“Letakan harapanmu pada belaskasih Allah dan Cinta Kristus; katakan setiap saat sambil memandang SALIB: Di sana pusat semua harapanku…”
(St. Paulus dari Salib, 1694 – 1775)
Oleh: P. Kons Beo, SVD
Terjaring banyak selera hati
Kita terlalu banyak mau-maunya. Tak sadar sederet harapan telah kita bentangkan. “Harusnya begini, maunya begitu.” Maka jalan hidup kita tak lain adalah memenuhi kerangka harapan itu. Terlalu banyak ruang kosong yang sendiri kita telah ciptakan. Dan kita sendiri dipaksa untuk harus mengisinya. Tetapi, apakah kita sanggup tiba pada ‘isi harapan pada forma itu sepenuhnya? Tak jarang, jalan tanjak harapan dengan penuh tingkungannya mesti kita lewati.
Kita bisa saja merayap dalam aneka kesulitan. Kegelapan bisa lingkupi hidup kita. Dan bahkan kehancuran pun sudah jadi milik dan kisah kita. Di sisi seberangnya, tumpukan harapan dunia luar pun satu demi satu sudah ditempatkan di pundak kita. Dunia dan sesama punya harapan tak ringan pada kita. Maka hidup tak lebih sebatas ‘mengisi dan menjawabi harapan dunia dan sesama.’ Dan, sanggup kah kita penuhi segalanya?
Kalang kabut jalan hidup jadi nyata saat harus hadapi berondongan tanya: ‘Mana kah sumpahmu? Inikah ujung dari semua janjimu? Begini kah akhir nyata dari mimipi-mimpi indahmu di saat itu? Bagai tebar janji berbulan madu ke ujung dunia. Sayangnya, “Tapi janji tinggal janji, bulan madunya hanya mimpi.” Dan lalu tertahan mati di bibir.
Dunia nan redup penuh bayang?
Dunia tak selamanya ceriah berseri di hadapan kita. Teribarat ‘roda zaman menggilas kita, terseret tertati-tati.’ Tampaknya kita seperti di persimpangan jalan. Dikitari sejuta tanya, dan lalu bagi kita, “Entah ke mana ayunan kaki ini mesti melangkah?”
Dan kita lalu berjuang untuk ‘bangkit dan pulang.’ Tetapi, tidak ingin ke mana-mana. Tak juga kepada siapa-siapa. Sebab kita tak ingin terjebak dalam pencitraan semu; tak hendak menimbah pengakuan publik dan pujian hampa dari siapapun yang terkadang sulit ditebak ujung maksudnya.’
Mungkinkah ada kesempatan diam barang sejenak? Demi menengadah tatapi langit? Sekadar kumpulkan kekuatan, ya energi positif itu untuk kemudian kembali kepada diri sendiri? Ada yang telah disia-siakan dari diri sendiri di hari-hari silam itu.
Apa yang telah kita ‘kumpulkan sedikit demi sedikit, kini semuanya terkesan hilang lenyap. Seperti tak tersisa lagi.’ Dan kini, apakah yang dapat kita banggakan? Sekadar kejayaan masa silam yang perlahan jadi puing tergerus dalam waktu? Diri kerap diadili dalam dua kata penuh sesal, “Tahu begitu…..”
Sebuah titik balik penuh harapan
Tetapi, haruskah kita mesti tak tersisa sama sekali? Kata-kata bertuah ingatkan, “Salah satu respon yang kreatif terhadap kehilangan adalah tetap berharap, bahkan pada saat kita mengalami kehilangan dan kesulitan.” Segelap apapun yang memblokir di hadapan sana, selalu terdapat horison harapan yang mesti tersingkapkan.
Tentu benarlah Henri Nouwen, “Yang tidak punya harapan akan masa depan tidak akan dapat hidup secara kreatif di masa kini.” Kisah ziarah hidup setiap kita belumlah berakhir. Kita adalah insan sejarawi yang masih saja terbuka pada pada kisah-kisah kehidupan dalam berbagai kemungkinan tak terbatas. Sebab itulah, “Aku tidak pernah menjadi orang istimewa, yang punya kisah keseluruhan dan lengkap tentang siapakah aku ini.”
Setiap kita tetaplah ‘berdebu dan rentan.’ Benarlah, jika sekiranya kita tak berani hadapi kerentanan penuh debu, kita mudah terperangkap dalam penjara ‘tipu diri sendiri yang paling keji.’ Kita sering tergoda untuk bersibuk kata, seperti tak pernah puas dan terus saja berselancar tentang ‘kerentanan dan debu tanah punya sesama’ sambil berilusi bahwa seolah-olah ‘kitalah yang istimewa dan terbentuk seluruhnya dari logam mulia surgawi.’
Selembar Harapan kita tenun dalam iman
Karenanya, harapan itu tak pernah boleh pudar dan dibikin redup. Betapapun kerasnya kehidupan di kefanaan ini. Di alam kenestapaan dan jatuh dalam kegetiran hidup, memang terdengarlah riuh suara ‘gembira bertepuk tangan’ di sisi kiri. Namun, sekeras dan sederas apapun ‘gelak tawa’ dan tepuk tangan di sisi kiri itu, bagaimanapun di sisi kanan, selalu ada ‘tangan-tangan sunyi’ yang menarik kita kembali untuk beharap.
Marilah kita berpasrah dalam iman, bahwa di atas segalanya, “Di dalam Kristus, seluruh cerita setiap kita, mulai saat kelahiran hingga pada kematian, diangkat ke dalam hidup ilahi.”
Rasul Paulus berseru penuh peneguhan, “Dalam segalanya kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan namun tidak binasa” (2 Korintus 4:8-9). Tangan Tuhan selalu menyertai…..
Kita tetap percaya pada DIA yang hidup dan menghidupkan harapan di dalam diri dan pada jalan hidup setiap kita. Bahkan dalam derita, dan kematian di SALIB, tetap terpantul harapan penuh berkah. Ya, di dalam DIA dan bersama DIA, sesungguhnya kita tak bakal mati di dalam hidup…
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma