Oleh: Wilfridus Fon
Penulis Sedang Mengecap Pendidikan di IFTK Ledaloro, Maumere
Barangkali, judul tulisan di atas rada aneh, tapi nyata. Judul tersebut lahir dari kegelisahan penulis terkait pola laku para pemimpin di bumi Nusantara yang jauh dari makna demokrasi in se.
Pola kepemimpinan mereka telah ‘menelanjang’ makna demokrasi. Demokrasi serentak berubah kiblat, di mana idealnya menuju kebahagiaan serentak menuju kehancuran.
Alhasil, idealisme demokrasi tergerus. Berbarengan dengan itu, fitrah demokrasi pun ternodai. Begitupun dengan makna demokrasi.
Makna demokrasi tidak nampak dalam praksis demokratis. Realitas tersebut sangat memprihatinkan.
Dengan bercokol pada realitas tersebut, penulis berpendapat bahwa saat ini demokrasi telah kehilangan orientasi ideologisnya.
Karena itu, penulis, berhadapan dengan realitas yang ada, berjuang untuk menggemakan lagi makna demokrasi guna memulihkan pemimpin kita dari penyakit ‘amnesia’.
Tergerusnya Makna Demokrasi
Secara etimologis, term ‘demokrasi’ diserap dari kata Yunani yaitu demos (Rakyat) dan kratos atau kratein (Pemerintahan atau memerintah). Dengan demikian, demokrasi diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat.
Atau dalam arti luas, demokrasi berarti pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Demokrasi dilihat sebagai bentuk pemerintahan paling baik dan efektif dalam mengatur sistem pemerintahan sebab menjamin keadilan serta kebutuhan masyarakat (Beoang, 2014:ix).
Hemat penulis bahwa inilah makna luhur dari demokrasi. Namun, demokrasi kita saat ini sedang darurat. Makna luhur demokrasi sedang tergerus. Hal ini tidak terlepas dari pola laku pemimpin negeri ini. Perilaku para pemimpin kita de facto jelek dan memuakan. Tindak-tanduk mereka acap tidak mencerminkan predikat sebagai pelayan publik.
Mereka memikirkan kibijakan-kebijakan demi kemaslahatan masyarakat. Kata-kata pengabdian dan pelayanan hanya sekadar jargon politik.
Kerakusan atas kekuasaan dan kekayaan; kesenangan dan kehormatan semakin menjadi-jadi di kala menduduki tampuk kekuasaan. Alhasil, idealisme demokrasi in se yang menjamin kepentingan rakyat sekadar utopia.
Hal ini diperparah bila ego, ketamakan, dan kesombongan terus menguritai tubuh sang pemimpin. Idealisme pelayanan demi bonum communae serentak tergantikan dengan bonnum privatio.
Mereka secara bebas melakukan apa pun, termasuk tindakan despotis. Hal ini menyata dalam perilaku KKN. Korupsi semakin mengguritai. Kolusi kian menjalar.
Nepotisme makin mengakar. Mereka menghabok uang masyarakat seenak perut. Dana proyek menjadi koloni mereka. Pada aras ini, mereka tidak menyadari bahwa perilaku tersebut menjadi titik awal tergerusnya makna demokrasi.
Sangat miris! Bila Plato masih hidup, dia akan menertawakan kesombongan, kerakusan, dan ketamakan para pemimpin kita.
Para pemimpin yang mestinya memiliki andil besar dalam membebaskan masyarakatnya dari lumpur kehidupan yang kompleks, kini berubah kiblat.
Demi kebahagiaan dan harta, kebutuhan rakyat terabaikan. Kepemimpinan yang mestinya bercermin pada makna demokrasi, kini bertolak belakang. Inikah sosok pemimpin yang ideal?
Pemimpin Ideal Ala Plato
Salah satu kontribusi intelektual Plato ialah konsep pemimpin yang ideal. Namun, Plato, sebelum berbicara tentang pemimpin yang ideal, membahas terlebih dahulu tentang konsep negara ideal.
Hemat Plato, nagara ideal senantiasa menjamin kebahagian masyarakatnya. Karena itu, dalam negara yang ideal, apa pun yang dilakukan atas nama negara harus dengan tujuan untuk mewujudkan keadilan dan memenuhi kepentingan masyarakat (Pureklolon, 2020:78).
Bagi Plato, negara yang tidak menganut prinsip keadilan adalah negara yang buruk. Karena itu, sebuah negara ideal harus bebas dari para pemimpin yang rakus, tamak, somong, egois, dan jahat.
Tentu, masyarakat tidak mendambakan suatu negara yang buruk. Lalu, bagaimana caranya agar negara ideal yang digandrungi oleh Plato dapat terwujud?
Guna menjawabi pertanyaan tersebut, Plato merumuskan sebuah konsep tentang pemimpin yang ideal.
Bagi Plato, terciptanya negara yang ideal bergantung pada pemimpinya. Orang yang memimpin mesti pemimpin ideal yang cerdas, mencintai keadilan, dan mencintai kebajikan.
Pemimpin ideal yang dimaksud Plato ialah para raja filsuf (The Philosopher king). Dalam diri Philosopher king telah bertumbuh sikap bajik.
Karena itu, mereka, dalam menjalankan masa kepemimpinan, memegang prinsip amar ma’ruf nahi mungkar (Melakukan yang baik dan menolak yang jahat).
Plato, dalam bukunya yang berjudul Republic, menyatakan bahwa ada dua alasan yang mengharuskan pemerintahan dipegang oleh para Filsuf.
Pertama, para filsuf mampu mengabdi menjadi pelayan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Jika yang duduk di tampuk kekuasaan adalah mereka yang mencintai kebijaksanaan, maka mereka akan mencari kebaikan bagi masyarakat bukan kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu.
Bagi Plato, para filsuflah yang memiliki itikad luhur seperti itu sebab mereka tidak tertarik pada kehidupan profan (Ibid.,87).
Kedua, para Filsuf mampu memimpin pada saat situasi krisis. Plato menyamakan para filsuf dengan dokter yang mampu melihat penyakit dalam masyarakat, mendeteksi sedari dini, dan mencari cara menyembuhkannya.
Bagi Plato, filsuf mumpuni dalam menyelamatkan masyarakat dari kehidupan yang dipepaki oleh masalah yang kompleksitas.
Karena itu, Plato menyatakan bahwa kesengsaraan sebuah negara tidak dapat teratasi sebelum filsuf menjadi pemimpin.
Guna mencapai aras ini, sebuah negara ideal harus bebas dari para pemimpin yang rakus, tamak, somong, egois, dan jahat.
Konsep yang diwartakan oleh Plato di atas adalah ‘cemeti’ bagi para pemimin negeri ini yang rakus, maniak, bejat, egois, dan sombong.
Pandangan Plato tentang pemimpin yang ideal dipertegas oleh Peter Drucker. Dia mengatakan bahwa, “Tugas pertama para pemimpin adalah menentukan misinya.”
Karena itu, dia memproposalkan beberapa beberapa tuntutan yang seyogyannya dipenuhi oleh para pemimpin.
Pertama, memiliki perasaan iba terhadap masyarakat yang menderita karena himpitan kesulitan.
Pemimpin yang baik tidak boleh membutakan diri di hadapan realitas kehidupan masyarakat yang semakin kompleks.
Sang pemimpin mesti menjadi motor pengerak untuk membebasakan masyarakat dari cengkraman keadaan yang semakin hari makin kompleks.
Kedua, kesediaan mendengarkan. Makna demokrasi akan hilang bila para pemimpin menutup telinga bagi beragam suara yang mengungkapkan kepincangan yang sedang terjadi di dalamnya dan terhadap seruan masyarakat yang sedang merengek meminta perubahan.
Sang pemimpin mesti menyendengkan telinganya terhadap teriakan-teriakan masyarakatnya guna memuaskan dahaganya akan kebahagiaan dan lapar akan keadilan atau kesejahteraan.
Akhirulkalam, makna demokrasi kita akan semakin tergerus bila para pemimpin selalu menunjukan pola laku yang tidak berbanding lurus dengan makna demokrasi in se.
Konsep pemimpin ideal yang diwartakan oleh Plato mesti dihidupi oleh para pemimpin. Internalisasi Amar ma’ruf nahi mungkar sangat urgen demi mewujudkan idealisme demokrasi sebagai penjamin kebahagiakan masyarakat.
Mungkin negeri ini tidak menghendaki filsuf sebagai pemegang roda kepemerintahan, tapi karakter raja filsuf mesti diteladani.
Sang pemimpin adalah pelayan masyarakat. Sebagai pelayan, dia tidak mencari hormat dan kekayaan.***