“Tanpa adanya rasa syukur di dalam hidupmu, maka hidupmu terasa sulit dan dipenuhi dengan segala keluh kesah” (Anonim)
Oleh: P. Kons Beo, SVD
Syukur: Nada dasar hidup
Tak ada alasan sedikitpun untuk ‘tak bersyukur.’ Hidup tak terawali sebagai hak dan keharusan bahwa ‘aku mesti hidup.’ Hidup adalah berkat. Itulah karunia yang kita terima dari Tuhan dan yang menjadikan kita ‘ada dan berdaya.’ Segalanya hanya atas kasihNya. Hanya atas kehendakNya.
“Jika ziarah hidupku adalah pintalan-pintalan kisah demi kisah, maka aku tinggal menenun semuanya sebagai lembaran penuh syukur dan terima kasih.” Namun, barangkali saja di keseharian kita telah terlarut dengan ‘yang itu-itu saja.’ Rutinitas lantas tak menuntun kita demi menatap lebih dalam pada tapak-tapak keseharian dan lembaran-lembaran kisah yang terjadi.
Syukurilah bahwa kita masih tetap bernafas. Ada sesama yang ucapkan ‘selamat pagi.’ Ada kata-kata penuh harapan dan berkat yang terdengar. Kita masih bisa asyik bersama-sama nimbrung dalam ngobrol, pun jalan-jalan bareng. Kita masih dapat ‘baku ambil kata’ dalam serunya saling berkomentar berlawanan di saat El Clasico El Real vs El Barca tersajikan. Kita bisa keasyikan dalam membaca dan menulis. Kita nikmati indahnya pemandangan pantai dan derunya gemuruh ombak. Kita menggapai ketinggian suatu dataran demi menyapu pandangan ke segala lembah dan ngarai. Tidak kah kita patut bersyukur atas semuanya?
Belajar hargai kisah hidup
Untuk kisah-kisah itu, si bijak ingatkan, “Kita memerlukan mata untuk melihat dan hati untuk menghargai apa yang dialami dan diberikan kepada kita.” Bila kita rendah hati untuk merunduk teduh, kita pasti pasrah mengakui bahwa diri dan jalan hidup kita pun dimeterai oleh ‘kisah-kisah penuh kejutan.’ Artinya?
Kita dapatkan apa yang tak pernah kita duga. Kita pun menerima sesuatu yang nampak sebagai privilese di luar kepantasan dan kelayakan kita di mata dunia. Hidup bagi kita bisa jadi terlihat bagai parade dari berbagai ketidakmungkinan namun sesungguhnya nyata.
Tetapi kita tentu bukanlah penentu dan pemilik berbagai kepastian nan mutlak. Kita tetap menjadi ‘manusia penuh keheranan’ yang dibayangi kejutan yang sungguh tak diduga’ (cf Lukas 1:29). Kita tahu akan segala irama dan kisah hidup kita yang bergelombang dan sering tak berarah pula. Yang tetap dipagar tanya, “Siapakah aku ini dan mungkinkah hal itu bakal terjadi?” (Lukas 1:34).
Tetap berarti dan berharga di mata Tuhan
Namun, di atas segalanya, bukankah kita tetap menangkap ‘Suara Sang Kesunyian’ yang meneguhkan, “engkau tetap berharga di mataKu?” (cf Yeremia 43:4). Kesangsian dan kecurigaan dunia diteduhkan oleh Kasih Agung yang tak bersyarat (cf Kisah Para Rasul 9:13-15).
Tentu, semuanya tak berarti bahwa kita pasti selalu nikmati alam dan situasi serba teduh. Tidak! Toh dalam hidup, siapapun kita pasti tak luput dari situasi ‘tindasan, habis akal, teraniaya, dihempaskan’ dalam berbagai caranya. Namun, segala suasana suram itu tak bermuara pada ‘alam keterjepitan, keputus-asaan, sebatang kara, kebinasaan’ (cf 2Korintus 4:8-9).
Sebab itulah, mari kita perlipatgandakan rasa syukur dan terima kasih. Rasa syukur menuntun kita pada relasi yang sehat dan ceriah dengan sesama. Dalam rasa syukur penuh ketulusan ditampakkan ‘martabat manusia kita yang manusiawi.’ Kita yang rapuh dan minus diteguhkan oleh kemampuan dan kelebihan sesama yang tak kita punyai. Pun di garis hidup sebaliknya, saat kita, setidaknya, bisa menjadi jawaban dari harapan sesama. Namun, apakah semua rasa dan irama kehidupan berjalan sekian indah?
Mengeluh: Benang kusut di hati
Si Bijak nasihati para muridnya yang bertanya tentang apa resep hidup sehat dan sewajarnya. “Berhentilah mengeluh!,” jawab si bijak. Mengeluh adalah ungkapan rasa hati tak pernah puas, tak pernah cukup. Kita keluhkan yang tak wajar tentang sesama. Sebabnya?
Iya, dari sesama itu, yang selalu dan tetap saja kita bidik adalah segala yang kita ‘anggap kurang.’ Rasa penuh keluhan semakin menebal, saat kita terlanjur takhtakan diri sendiri di level superior di segala lini. Dan kitalah penguasa mutlak kebenaran dan kesalehan. Ini baru tentang keluhan mengenai sesama.
Tidakkah ada pula keluhan tentang ‘kurang ini dan kurang itu?’ Hati yang gelisah pasti memotong jalan menuju rasa syukur. Keinginan untuk serba ‘lengkap dan tersedia’ acap kali terlalu sensitif patologis akan apa yang dianggap kurang.
Gelisah menyergap
Mengenai rasa hati penuh kuatir akan harta dunia dan ‘cinta uang serta memburunya’ (cf 1Tim 6:10), Yesus ingatkan para murid dan para pendengarNYa untuk tak terjebak dalam ketamakan dan kegelisahan (cf Matius 6:25; Lukas 12:15). Maka?
Selayaknya kita kembali ke rasa penuh syukur dan terimakasih. Sekecil dan sesederhana apapun apa yang dialami, hati memang mesti terlatih untuk ungkapkan ‘alhamdulilah.’ Dari sesama, tak usahlah terlalu banyak ‘memaksa, mendesak, menuntut’ agar sejalan dan serah dengan kemauan hati kita yang terkadang ada ‘eror dan tidak masuk akalnya’ pula.
Akhirnya…
Maka, apa yang kita alami, apa yang kita miliki, apa yang jadi bakat dan kemampuan, semuanya itu “syukuri apa yang ada…..” Bahkan atas segala ketidakhebatan, kekurangan serta keterbatasan, kita ucapkan ‘rasa syukur’ agar kita dapat belajar rendah hati, dan dapat belajar dari keutamaan yang dimiliki orang lain.
Tidakkah pengalaman serba terbatas yang kita alami itu patut disyukuri sebab hal itu bisa menjadi titik tolak untuk kita berkreasi dan bertindak alternatif. Tetapi juga bahwa dalam situasi yang serba terbatas itu, kita semakin belajar apa artinya berjiwa solider dengan saudara-saudari yang tertati-tati dalam hidup, dalam situasi penuh ketidakberuntungan. Iya, kita bersolider dengan dunia yang terluka.
Itulah satu rasa syukur yang menuntun kita untuk bertransformasi dan lalu berpassingover, beralih menuju dunia yang tercabik oleh sekian varian ketidakpastian.
Bukankah demikian?
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma