(Sebuah Catatan Kritis)
Oleh: Stefanus Jelalut
Koordinator Pendamping Profesional Kecamatan Kuwus
Negara bukan broker, melainkan regulator. Kewajiban negara adalah menghadirkan keadilan bagi warganya melalui implementasi regulasi yang ditetapkannya.
Plato, seorang Filsuf populer Yunani Kuno, pernah menggagaskan bahwa negara itu sendiri adalah perwujudan dari keadilan.
Keadilan itu diterjemahkan melalui pemenuhan multi-sisi hak warga negaranya.
Konsep filsuf tersebut seiring dengan tujuan dan cita-cita bernegara kita, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yakni mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Kehadiran Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 merupakan produk regulasi strategis dan berpengaruh signifikan dalam mewujudkan keadilan dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Bahwa pembangunan dan pemberdayaan itu bukan hanya monopoli warga negara yang hidup di kota, tetapi juga milik sesama saudara bangsa di desa.
Tanpa ada desa, tidak mungkin ada negara. Desa merupakan sine qua non sebuah negara. Bahkan desa adalah miniatur sebuah negara.
Agak pelik membayangkan sebuah negara tanpa mengakui legitimasi sebuah pemerintahan desa.
Kemajuan sebuah negara sangat dideterminasi oleh kemajuan desa-desanya.
Kebijakan Pemerintahan Jokowi sejak Tahun 2015-sekarang dengan sudah menggelontorkan ratusan triliun Dana Desa yang bersumber dari APBN merupakan kebijakan yang sangat rasional dan pro-desa yang patut diapresiasi.
Demikian pun, Kementerian Desa, PDTT sebagai lembaga kementerian teknis yang sangat loyal meracik, mendesain dan menetapkan pelbagai kebijakan dan regulasi operasional pengelolaan Dana Desa sangat pantas diapresiasi.
Kehadiran Dana Desa mensinyalir adanya pemahaman dan perwujudan kebijakan ekonomi dan politik anggaran dalam bingkai spirit membangun bangsa dari desa.
Peluang Dana Desa dalam Kerangka Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Pertama, Desa sebagai Subjek Pembangunan
Pada masa Orde Baru yang cenderung represif dan subversif, desa lebih diposisikan sebagai objek pembangunan.
Tata kelola desa kala itu lebih birokratis, sentralistis dan uniformistis. Alhasil, ruang kreasi dan inovasi aparatur desa dipasung. Desa hanya menjadi penonton pembangunan.
Kepala Desa hanya semacam simbol adanya pemerintah desa yang hanya menyelesaikan tugas-tugas administratif, memfasilitasi dan menerima tamu-tamu penting dari pemerintah kecamatan, kabupaten dan propinsi.
Nyaris tidak ada anggaran yang dikelola oleh desa. Namun, setelah adanya kebijakan Dana Desa yang ditopang payung hukum UU Desa, desa sungguh-sungguh ditempatkan sebagai subjek pembangunan.
Dengan disokong anggaran Dana Desa, desa yang menjadi entitas otonom memiliki hak membangun dan memberdayakan dirinya sesuai dengan kewenangannya tanpa dintervensi oleh pihak manapun.
Desa sungguh-sungguh menjadi aktor pembangunan itu sendiri, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pelaporan dan Pertanggungjawaban.
Pada titik ini, aspek partisipasi aktif-kolaboratif, krititis, kreatif dan inovatif sangat mendapat aksentuasi yang sangat esensial.
Dengan demikian, masyarakat desa tidak teralienasi dari konsep dan pelaksanaan pembangunan itu sendiri, tetapi sungguh menjadi bagian yang sangat urgen di dalamnya.
Kehadiran Dana Desa mengafirmasi pernyataan bahwa pembangunan itu bukan hanya milik kaum berduit (kapitalis), para politisi, pemerintah tetapi juga milik masyarakat di desa.
Kedua, Optimalisasi Pembangunan dan Pemberdayaan Berbasis Potensi dan Masalah
Pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan itu mesti kontekstual. Ada dua pendekatan pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan dalam aras ini, yakni pendekatan berbasis potensi dan masalah.
Kehadiran Dana Desa memberikan space yang strategis dan optimal bagi terwujudnya pendekatan tersebut.
Setiap tahun desa menyelenggarakan forum musyawarah desa sebagaimana diamanatkan UU Desa nomor 6 Tahun 2014 dan Permendes Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Dalam musyawarah desa inilah masyarakat akan menyampaikan aspirasi terkait potensi-potensi dan kompleksitas persoalan yang ada di desa.
OPotensi dan persoalan tersebut kemudian direncanakan untuk digarap dan diselesaikan melalui pengelolaan Dana Desa berdasarkan skala prioritasnya.
Pada titik ini, Dana Desa menjadi penopang optimalisasi penyelesaian kompleksitas persoalan di desa seperti; persoalan kemiskinan, infrastruktur publik-desa, pendidikan, kesehatan, ekologi dan persoalan-persoalan lainnya.
Demikian pun, potensi-potensi yang ada di desa bisa digarap dan dikelola dengan mengoptimalkan peran Dana Desa.
Tentunya perencanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa yang berbasis potensi dan masalah itu dilegitimasi oleh adanya dokumen-dokumen perencanaan desa baik RPJMDes maupun RKPDes.
Selain melalui musyawarah desa, ada dua instrumen yang ditetapkan kementerian desa untuk menjamin pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat berbasis potensi dan masalah, yakni pendataan dan konsolidasi data SDGs dan IDM.
Melalui dua instrumen itu, desa bisa memetakan seluruh potensi dan permasalahan yang ada di desa.
Pada gilirannya, desa bisa menjadikan rekomendasi dari hasil pendataan itu sebagai basis perencanaan pembangunan dan pemberdayaan di desa.
Dengan demikian, Dana Desa sungguh dikelola sesuai konteks secara optimal.
Ketiga, Adanya Pergerakan Kemajuan Desa
Dana Desa memainkan peran penting dalam menjamin pergerakan kemajuan desa dalam aneka ranah.
Sejak bergulirnya Dana Desa sejak tahun 2015-sekarang ada penurunan secara signifikan status Desa Sangat Tertinggal (13.453 desa tahun 2015 menjadi 4.982 desa tahun 2022) dan Desa Tertinggal (33.592 desa tahun 2015 menjadi 9.584 desa tahun 2022).
Lalu, ada lompatan tajam status Desa Berkembang (22.882 desa tahun 2015 menjadi 33.902 desa tahun 2022), Desa Maju (3.608 desa tahun 2015 menjadi 20.249 desa tahun 2022) dan Desa Mandiri (174 Desa desa Tahun 2015 menjadi 6238 desa tahun 2022).
Status desa tersebut merupakan hasil dari pengukuran Indeks Desa Membangun yang diukur dari tingkat ketahanan ekonomi, sosial dan ekologi.
Pergeseran status desa tersebut tidak terjadi begitu saja tanpa kontribusi Dana Desa.
Melalui Dana Desa, desa bisa membangun dan memberdayakan desanya, baik pembangunan fisik maupun non fisik.
Dalam konteks ini, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kebijakan anggaran Dana Desa merupakan ikon penunjang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa yang layak dikenang sepanjang peradaban bangsa kita ke depan.
Keempat, Konstruksi Peluang Kerja Baru
Dana Desa berada dalam satu bingkai dengan keberadaan Tenaga Pendamping Profesional (TPP). Tidak ada Tenaga Pendamping Profesional tanpa ada Dana Desa.
Demikian pun sebaliknya. Keduanya berada dalam kerangka relasi resiprokal. Dalam hal ini, keberadaan Dana Desa secara inheren justru menciptakan peluang kerja yang sangat besar bagi warga bangsa.
Di samping itu, Dana Desa bisa mengkreasi peluang kerja baru di desa melalui adanya pembentukan dan pengembangan BUMDes/BUMDesMa, pengembangan usaha ekonomi produktif, penyerapan Harian Orang Kerja (HOK) dalam pekerjaan fisik dan lain sebagainya.
Dengan adanya konstruksi kesempatan kerja baru, maka kita bisa menarik konklusi bahwa Dana Desa memberikan sumbangsih dalam mengatasi dan mengurangi angka pengangguran di negara ini.
Kelima, Pengentasan Masalah Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu akar pemicu utama munculnya beragama persoalan lain di desa. Boleh dibilang, kemiskinan menjadi rahim lahirnya aneka persoalan, seperti persoalan kesehatan (stunting), sosial (kejahatan kriminal), ekonomi (daya beli rendah), pendidikan (putus sekolah, prestasi akademis rendah), lingkungan (kawasan desa kumuh) dan masih banyak persoalan lainnya.
Kehadiran Dana Desa melalui pelbagai geliat praktis pembangunan dan pemberdayaan di desa berkontribusi besar dalam mengurangi dan menyelesaikan persoalan kemiskinan tersebut.
Pengentasan masalah kemiskinan di desa berimpllikasi pada menurunnya angka kemiskinan secara nasional.
Menurut Data BPS, angka kemiskinan dalam skala nasional per Maret 2015 sebesar 11,22% dan per Maret 2023 menjadi 9,36%.
Data tersebut memperlihatkan bahwa sejak awal bergulirnya Dana Desa sampai sekarang, ada tren penurunan angka kemiskinan bangsa kita.
Tanpa mengabaikan faktor-faktor yang lain, Dana Desa menjadi salah satu kebijakan anggaran yang memainkan peran strategis dalam menurunkan angka kemiskinan itu.
Pada poin ini, keberadaan Dana Desa telah selaras dengan salah satu tujuan prioritasnya, yakni menanggulangi persoalan kemiskinan, di samping meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup dan layanan publik di desa.
Tantangan Pengelolaan Dana Desa
Pertama, Keterbatasan Sumber Daya
Kehadiran Dana Desa yang bertujuan untuk membangun dan memberdayakan masyarakat desa sesuai kewenangannya tidak serta merta tanpa tantangan di desa.
Keterbatasan sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia menjadi salah satu tantangan serius dalam pengelolaan Dana Desa.
Pertama, Tantangan Sumber Daya Alam
Dalam kegiatan pembangunan fisik infrastruktur, misalnya, adanya banyak desa yang tidak memiliki material lokal (pasir dan krikil) di desanya.
Oleh karena itu, kebutuhan material tersebut mesti didatangkan dari luar desa dengan harga yang mahal.
Kemudian, masalah lahan dan pembebasan lahan menjadi tantangan tersendiri. Dana Desa bisa digunakan untuk membangun gedung PAUD desa, gedung poskesdes, gedung posyandu, gedung Rumah Desa Sehat dan lain-lain.
Namun, peluang tersebut sulit direalisasikan karena tidak ada tanah desa untuk membangunnya.
Masyarakat desa pun enggan memberikan dan membebaskan lahannya untuk pembangunan infrastruktur layanan publik dasar tersebut. Kedua, Sumber Daya Manusia.
Praktik good governance tidak mudah dijalankan di desa karena keterbatasan SDM di desa.
Sistem administrasi dan penatausahaan pengelolaan keuangan sesuai standar regulasi masih harus dibenahi.
Masih banyak aparatur desa yang belum memadai dalam menguasai teknologi digital.
Sementara, sistem pengelolaan keuangan desa mulai dari penyusunan dokumen perencanaan (APBDes) sampai pada pelaporan dikerjakan dalam bentuk aplikasi Sistem Keuangan Desa (Siskeudes).
Karena keterbatasan kemampuan itu, mereka membutuhkan waktu yang cukup lama untuk meng-input data-data ke dalam format aplikasi, bahkan terpaksa harus menyewa jasa pihak lain untuk menyelesaikannya.
Tantangan SDM yang lain adalah keterbatasan kemampuan desa untuk membaca dan menggarap potensi kegiatan pemberdayaan di desa.
Alhasil, penggunaan Dana Desa lebih banyak dialamatkan pada pembangunan fisik infrastruktur.
Proporsionalitas antara kegiatan pembangunan dan pemberdayaan kurang terjaga.
Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah masih terbatasnya kemampuan aparatur desa untuk memahami tugas dan fungsi pokoknya seturut Permendagri nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
Kedua, Dependensi pada Kebijakan Anggaran Dana Desa
Target jangka jauh dari kehadiran Dana Desa adalah untuk menciptakan kemandirian desa.
Salah satu indikator desa mandiri adalah bahwa desa tersebut memiliki Pendapatan Asli Desa yang cukup untuk membiayai anggaran belanja kegiatan di desa.
Namun, tampaknya, masih banyak desa yang belum memiliki pendapatan asli desa.
Ketergantungan desa terhadap Dana Desa sebagai sumber pendapatan transfer terbesar di desa sangat tinggi.
Bahkan ada tendensi intensionalitas Kepala Desa untuk menjadi Kepala Desa karena didorong oleh keinginan politik kekuasaan yang kuat untuk mengelola Dana Desa tanpa memiliki kemampuan mumpuni untuk bagaimana menghasilkan dan mendatangkan pendapatan Asli (uang) di desa.
Ketiga, Korupsi Dana Desa
Korupsi di negeri ini kian menggurita dengan aneka macamnya dan menyusuri lorong-lorong lembaga, bahkan sampai masuk ke desa. Tidak sedikit Kepala Desa yang terjebak dalam skandal korupsi Dana Desa.
Sepertinya, kehadiran UU Desa yang memberi ruang desentralisasi ekonomi ke desa, justeru membuat penyakit sosial tersebut ikut terdesentralisasi ke desa.
Tentu ini merupakan masalah moral pemimpin yang menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaan Dana Desa.
Peran Strategis-Advokatif Tenaga Pendamping Profesional
Berkenaan dengan tantangan tersebut di atas, Tenaga Pendamping Profesional (TPP) diharapkan dapat memainkan peran kritis-advokatifnya.
TPP diharapkan berikhtiar terus menerus untuk memperkuat kapasitas desa dalam mengelola Dana Desa sesuai kewenangan dan regulasi yang berlaku.
TPP juga mesti berada di samping desa untuk bersama-sama membaca potensi dan permasalahan di desa.
Dengan demikian desa bisa mengelola Dana Desa secara inovatif, efektif, efisien, tepat guna dan tepat sasar sesuai konteks potensi, permasalahan dan kebutuhan mendasar di desa.
Lalu, TPP diharapkan dapat mendorong desa (pemerintah desa) untuk menginternalisir dan merealisasi prinsip-prinsip yang sangat substansial dalam pengelolaan Dana Desa, seperti; transparansi, akuntabilitasi, resposibilitas, partisipatif, taat hukum dan taat azas pengelolaan keuangan desa.
Bila beberapa nilai ini dijunjung tinggi dalam pengelolaan Dana Desa, maka peluang desa untuk menilep Dana Desa bisa diminimalisasi dan dihilangkan.
Produk UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, yang disertai dengan kebijakan anggaran Dana Desa sungguh memberikan rasa keadilan dan kemerdekaan bagi warga negara yang hidup di desa.
Betapa tidak, dengan adanya UU tersebut, paradigma pembangunan desentralistik sangat dirasakan oleh desa, yakni bahwa desa memiliki otonomi untuk mengatur, mengurus dan mengelola sendiri Dana Desa sesuai kewenangannya.
Dengan demikian, kue pembangunan itu tidak terpusat pengelolaannya di kota-kota tetapi juga dirasakan di desa-desa. Warga desa sungguh mengalami pergeseran posisi dan sudut pandang dari “objek” menjadi “subjek” pembangunan di desa.
Desa memiliki peluang yang sangat stategis untuk membangun dan memberdayakan dirinya sesuai konteks potensi, permasalahan dan kebutuhannya dengan mengedepankan aspek perencanaan partisipatif-kolaboratif.
Diharapkan kehadiran Dana Desa dapat mengatasi dan menyelesaikan komplesitas persoalan di desa, terutama persoalan ekonomi (kemiskinan), sosial, dan lingkungan hidup.
Dengan demikian, lambat laun semua desa di Indonesia bertransformasi menjadi desa maju dan desa mandiri di kemudian hari.
Bila semua desa mengalami kemajuan dan kemandirian maka dependensi terhadap Dana Desa semakin berkurang.
Saat ini, Dana Desa masih sangat dibutuhkan karena persoalan kemiskinan di desa belum diselesaikan secara tuntas.
Prosentase angka kemiskinan secara nasional sebesar 9,36%. Diharapkan Dana Desa masih menjadi salah satu kebijakan politik anggaran yang layak diandalkan untuk menurunkan angka kemikisnan tersebut.
Benar bahwa ada tantangan-tantangan dalam pengelolaan Dana Desa seperti keterbatasan sumber daya, ketergantungan desa pada Dana Desa dan penyelewengan Dana Desa.
Tantangan-tantangan tersebut mesti diletakkan sebagai point pembelajaran bersama untuk diselesaikan dan diatasi secara bersama-sama pula.
TPP diharapkan menjadi garda terdepan untuk mendorong pelaksanaan tata kelola desa sesuai amanat UU Desa.