Jakarta, Vox NTT- Pernyataan presiden Joko Widodo bahwa presiden dapat ikut kampanye dan memihak salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden masih menuai banyak kritikan publik.
Jika Presiden Joko Widodo ikut kampanye pasangan capres Prabowo Subianto dan cawapres Gibran Rakabuming Raka, maka hal tersebut mempertegas dinasti politik. Gibran sendiri merupakan anak kandung dari presiden Joko Widodo.
Hal tersebut ditegaskan pengajar Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa Jakarta, Dr. Edi Hardum kepada wartawan di Jakarta, Rabu (24/1/2024).
Edi menjelaskan, Pasal 299 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang membolehkan seorang presiden dan wakil presiden ikut kampanye jiwanya untuk periode kedua seorang presiden. Pasalnya, penjabaran dari Pasal 7 UUD 1945 yang membolehkan seorang presiden menjabat hanya dua periode.
Menurut Edi, Jokowi yang ikut mengkampanye Gibran sama dengan Jokowi mengkampanye untuk menjadi tiga periode bagi dirinya.
“Kalau Jokowi punya etika dia mundur dari kursi presiden menangkan anaknya Gibran. Ikut kampanye, ajak Ibu Iriana dan semua anggota keluarga,” kata Advokat dari kantor Hukum “Edi Hardum and Partners” ini.
Kalau Jokowi ikut kampanye buat Gibran tanpa mundur dari kursi presiden, ujar Edi, sebenarnya mempertegas politik dinasti.
“Negara ini bukan milik keluarga. Saya yang ikut berjuang lahirnya reformasi 1998, sedih dengan politik dinasti. Tentu, Founding Fathers menangis sedih di alam baka,” kata mantan anggota Senat Mahasiswa UGM ini.
Karena itu, Edi mendesak Jokowi segera mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI. Jabatan Presiden selanjutnya diemban Wapres KH. Ma’ruf Amin.
“Presiden harus mundur dari kursi Kepresidenan karena anak kandungnya Gibran Raka Buming Raka maju sebagai Cawapres Prabowo,” kata dia.
Dengan majunya Gibran maka apa pun kegiatan dan atau gerak gerik Jokowi dalam konteks Kepresidenan pasti, pertama, dimaknai oleh semua bawahan presiden seperti para menteri, kepala badan bahkan pimpinan Polri dan TNI serta BIN baik di pusat maupun di daerah sebagai kode atau tindakan mendukung pasangan Prabowo-Gibran.
“Memang Panglima dan Kapolri sudah berkali-kali mengatakan netral, tapi ada banyak dugaan keterlibatan oknum di lapangan, ya walaupun tanpa sepengetahuan atau aras perintah pimpinan mereka,” tegasnya.
Hal ini tentu terafirmasi dengan dugaan keterlibatan pimpinan TNI dan Polri serta penjabat bupati, pimpinan kejaksaan di sebuah kabupaten di Sumatera Utara.
“Sudah tersebar di TikTok rekaman suara seorang Kapolres yang intinya mendukung paslon 02. Kita berharap atas penjelasan resmi dari Kapolri atau minimal Kapolda Sumut soal ini,” kata Edi.
Kedua, apa pun kegiatan dan atau gerak gerik Jokowi dalam konteks Kepresidenan pasti dinilai oleh masyarakat sebagai bentuk dukungan dan kampanye untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.
“Jangan salahkan masyarakat menuduh Jokowi tidak netral. Jokowi dituduh menggunakan jabatan presiden dan kepala negara untuk memenangkan anaknya. Ini jangan tentunya,” tegas Edi.
Pelanggaran yang Nyata
Yang parah lagi sebagaimana tersebar di media sosial, kata Edi, Jokowi mengatakan bahwa dirinya boleh-boleh saja memihak salah satu paslon, yang terpenting tidak menggunakan fasilitas negara.
Menurut Edi, pernyataan Jokowi ini harus ditentang karena tanpa menggunakan fasilitas negara, seorang Jokowi tidak bisa dipisahkan dirinya dengan jabatannya sebagai kepala negara dan pemerintahan.
“Kalau Jokowi memihak dan ikut kampanye, mengapa tidak sekalian Panglima TNI dan Polri, Kepala BIN, Jaksa Agung dan semua jajaran mereka ke bawah serta seluruh ASN tidak boleh memilih dan ikut kampanye? Sikap dan tindakan Jokowi sangat membahayakan demokrasi. Jokowi seharusnya belajar dari mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang jelang kekuasaannya tidak ikut campur dalam kontestasi,” ujar Edi.
Untuk itu, kata dia, Jokowi harus segera tanggalkan jabatannya sebagai Presiden. Dengan Jokowi mundur dari jabatannya maka Jokowi konsentrasi memenangkan Gibran.
Jokowi tidak boleh menggunakan jabatan presiden dan kepala negara untuk memenangkan anaknya.
Selain Jokowi, lanjut Edi, yang harus mundur adalah Prabowo Subianto dan Mahfud MD, dan semua menteri dari parpol serta Menkominfo sebagai Ketua Projo.
“Berikan semua jabatan menteri kepada orang-orang yang tidak terafiliasi kepada parpol-parpol pendukung tiga paslon capres/cawapres. Ini demi menyelamatkan demokrasi Indonesia,” tutup Edi. [VoN]