Oleh: Sipri Kantus
Penyuluh Agama Katolik pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Manggarai
Keuskupan Ruteng baru saja menyelenggarakan Festival Golo Curu (FGC) yang berlangsung kurang lebih selama seminggu sejak tanggal 01 Oktober hingga 07 Oktober 2023.
FGC yang digagas bersama Pemda Manggarai ini merupakan sebuah bentuk perhatian dan penelurusan terhadap situs religi Golo Curu baik untuk tujuan pengembangan pariwisata rohani, pun erat kaitannya dengan perayaan Maria Ratu Rosari yang diperingati dalam gereja Katolik setiap tanggal 07 Oktober.
FGC dalam konsep KR dan Pemda Manggarai akan menjadi sebuah tradisi umat kota Ruteng dan Manggarai Raya. Dengan demikian, FGC akan menjadi program rutin yang akan diselenggarakan setiap tahun.
Membaca gagasan dasar FGC, ada hal menarik yang tersirat terkait cita rasa nasionalisme dan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bahwa selain menampilkan atribut agama, perayaan umat Katolik ini memang sengaja dikonsepkan dalam bentuk festival.
Melalui festival, perayaan religious Bunda Maria Ratu Rosari Golo Curu serentak menunjukkan kekhasan lokal Flores, khususnya Manggarai yang bercorak inklusif-dialogal.
Corak inklusif-dialogal itu menurut penulis sangat relevan dengan visi moderasi dan toleransi agama yang digalang oleh Kementerian Agama Republik Indonesia.
Dari perspektif itu, terdapat dua hal yang menjadi intisari dari tulisan ini. Pertama, informasi dan pencerahan terkait dengan perayaan religious Golo Curu yang dikemas dalam sebuah festival.
Kedua, tentang festival Golo Curu sebagai sebuah usaha yang lahir dari kesadaran untuk merawat keberlangsungan Indonesia dengan segenap kebhinekaannya. Dalam arti itu penulis memaknai peristiwa FGC sebagai sebuah “proyek” nasionalisme.
Golo Curu dan Terminologi “Festival”
Ssebagai sebuah term, kata Festival sebetulnya berasal dari kata Bahasa Latin “festa” yang berarti “pesta” untuk merayakan sebuah peristiwa secara meriah.
Istilah pesta ataupun festival dengan demikian boleh dimaknai selain sebagai ekspresi kegembiraan, tetapi juga sebagai term umum yang jauh dari prasangka atau keterikatan dengan perayaan agama tertentu.
Term Festival bukanlah bahasa khas agama tertentu, karenanya dari segi terminology, FGC bebas dari eksklusivisme yang mungkin diprasangkakan kepadanya.
Dari penelusuran singkat di atas, penulis berasumsi, bahwa penggunaan termologi “festival” dalam konteks perhelatan Golo Curu merupakan hasil dari sebuah urun-rembuk yang rasional.
Term festival tidak secara latah diangkat lalu dipakai, tetapi hasil dari sebuah petualangan akal, lalu kemudian mendudukannya pada konteks yang benar.
Ketika dipertautkan dengan perayaan religious Golo Curu, term festival menjadi satu diksi yang mengekspresikan bahwa peristiwa keagamaan itu terbuka untuk semua kalangan (etnik dan agama) dalam porsi yang boleh dimasukinya.
Dengan alas pikir yang inklusif-dialogal, FGC yang digelar di kota Ruteng ini tidak saja memusatkan perhatian pada ritus prosesi yang melibatkan ribuan umat Katolik, tetapi juga terbuka untuk kelompok-kelompok lain.
Kelompok-kelompok tersebut bisa diidentifikasi sebagai para pegiat UMKM, para seniman, para pegiat literasi juga para content creator.
Mereka semua hadir dari latar budaya, etnik dan agama yang berbeda-beda. Saudara-saudara muslim malah turut dalam parade etnik, acara hiburan bernuansa islamiah, pengamanan saat prosesi akbar hingga kolaborasi MAN 02 Langke Rembong dan SMAK Ketang bertajuk “kerukunan umat beragama” pada hari puncak festival.
Kesadaran, pengakuan dan penerimaan akan fakta pluralitas warga kota Ruteng khususnya dan Manggarai Raya umumnya menjadi satu pendasaran yang kuat mengapa perayaan ini di-design dalam bentuk festival.
Dengan festival, sebuah perayaan iman tidak hendak dikaburkan dengan suasana pesta, melainkan iman perlu diungkapkan dengan suka cita, terlebih dalam suasana persaudaraan antarumat manusia.
Festival Guru Curu dan “Proyek” Nasionalisme
Bila kita sejenak menyitir sejarah, maka kita akan berjumpa lagi dengan proses lahirnya Indonesia yang berdiri di atas prinsip bhineka Tunggal ika.
Sejarah mencatat kiprah para pemuda seperti Jong Java, Indonesia Muda, Jong Minahasa, Liga Muslim Muda, dan beberapa organisasi nasional serta kedaerahan yang mengkonsolidasikan kekuatan untuk kemerdekaan. Apa yang masih relevan untuk dipelajari dari isi sejarah ini?
Saya kira studi nasionalisme Indonesia yang dibuat oleh Benedict Anderson (1999) menjawab itu dengan lumayan terang.
Indonesia yang kita miliki kini, menurutnya, tidak boleh dipahami sebagai sebuah warisan bersama belaka, tetapi mesti diterima dan dipahami sebagai sebuah “proyek” bersama.
Jika hanya diterima sebagai warisan maka kemungkinan untuk diperebutkan sangat besar dan itu sudah terbukti dibuat oleh mereka yang mengklaim diri sebagai pewaris dengan berbagai cara, bahkan dengan mengorbankan saudaranya sendiri sekalipun.
Sebaliknya, kalau Indonesia diterima dan dipahami sebagai sebuah proyek bersama sejak dulu hingga masa depan, maka generasi kita yang didorong oleh memoria persatuan akan memikul di pundaknya tanggung jawab untuk menjaga keberlangsungannya hingga kapanpun.
Konsep dan gerakan moderasi beragama rupanya juga bagian dari proyek abadi itu. Di tengah keberagaman dan perbedaan, sebagai anak bangsa kita harus mencari dan menemukan titik-titik temu dan bukannya memperlebar serta mempertajam perbedaan. Kita semua bisa.
Umat lintas agama memiliki potensi untuk ambil bagian dalam proyek itu seperti terungkap dalam penggalan mars kerukunan umat beragama: “Islam cinta kedamaian, Kristen penuh kasih sayang, Khonghucu sabar-pengertian, Hindu suka ketentraman, Budha sumber kebajikan. Mari kita hidup berdampingan. Bicara lintas agama, di taman hati yang indah, Pancasila perekat hidup bangsa.”
FGC yang telah mempertemukan pelbagai kelompok secara tidak langsung telah mengambil bagian dalam proyek nasionalisme.
Bertemunya pelbagai komunitas dan umat lintas agama dalam momen perayaan agama tertentu telah menumbuhkan cita rasa nasionalisme kita sebagai orang Indonesia. Kita harus bangga dengan keanekaragaman kita.
Kita harus terus bertumbuh dan bersatu dalam kebhinekaan. Itulah kekayaan dan ciri khas kita yang harus dijaga dan terus dirawat.
Dengan satu kesadaran bahwa Indonesia merupakan sebuah proyek abadi, FGC boleh dimaknai sebagai sebuah peristiwa persaudaraan dan perjumpaan generasi yang berkomitmen menjaga dan melestarikan budaya, moral-etis dan religious bangsa.
Salam persaudaraan, salam persatuan, salam bhineka Tunggal ika, salam Pancasila.