
Di mana, keterlibatan polisi dan jaksa tidak lagi ditempatkan secara terpisah dari proses pengawasan pemilu yang dilakukan pengawas pemilu.
Dalam konteks ini, polisi dan jaksa harus didesain berada dalam satu kesatuan lembaga pengawas pemilu dalam menegakkan hukum pidana pemilu.
Dalam konteks ini, mengubah desain kelembagaan pengawas pemilu dengan memasukkan unsur polisi dan jaksa secara ex officio merupakan salah satu cara untuk memotong panjangnya rangkaian birokrasi penangan perkara tindak pidana pemilu.
Dengan cara itu, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana pemilu akan berada di bawah satu komando.
Sehingga penegakan hukum pidana pemilu dapat dituntaskan dalam waktu yang sangat singkat dan berjalan lebih baik.
Pembuktian Tindak Pidana Pemilu
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tidak mengatur secara khusus ikhwal pembuktian dalam perkara tindak pidana pemilu.
Dalam arti, tidak terdapat ketentuan yang memberikan karakter tersendiri dalam pembuktian tindak pidana pemilu.
Ketiadaan pengaturan pembuktian tindak pidana pemilu berkonsekuensi terhadap tunduknya rezim pembuktian tindak pidana pemilu pada sistem pembuktian dalam KUHAP.
Hal itu didasarkan pada ketentuan Pasal 481 ayat (1) yang menyatakan, Pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa pembuktian tindak pidana pemilu/pemilihan sepenuhnya mengikuti apa yang diatur dalam KUHAP.
Bawaslu dalam konteks Sentra Gakkumdu diberi kewenangan Terkait dengan beban pembuktian, yaitu tersedianya ruang pembuktikan yang lebih luas. (Belajar dari kewenangan KPK dalam pembuktian TIPIKOR).
Terkait menghadirkan pelapor dan saksi, Bawaslu dalam konteks Sentra Gakkumdu diberi kewenangan melakukan pemanggilan paksa terhadap pelapor, terlapor dan saksi untuk dimintai keterangan. Bawaslu diberi kewenangan untuk menggeledah dan menyita barang bukti.
Bawaslu diberi kewenangan untuk menggeledah tempat dan/atau badan, dan tidak memiliki kewenangan untuk menyita alat bukti yang ada di tangan pelapor, terlapor atau saksi.
Dengan karakter khusus yang dimiliki tindak pidana pemilu, seperti singkatnya waktu penanganan, sesungguhnya membutuhkan adanya ketentuan terkait pembuktian yang lebih spesifik selain yang diatur dalam KUHAP.
Jika hanya mengacu pada KUHAP, penanganan tindak pidana pemilu akan jauh dari efektif. Apalagi untuk tujuan mengawal integritas pemilu yang jujur dan adil.
Jika dibandingkan dengan penanganan tindak pidana korupsi, salah satu faktor yang mendukung efektifitas penanganan tindak pidana korupsi adalah tersedianya ruang pembuktikan lebih luas dibanding apa yang termuat dalam KUHAP.
Salah satunya, perluasan definisi bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP.
Dalam Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi diatur sebagai berikut: Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas memberi kesempatan cukup luas bagi penyidik untuk membuktikan dugaan tindak pidana korupsi secara lebih mudah.
Sebab, penyidik tidak saja terbatas pada cara memperoleh alat bukti yang diatur dalam KUHAP, melainkan lebih luas dari itu.
Jika hal yang sama diterapkan dalam penanganan tindak pidana pemilu, tentunya pembuktian tindak pidana pemilu akan jauh lebih mudah.
Sebab, penyidik memiliki sumber bukti yang lebih luas dari sekedar ketentuan KUHAP yang dapat dikatakan sangat terbatas.
Sehingga, sebuah dugaan tindak pidana pemilu tidak dengan mudah lolos karena alasan tidak cukup bukti untuk membawanya ke proses pengadilan (Soerodibroto, 1919).
Apalagi tindak pidana pemilu sangat mudah diselundupkan ke dalam berbagai aktifitas lainnya.
Dengan berbagai cara, pelaku tindak pidana pemilu justru mudah untuk lepas dari jeratan hukum karena bukti-bukti terjadinya tindak pidana pemilu sangat sulit untuk ditemukan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, sistem penanganan tindak pidana pemilu masih membutuhkan pembenahan agar dapat diterapkan dengan baik dan efektif untuk menjadi salah satu instrumen mewujudkan pemilu yang jujur dan adil.
Perbaikan sistem penanganan meliputi perbaikan regulasi; penguatan kapasitas dan profesionalisme penegak hukum pemilu; dan peningkatan kesadaran hukum seluruh pemangku kepentingan pemilu perlu dilakukan secara terus-menerus dan konsisten.
Tanpa upaya serius itu, sistem penanganan tindak pidana pemilu akan selalu jalan di tempat dan tidak akan berhasil guna dalam menopang perwujudan keadilan Pemilu.