(Sebuah Awasan Menuju Pemilu Serentak 2024)
Oleh: Longginus Ulan, S.S
(Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan Mollo Selatan, TTS)
DENYUT dan getaran pesta demokrasi lima tahunan yakni Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 mulai terasa. Tak hanya di seantero Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) namun di berbagai negara atau warga negara Indonesia yang berada di luar negeri mulai merasakan jalannya berbagai tahapan proses demokrasi di tahan air.
Pemilu kali ini tentu berbeda dengan Pemilu tahun-tahun sebelumnya. Pemilu 2024 dilaksanakan secara serentak atau dikenal dengan Pemilu Serentak 2024. Disebut Pemilu Serentak di mana pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada); Gubernur, Bupati dan Wali Kota dilaksanakan bersamaan pada tahun yang sama, yakni tahun 2024.
Sejak 12 Februari sampai 14 Maret 2023, Petugas Pemutahiran Data Pemilih (Pantarlih) masuk ke luar rumah. Mereka mendata setiap warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih agar masuk dalam daftar wajib pilih (DPT).
Masyarakat tampak antusias meski harus diakui masih ada juga yang apatis dan harus didatangi petugas Pantarlih beberapa kali, barulah ditemui dan didaftar sebagai pemilih.
Terlepas dari soal antusiasme yang semakin tinggi dan apatisme yang rendah itu, tentu penyelenggara Pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memiliki trik, metode atau cara tersendiri dalam memberikan sosialisasi demi mendorong tingkat partisipasi masyarakat.
Ada persoalan menarik yang hendak dikemukakan penulis yakni praktik politik uang atau yang dikenal dengan istilah ‘money politic’.
Saban tahun, tatkala hajatan demokrasi digelar, fenomena politik uang masih tetap menjadi ancaman serius pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Politik uang masih saja tetap seksi dalam berbagai perbincangan publik.
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah NKRI yang ikut ambil bagian dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2024.
Bukan lagi menjadi rahasia umum, berbagai upaya melanggengkan kekuasaan dilaksanakan dengan politik transaksional.
Bukan tidak mungkin, praktik ini bakalan kembali terjadi di kabupaten dengan jumlah pemilih terbesar di NTT yakni 287.357 yang tersebar di 32 Kecamatan, 266 desa dan 12 kelurahan ini.
Politik Uang dan Pemilu
Secara sederhana politik uang dapat dipahami sebagai upaya suap-menyuap pemilih dengan memberikan uang atau jasa supaya suara pemilih dapat diberikan kepada penyuap.
Beberapa referensi; misalnya: Sarah Brich (2009) menyebut, politik uang sebagai bentuk korupsi dalam pemilu, biasanya dilakukan melalui praktik politik uang.
Hal tersebut akan menghasilkan orang yang ‘salah’ sebagai pemenang. Pemerintahan yang dihasilkan pun kurang representatif dan akuntabel.
Alasannya karena politisi yang terpilih tidak akan mengutamakan kepentingan rakyat. Pada sisi lain, kepercayaan kepada mereka pun rendah. Selain itu, korupsi politik juga dapat mendorong korupsi di sektor-sektor lain.
Dalam regulasi kepemiluan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Pasal 523 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) mengatur larangan politik uang pada tahapan;
Pertama; masa kampanye; Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)
Kedua; masa tenang; Setiap pelaksana, peserta, dan/ atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada Masa Tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).
Ketiga; Pemungutan Suara; Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Selain itu, Pasal 187A, Undang -Undang Nomor 10 Tahun 2016 ikut mengatur larangan politik uang:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menjanjikan atau memberikan uang, atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Oko Mama dan Politik Uang
Setelah sedikit referensi untuk memahami apa itu politik uang sebagaimana disampaikan di atas maka muncul pertanyaan.
Apakah praktik politik uang bisa terjadi dalam konteks budaya atau Tradisi Oko Mama atau tempat sirih pinang di TTS?
Oko Mama dalam keseharian orang TTS (Suku Dawan di Pulau Timor) memiliki peran sentral dalam kehidupan sosial dan budaya orang TTS.
Dalam dialog dan interaksi sosial pada masyarakat Suku Dawan di TTS, Oko Mama merupakan media penyampaiaan pesan.
Dalam beberapa urusan formal Oko Mama menjadi media penyampaian pesan. Misalnya; dalam sebuah pertemuan para tua adat maupun masyarakat, Oko Mama menjadi media penyampaiaan maksud dan tujuan pertemuan.
Saling menyuguhkan tempat sirih pinang pertanda dimulainya sebuah pertemuan atau musyawarah agar bisa mencapai sepakat.
Ini sebetulnya mau menunjukkan bahwa Tradisi Oko Mama memiliki posisi sentral dalam penyampaiaan pesan-pesan luhur dalam interaksi sosial.
Kendati Tradisi Oko Mama mewariskan nilai-nilai kehidupan sosial bermasyarakat sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, namun seiring perjalanan waktu, disadari bahwa nilai-nilai itu mulai perlahan tergerus.
Nilai-nilai dan pesan musyawarah yang hidup di alam budaya orang TTS dalam gempuran politik pragmatisme dan transaksional.
Artinya dengan saat Pemilu, orang dengan menggunakan Oko Mama bisa membagi-bagikan uang dengan tujuan mengarahkan untuk memilih kandidat tertentu.
Kalau ini dilakukan saat kampanye, masa tenanhg atau saat pemungutan suara maka merupakan sebuah penghinaan terhadap nilai-nilai adat dan tradisi masyarakat lokal atau Tradisi Oko Mama itu sendiri.
Bagi penulis, sebuah praktik politik yang beretika dan terhormat, bila para punggawa politik selalu datang dengan membawa Oko Mama menyampaikan maksud hati, menyampaikan visi dan misi lewat Oko Mama.
Saat itu juga memberikan pesan san pemahaman agar masyarakat menolak politik uang saat pelaksanaan baik itu Pemilu maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Oko Mama akan menjadi berkah dan menemukan kembali keluhuran nilainya di alam demokrasi saat ini bila dipakai dengan tujuan-tujuan mulia demokrasi.
Sejatinya, Tradisi Oko Mama bisa dijadikan sebagai media mencapai dialog yang interaktif, musyawarah untuk mufakat.
Oko Mama dijadikan media mengurai berbagai persoalan dan kemelut-kemelut kehidupan masyarakat. Sebaliknya akan menjadi bencana yang menciderai Pancasila sebagai landasan pelaksanaan Pemilu di tanah air dan ancaman kelestarian Tradisi Oko Mama di TTS.
Upaya Pencegahan
Meyikap ancaman degradasi nilai-nilai demokrasi Pancasila dan Tradisi Oko Mama dengan masifnya gempuran politik uang saat pesta demokrasi maka berbagai upaya pencegahan mestinya masif dilakukan pula.
Masyarakat atau pemilih sangat penting untuk terus diberi pemahaman dan pencerahan politik terkait ancaman bahaya politik uang.
Tak cukup sampai di situ praktek dan laku politik yang bermartabat dan berkualitas sangat penting dijaga, dipelihara dan dihidupi semua warga masyarakat, khusus para politisi kita.
Dengan demikian akan menjadi langkah awal masyarakat semakin sadar dan bertanggungjawab dalam berdemokrasi.
Mengedepankan kualitas dan memberikan menentukan pilihan-pilihan politik. Dalam membangun kesadaran bersama butuh daya ungkit dan peran penuh semua stakholders baik itu pemerintah, partai politik, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama maupun penyelenggara pemilu seperi KPU dan Bawaslu secara berjenjang dan masif.
Tak bisa dipungkiri, upaya menghidupi dan memelihara praktek baik demokrasi yang bebas dari berbagai pelanggaran bukan sekali jadi.
Butuh proses, hingga menguras energi; baik itu pikiran, tenaga, waktu, bahkan biaya. Tak mudah memang, namun bagaimana pun harus dimulai.
Tanggung jawab menjadikan pemilu benar-benar adalah sarana kedaulatan rakyat memilih para pemimpin ada di tangan kita semua. Meski masih harus melalui berbagai jalan terjal dan lorong kelam.
Namun, sebagai masyarakat kita tentu ingin tetap berjuang bersama dan yakin akan sampai ke sana. Bung Karno pernah menyatakan,”Warisi Apinya, Jangan Abunya. Warisi api dan semangat Demokrasi Pancasila dalam memilih para pemimpin kita ke depan,”. *