“Saya tidak pernah takut akan hari esok, sebab saya telah melihat hari-hari kemarin dan saya sungguh mencintai hari ini” (William Allen White, politisi-penulis, Amerika, 1868 – 1944)
Oleh: Pater Kons Beo, SVD
Jokowi di titik akhir kekuasaan
Jokowi ingin lanjutkan aura kekuasaannya? Itulah yang diyakini publik akhir-akhir ini. Arus sinisme sudah menderas. Gelombang hujatan telah pula bermuncratan. Argumentum dari semuanya dipadatkan dalam satu diktum: Dinasti Keluarga.
Jokowi, Gibran, Kaesang, dan Anwar Usman sudah digiring ke penjara publik yang marah. Sungguh ada yang tak beres. Namun, sebenarnya juga, tak mudah memang bagi para ‘pemuja Jokowi’ untuk harus bertarung menistakannya sejadi-jadinya. Bagaimanapun, tetap saja ada keresahan publik.
Arus politik memang cepat berubah isi dan arahnya. Yang langgeng tetaplah kepentingan yang harus diusung dan tak boleh dikandaskan. Jokowi yang diharapkan bermuara pada glorious and happy ending dari kekuasaan, ternyata dituding telah bermain api yang justru bisa hanguskan citra dirinya serta partai pengusungnya (PDIP).
Ke manakah arah perahu politik?
Apakah yang sebenarnya ada di hati dan benak Jokowi? Iya, hanyalah Jokowi sendiri dan orang-orang di lingkaran terdekatnya yang tahu. Benarkan Jokowi sekian kerdil hati dan otak untuk tak sanggup membaca suara dan keinginan publik?
Tetapi, adakah yang tak sedap di dalam PDIP sendiri, yang bikin Jokowi tak nyaman? Hadiah demi hadiah indah yang didapat Jokowi (keluarga) sejak dari Solo trus ke Balai Kota DKI Jaya hingga bermuara di Istana Negara mungkin saja harus dibayar dengan saat-saat sulit dalam perelasian intern Partai? Mungkin itulah yang bakal tak boleh dialami oleh Gibran dan Kaesang di hari-hari mendatang. Karenanya, biarlah diambil ‘jalan terbaik.’
Mari kita berandai di pojok lain. Dengan semua ini, adakah Jokowi tak lagi berdharma demi Tanah Air? Tak bermimpi akan Indonesia yang mesti hidup damai, maju dan sejahtera? Mungkinkah Jokowi tak inginkan Indonesia yang selamanya pancasila-is? Sulit untuk mengatakan: Jokowi mulai jauh melebar dari segala niat luhur itu. Apalagi mengkhianatinya.
Demi Tanah Air
Di tatanan kata-kata (entah dalam hati juga demikian?), wacana tiga periode telah ditolak Jokowi. Itulah tanda kecintaannya demi alam Indonesia yang damai. Daripada, andai sebaliknya dipaksakan, itu bisa jadi celah alasan untuk bikin onar situasi dari kelompok-kelompok ‘penumpang dasar’ untuk hal-hal khaos seperti itu.
Sungguh tak terbantahkan bahwa secara fisik, betapa Jokowi telah berjasa demi pembangunan bangsa dan tanah air. Namun, yakinlah, Jokowi tentu sadar bahwa hanya berfokus pada pada pembangun fisik-infrastruktur tak pernahlah cukup. Indonesia yang belum tertata indah dalam ‘mental spiritual’ sebagai bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu: Indonesia, selalu ada dalam tantangan.
Di sisi seberang sana, telah menanti barisan sakit hati untuk menanti Jokowi ‘pulang sebagai rakyat kebanyakan.’ Tak boleh dilupa pula begitu saja akan kelompok-kelompok radikal ‘mudah menyalah’ dengan para mentornya, yang telah dengan tegas dibubarkan di era Jokowi.
Jokowi pasti tak kehendaki bahwa segala capaian selama ini harus diasapi oleh, misalnya, ideologi khilafah yang menggantikan dasar negara Pancasila.
Menebak-nebak Jokowi
Marilah tetap menebak-nebak, walau dianggap sebagai pengandaian picisan murahan dan teramat sederhana. Mungkinkah seokian nekatnya Surya Paloh-Nasdem di awal-awal kemarin itu untuk segera layangkan Anis Baswedan, agar di ‘mantan gubernur rasa presiden itu’ janganlah bergerak mudah untuk didekati dan mendekati ‘segala lingkaran dan arus garis keras non Pancasila’? Bukankah hal ini juga ‘untungkan’ Jokowi sebagai Presiden, agar Anis Baswedan bisa dikendalikan?
Dan lagi? Jangan-jangan ada maksud politis Jokowi agar Kaesang sepertinya dikarbitkan ke PSI dan bahkan begitu mudahnya didaulat jadi Ketua Umumnya. Jangan-jangan, misalnya saja, agar ‘partai kecil ini’ jangan jadi unsur kontra produktif yang rugikan PDIP. Setidaknya, orang seperti Ade Armando cs dapat ‘dihadang dan ditertibkan sebisanya.’
Dan kini, Gibran Rakabuming Raka. Si sulung Jokowi itu sudah direstui untuk merapat serius ke Prabowo. Ketukan palu Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, paman Gibran, sudah jadi terusan bebas hambatan menuju kekuasaan. Publik mencecar sinis.
Bila ditebak, lagi-lagi seadanya, apakah semuanya ini sungguh untuk halangi agar Prabowo (yang sunguh ambisius minta rakyat untuk ‘kita berkuasa’) agar tak sekian leluasa untuk aktifkan kembali kekuatan kelompok garis keras non Pancasila?
Masuknya Gibran (juga dalam artian Gibran kolektif), adalah gerak kuda troya yang bikin tak nyaman orang-orang seperti Fadli Zon dan orang-orang yang seaura dengannya untuk tak ‘nyaman bersuara.’ Apakah dengan itu Prabowo dijarak-lebarkan dari semua pihak yang berbau pro Khilafah?
Ganjalan politik?
Bagaimanapun, yang jadi soal krusial adalah terkangkangnya citra Mahkamah Konstitusi (MK) yang sepertinya muluskan Gibran. Dan bukan tak mungkin ini jadi ‘kenikmatan yang membawa benturan buat Jokowi serta Prabowo sekaligus. Ini juga bisa menjadi alasan untuk potensi keonaran di hari-hari mendatang. Dan bisa saja, inilah kesempatan emas Anis Baswedan dan timnya dapatkan efek durian runtuh politik yang entah bagaimana harus dimanfaatkan ala terpelesatnya lidah Ahok di Pilkada DKI 2017 itu.
Jika Mahkamah Konstitusi sudah ditunggangi demi Politik Dinasti, mengapakah, misalnya Politik Identitas mesti diributkan? Bisa saja Anis Baswedan bakal ngeles, “Kenapa sekian ngotot dengan Politik Identitas? Urus tu Politik Dinasti, sana!” Yakinlah, tim Anis-Cak Imin kini lagi merancang strategi demi menggapai kekuasaan.
Di titik inilah manuver politik Jokowi amatlah riskan. Tetap terstigma sebagai dosa politik yang berbau anyir, walau dipaksa untuk mengerti dalam ‘keuntungan demi Bangsa dan Tanah Air.’ Mungkinkah Anis Baswedan dan Cak Imin pun Ganjar Pranowo dan Prof Makhmud, dapat keuntungan dari semuanya?
Mungkinkah risiko berbuah manis?
Tetapi, akan kah di suatu hari dan saatnya nanti, mayoritas pada menepuk dada bahwa ternyata dalam keputusan politik ini tersimpan aura felix culpa, sebuah salah yang membahagiakan? Yang mesti diambil agar tidak berakibat lebih apalagi teramat riskan bagi tatatan yang lebih luas.
Terdengar lagi satu komen lepas! Sepertinya Jokowi lagi berpolitik dua kaki. Sekiranya Prabowo menangkan Pilpres 2024 ini pasti ada untungnya buat Jokowi; Jika yang menang adalah Ganjar Pranowo, Jokowi bakal tak buntung pula. Lain ceritanya jika Anis Baswedan yang unggul. Jokowi bakal puntung serius. Sebab harus berhadapan dengan ‘orang yang pernah dianggapnya tak sanggup pimpin kementerian dan daerah. Dan kini harus memimpin negeri seluas Indonesia?’
Kedaulatan tetap pada rakyat
Bagaimanapun yang mesti serius dipikirkan dan disikapi oleh seluruh tumpah darah Indonesia adalah bahwa bangsa dan negara ini harus tetap bermartabat dan berdaulat.
Apapun segala manuver penuh zig-zag para politisi, toh rakyatlah yang memutuskan. Penuh hati-hati, berani dan bijak. Yang ditata dalam rangkaian kata-kata ini, toh hanyalah tebak-tebakan. Seadanya…
Collegio San Pietro – Roma