Jakarta, Vox NTT- Serikat Pemuda NTT (SP-NTT) menyebut Bupati Manggarai Herybertus G.L Nabit dan Wakil Bupati Heribertus Ngabut (H2N) merupakan rezim Narasi Akal-akalan Saja (Nakals) dan “tangan besi”.
“Menilik pada respons Pemda Manggarai melalui Bupati ihwal penolakan warga, mengenai kehadirannya di Poco Leok untuk menyerap aspirasi warga Poco Leok, sebenarnya itu tidak menjawab pertanyaan, bagaimana sikap Pemda terkait warga Poco Leok yang menolak geothermal,” ujar Ketua Umum SP-NTT, Saverius Jena dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Kamis (20/04/2023).
Ia menyampaikan hal tersebut saat SP-NTT menggelar talkshow dengan tema “Pulau Flores di Kepung Geotermal” dan sub tema “Bagaimana Sikap, Gagasan dan Tindakan Pemuda Mitigasi Dampaknya”.
Ia menegaskan, persoalan yang terjadi di wilayah adat Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai sedang di bawah bayang-bayang ketamakan dan kerakusan penguasa, PT PLN dan pihak terkait lain yang terlibat dalam proyek geothermal Ulumbu.
Di balik proyek perluasan PLTP Ulumbu, kata dia, SP NTT tentu saja berkomitmen membela masyarakat yang dirongrong oleh kekuasaan melalui pembangunan.
Hal ini merupakan kewajiban dan keutamaan atau virtue gerakan. Seperti ungkapan dari Che Guevara, ‘Jika engkau merasa gemetar melihat ketidakadilan, maka engkaulah kawanku’.
Menurut dia, gelombang penolakan warga Poco Leok sebenarnya sudah berlangsung lama.
Puncaknya ketika kunjungan Bupati Manggarai Herybertus G.L Nabit ke Poco Leok pada (27/02/2023) lalu. Kala itu, begitu banyak warga Poco Leok dari berbagai kampung adat menghalangi Bupati Manggarai di jalan simpang tiga Sekolah Dasar Katolik (SDK) Lungar.
Warga datang membawa spanduk sambil menyerukan tolak! Mereka menolak kehadiran Bupati Nabit yang misinya untuk membahas geothermal.
“Penolakan tersebut merupakan betuk nyata untuk menjelaskan apa yang ada dalam pikiran dan hati nurani mereka untuk menolak proyek geothermal berada di tanah tumpah darah mereka, atau yang disebut dalam bahasa Manggarai“Kuni agu Kalo.”Sehingga warga Poco Leok tak salah mendesak pihak terkait seperti pemerintah dan PLN untuk menghentikan mengganggu wilayah adat Poco Leok untuk pembangunan geothermal,” tegas Saverius.
Ia menambahkan, berbagai narasi yang dikeluarkan selama ini dinilainya sebagai Narasi Akal-akalan Saja atau diakronimkan Nakals.
Sebab di balik statement yang dikeluarkan, lanjut dia, sebenarnya mengandung ambisi Pemda Manggarai agar pembangunan geothermal di wilayah Poco Leok tetap dijalankan.
“Pemda dan PLN rupanya sedang menjalankan apa yang disebut oleh Marx sebagai akumulasi primitif (primitive accumulation) akumulasi kekayaan pada segelintir orang lewat atas perampasan milik komunal ke penguasaan pribadi (enclosure), serta menciptakan pekerja upahan yang murah untuk menopang industri kapitalis yang dilindungi oleh perkakas peraturan pemerintah (Mulyanto, 2008),” kata Saverius.
Selain membangun Narasi Akal-akalan Saja (Nakals), Pemda Manggarai bersama pihak PLN ketika datang ke Poco Leok untuk sosialisasi kerap kali dikawal aparat keamanan seperti Polisi dan TNI.
“Fakta lain, tuntutan daripada masyarakat adat Poco Leok diabaikan begitu saja oleh Pemda, sehingga rezim H2N dinilai tidak berpihak pada masyarakat adat. Sementara etika dari pihak PLN ketika mengambil sample tanah di wilayah Poco Leok juga sangat buruk. Sampai pada beberapa waktu lalu ditangkap dan diadili di rumah adat Kampung Mocok,” tegasnya.
Melawan Kebuntuan, Membela Poco Leok
Saverius menegaskan, SP NTT sejak awal mendengar rencana pengembangan PLTP Ulumbu ke wilayah Poco Leok dan ditentang keras oleh Masyarakat adat setempat.
“Kami bersikap untuk satu suara dengan suara penolakan dari warga setempat berdasarkan pertimbangan hasil kajian masyarakat adat Poco Leok,” ujarnya.
Latar persoalan ini menurut dia, jelas-jelas berpotensi merusak tatanan kehidupan masyarakat adat ke depannya. Tanda-tanda itu ditemukan ketika masyarakat adat Poco Leok Manggarai sungguh sangat tidak dihargai seperti tidak dilibatkan sepenuhnya pada saat ada kegiatan sosialisasi, konsultasi publik dan semacamnya. Selain itu, rencana ini juga telah menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat.
“Di sisi lain juga kami memiliki semacam politics of hope atau harapan politik untuk seluruh masyarakat di Manggarai, rekan-rekan Mahasiswa dan Pemuda Nusa Tenggara Timur umumnya agar satukan hati dan pikiran, agar sama-sama bergandeng tangan dengan warga Poco Leok menyerukan penolakan geothermal,” tegasnya.
Ia pun berharap agar segenap masyarakat adat Poco Leok untuk menjaga kedaulatan ulayat masing-masing dan saling menopang satu sama lain dalam perlawanan. Tidak boleh terjebak dengan polarisasi isu tipu daya dan upaya hasutan dari pihak yang berkepentingan di balik upaya memasukkan proyek geothermal tersebut.
“Itulah beberapa gambaran umum mengenai rujukan yang menjadi dasar pertimbangan kenapa kami mendukung penuh sikap penolakan geothermal oleh masyarakat adat Poco Leok,” imbuh dia.
Sikap, Gagasan dan Tindakan Pemuda Mitigasi Dampaknya
Dalam kesempatan talkshow tersebut, Ketua Presidium PMKRI Cabang Ruteng Lorensius Lasa menyampaikan bahwa Pulau Flores dikepung oleh geothermal, itu mulai sejak tahun 2017. Yakni ketika Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan Flores sebagai pulau panas bumi. Penetapan Flores sebagai pulau panas bumi tertuang dalam keputusan Menteri ESDM No: 2268 K/30/MEM/2017.
Ia menyampikan mitigasi dampak negatif geothermal yang kepung wilayah Poco Leok hanya dapat dilakukan dengan cara mendesak Pemkab Manggarai Herybertus G. Nabit untuk segera mencabut SK HK/417/2022.
Hal ini menurut Lorensius, harus dilakukan karena SK yang diterbitkan menjadi rujukan untuk untuk meloloskan geothermal di wilayah adat Poco Leok. Dan seyoganya juga, gelombang penolakan geothermal tidak boleh hanya menggema di Jakarta, setidaknya akan bergema serentak di wilayah Kupang dan Flores, Manggarai.
Dalam melihat polemik geothermal yang sedang diperhadapkan oleh masyarakat Poco Leok, Ketua Presidium PMKRI Cabang Ende Iprianus Laka Ma’u menengaskan bahwa sikap pemuda tentu tidak tinggal diam. Apalagi hal ini berdampak terhadap ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya.
“Saya berpikir bahwa kejadian yang terjadi di Manggarai sekarang ini butuh gerakan kolaborasi isu dan gerakan yang bersifat terstruktur, masif dan sistematis. Sehingga output perlawanan yang kita lakukan dapat membatalkan kebijakan yang berdampak mudarat bagi masyarakat yang bersunber dari tangan besi bupati, Herybertus G.L Nabit,” kata Iprianus.
Dalam konteks Pulau Flores, kata dia, semestinya pemerintah lebih membereskan beberapa pekerjaan rumah terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan air. Pemerintah tidak boleh hanya membuka kran investasi dalam pertambangan panas bumi yang sudah sangat jelas akan menyisakan dampak buruk bagi masyarakat Flores scara umumnya dan Poco Leok khususnya.
Kemudian Ketua DPC GMNI Ruteng, Felix Karunia, mengatakan persoalan geothermal merupakan sebuah persoalan yang melibatkan semua stakeholder bahkan sampai ke akar rumput.
Geothermal walaupun diproyeksikan bahwa salah satu solusi penopang energi Listrik masa depan, tetapi tidak boleh lupa bahwa hadirnya geothermal membawa luka dan duka karena memicu terjadinya konflik horizontal di tengah Masyarakat adat Poco Leok saat ini.
“Kita sangat resah dengan aksi-aksi pemerintahan Herybertus Nabit yang membiarkan polemik terjadi tanpa diselesaikan,” ujar Felix.
Kristian Jaret, Korlap Aksi Jilid I dan II Jakarta dan putra asli Poco Leok, menilai kebijakan pembangunan perluasan proyek geothermal merusak keberlangsungan hidup masyarakat Poco Leok ke depannya.
“Kita pada dasarnya akan membutuhkan energi listrik, tetapi tidak bisa disubtitusikan dengan ruang hidup masyarakat,” tegas Kristian.
Ia mengatakan banyak pihak yang berkepentingan mengakui bahwa energi yang dihasilkan dari proyek geothermal ini merupakan energi yang bersih dan ramah lingkungan.
Hal demikian adalah hasil penelitian ilmiah negara. Namun faktanya kondisi masyarakat di Kampung Tantong dan Damu yang merupakan kampung terdekat dengan lokasi pemboran, bahwa atap rumah mereka sekarang sudah beralih dari seng dan menggunakan asbes agar tidak karat. Hal ini dikarenakan pengaruh udara yang mengandung zat H2S yang mempercepat besi dan seng menjadi karat.
“Jika pihak pemerintah dan kolonial Eropa mengatakan geothermal adalah energi yang ramah lingkungan dan bersih adalah omong kosong bagi saya. Dan hasil penelitian yang dilakukan oleh PLN bersama pemerintah menetapkan Poco Leok menjadi titik pengeboran geothermal menujukkan adanya kecacatan berpikir dari negara,” tegas Kristian.
Ia mengatakan tanah memang tidak pernah menolak untuk digusur, ditambang dan dibor. Pohon juga tidak pernah menolak untuk ditebang. Hutan tidak pernah menolak untuk dibabat. Namun sebenarnya kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan hidup itu bukan hanya tanah, tetapi juga manusia.
“Jika masyarakat Poco Leok menolak geothermal ini, maka jangan dipaksakanlah. Negara secara hitungan ekonomi mungkin mendapatkan keuntungan lebih besar kalau itu dikembangkan di Poco Leok, tetapi bagaimana dengan masyarakatnya. Apakah dengan manfaat yang lebih besar kepada negara itu lalu kemudian ruang hidup dan orang dikorbankan. Kan tidak boleh seperti itu,” tegasnya.
Ketua BEM Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng, Clara Astuti Jaya, menegaskan penolakan yang dilakukan oleh masyarakat adat Poco Leok didasarkan pada nilai filosofi kehidupan orang Manggarai yang mencakup 5 hal.
Kelimanya yakni; Mbaru Bate Kaeng, Uma Bate Duat, Compang Bate Takung, Natas Bate Labar dan Wae Bate Teku.
“Pada bulan Desember 2022, saya bersama masyarakat Poco Leok dan ada beberapa masyarakat adat dari Nunang. Kami bersama JPIC OFM Ruteng melakukan studi banding di Mataloko yang gagal. Proyek geothermal yang berada di Mataloko sendiri, lokasi terdampak tidak langsung di titik pemboran,” kata Clara.
“Dampak penyebarannya itu 800 meter dari lokasi yang sudah ditentukan, jadi semburan asap yang keluar itu tidak lagi muncul di lokasi yang sudah ditentukan. Dan di lokasi itu sendiri sebelumnya itu daerah persawahan, namun semenjak munculnya semburan panas dari dampak pengeboran geothermal yang ada di Mataloko itu, dampaknya secara khusus bagi petani di sana itu lahan,” imbuh dia.
Artinya, lanjut dia, penghasilan pertanian untuk masyarakat di wilayah yang terdampak sudah hilang. Sehingga hal itu menjadi poin keresahan dari masyarakat Poco Leok yang melakukan investigasi dampak dari proyek geothermal.
Penulis: Ardy Abba