Oleh: Hina Mehang Patalu, SE
Anggota Bawaslu Kabupaten Sumba Timur
UUD 1945 telah mengatur ketentuan adanya jaminan hak pilih bagi setiap warga negara Indonesia,setiap warga negara Indonesia berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum dengan berpedoman pada asas Luber dan Jurdil.
Aparatur sipil negara (ASN) merupakan salah satu alat negara yang harus menjungjung sikap netral dalam setiap kali pelaksanaan pesta demokrasi pemilu maupun pemilihan kepala daerah.
Bagaimana fakta dan pelaksanaannya, penulis mencoba mengurai antara fakta lapangan dan regulasi yang mengatur terkait netralitas ASN dalam hajatan pemilu.
Tambur Pemilu serentak tahun 2024 telah dibunyikan, hal ini menunjukan jika pesta demokrasi lima tahunan sudah dimulai.
Saat ini,penyelenggara pemilu sedang menjalankan dua tahapan penting yakni tahapan Pendaftaran Bakal Calon DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten serta tahpan Pemuktahiran data pemilih dan Penyusunan daftar pemilih untuk di tetapkan sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Pemilu ini pun menjadi sebuah sejarah baru bagi ketatanegaraan Indonesia, sebab akan dilaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota dan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota pada tahun yang sama.
Meskipun pilihan teknis pelaksanaan pemilu nasional (Pileg dan Pilpres) maupun pemilu lokal (Pilgub/Pilbup/Pilwakot) pada bulan yang berbeda, namun tetap pada desain tahun yang sama pada 2024
Netralitas menjadi kata yang paling populer bagi aparatur sipil negara (ASN) tiap menjelang tahun politik sama halnya menjelang pemilu dan pemilihan Serentak Tahun 2024.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN mengamanatkan bahwa ASN harus netral. Dalam aturan itu disebutkan bahwa ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. ASN pun wajib tidak berpihak terhadap segala bentuk pengaruh dan kepentingan.
Pilkada Serentak tahun 2015, 2017 dan 2018 serta Pemilu legilatif dan pemilihan presiden pada tahun 2019 serta Pemilihan kepala Daerah tahun 2020 menunjukan banyaknya bukti yang menyatakan bahwa pegawai ASN masih jauh dari sikap netral.
Prinsip-prinsip netralitas ASN sudah diatur dalam kode etik dan kode perilaku KASN. Kode etik ini penting untuk mewujudkan ASN yang profesional tidak hanya dalam kepemilikan kompetensi saja namun juga perilaku dalam menjalankan tugas.
ASN mempunyai hak pilih namun dalam melaksanakan tugasnya harus netral dari berbagai pengaruh politik. Karena dalam kehidupannya ASN sering kali menjadi panutan, maka kelakukan dan perilaku dari ASN tidak diperbolehkan untuk memperlihatkan dukungan kepada salah satu Pasangan Calon ataupun Caleg.
Apalagi sampai mengajak bawahannya untuk memilih salah satu Paslon atau Caleg karena hal ini termasuk juga ke dalam pelanggaran yang dapat dikenakan hukuman berat dalam UU Pemilu.
Mengapa ASN wajib berlaku netral? Bukan tanpa alasan, landasan etisnya adalah karena birokrasi merupakan institusi publik yang dibangun dan dibiayai oleh uang rakyat untuk melayani semua golongan.
Oleh karena itu, aparat birokrasi wajib terlepas dari kepentingan politik maupun keberpihakan pada golongan tertentu.
Ketidaknetralan ASN akan sangat merugikan negara, pemerintah, dan masyarakat. Netralitas birokrasi diperlukan untuk memastikan kepentingan negara dan publik secara keseluruhan berorientasi pada pelayanan, sehingga pihak mana pun kekuatan politik yang memerintah, birokrasi tetap memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakatnya.
Dalam konteks pembinaan dan pengawasan rasanya tak kurang, pemerintah memberikan perhatian khusus agar ASN dapat bersikap netral dan bebas dari intervensi politik.
Sejumlah surat edaran bahkan surat keputusan bersama (SKB) dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) rutin hadir setiap tahun menjelang tahun politik.
Regulasi Menjaga Netralitas
Dasar hukum penindakan ASN antara lain Pasal 87 ayat 4 huruf b Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Apartur Sipil Negara yang menyebutkan bahwa PNS diberhentikan dengan tidak hormat karena menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Namun, aturan tersebut belum mampu mencegah keberpihakan aparatur terhadap calon kepala daerah.
Pasal ini menggunakan frase menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, bukan sebagai tim pemenangan kampanye.
Persoalan pelik mengenai tim pemenangan berseragam PNS sulit dibuktikan bila berdasarkan ketentuan tersebut. Maka pasal tersebut harus dimaknai meluas bukan hanya sebagai anggota/pengurus partai, tetapi PNS yang terang-terangan mengarahkan pilihan masyarakat kepada salah satu peserta pemilu.
Oleh karena itu, demi menjaga netralitas PNS, dibutuhkan aturan turunan berbentuk Peraturan Pemerintah. kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
Ketegasan ancaman bagi keberpihakan PNS diatur dalam Pasal 4 angka 15 PP No. 53/2010 yang menjaga asas demokratis bagi semua ASN. Berdasarkan penguatan dari PP 53/2010, perlu diperhitungkan kembali pertemuan-pertemuan yang dikiaskan dengan nama silaturahmi mampu mengancam indepedensi PNS dalam pemilu.
Selain itu, saat Petahana melakukan pertemuan langsung dengan masyarakat. PNS yang ikut serta rawan terlibat sosialisasi Petahana.
PP No. 53/2010 memuat ketentuan sanksi hukuman disiplin bagi PNS yang melanggar netralitas (Pasal 12, angka 6, 7, 8, dan 9), yakni penjatuhan hukuman disiplin sedang, berupa:
1. Penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun;
2. Penundaan kenaikan pangkat selama 1(satu) tahun, dan;
3. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun;
Sedangkan sanksi hukuman disiplin bagi PNS yang melanggar netralitas (Pasal 13, angka 11, 12, dan 13), yakni penjatuhan hukuman disiplin berat, berupa:
1. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
2. Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
3. Pembebasan dari jabatan;
4. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dan
5. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
Pertanyaan nya “ apakah ASN tidak Mengetahui atau Memahami Regulasi-regulasi di atas?
Mengapa Pelanggaran Selalu Berulang Terjadi?
Pertama, posisi ASN barangkali bisa dibilang cukup dilematis, sebagai bagian dari warga negara, ASN masih punya hak pilih.
Sementara segala tindak tanduk dan perilaku terikat dengan ketentuan netralitas. Karena hak pilih yang melekat tentu tidak memungkinkan bagi ASN sepenuhnya netral.
Sikap netral ASN harus luruh di bilik suara, karena sebagai warga negara yang baik, harus menentukan hak pilih.
Kedua, masih banyak ASN yang berpikir pragmatis, menganggap jenjang karir semata hanya ditentukan oleh pimpinan yang notabene adalah pejabat politik.
Kompetensi kerapkali dikalahkan oleh lobi dan pendekatan pribadi, kepintaran dikalahkan oleh faktor kedekatan.
Maka layak jika bersandar kepada kekuatan politik menjadi pilihan atau kata lainnya dalah Kedekatan Keberkatan.
Ketiga, kesadaran kolektif terhadap netralitas ASN masih rendah, maka sosialisasi dan edukasi bagi ASN sendiri dan entitas/pemangku kepentingan politik harus dilakukan dengan lebih masif dan komprehensif.
Keempat, pengawasan terasa masih lemah. Karena, keterbatasan sumber daya, otoritas pengawasan yang ada di tangan Bawaslu kurang dapat berjalan efektif. Itu karena Bawaslu hanya sebagai pengawas bukan sebagai pemberi sanksi bagi mereka yang melanggar netralitas ASN.
Namun tetap harus dissepakati bahwa Kepatuhan dan ketundukan ASN harus terus dibangun, karena ASN bukan manusia bebas.
ASN adalah manusia yang terikat dengan peraturan baik di dalam maupun di luar kedinasan. Karena terhadap semua jenis pelanggaran sudah disediakan konsekwensi logisnya. Bagi para ASN, Ayo, jaga netralitas dan tetap profesional!