“Orang bijak selalu menepati janji, tetapi orang paling bijak itu adalah yang berhati-hati sebelum berjanji”
(Si Bijak)
Oleh: P. Kons Beo, SVD
Tindakan itu tak datang begitu saja. Itu setidaknya yang terbaca dalam Alkitab (Injil). Ia lahir dari gumpalan rasa penuh belaskasih. Seharian orang banyak mengikuti Yesus. Tujuannya jelas. Demi dengarkan kampanye akbar tentang ‘Kerajaan Allah.’
Di temu masa sekian padat itu, tak terdengar janji-janji besar. Tak ada juga ‘omong tinggi’ nan muluk. Semuanya hanya sebatas seruan menata mental-spiritual. Katakan saja sebagai suara lembut Yesus demi sebuah ‘revolusi mental.’ Tapi, Injil juga kisahkan bahwa massa juga terperangah oleh aksi penyembuhan Yesus atas sekian banyak orang-orang sakit.
Mari kembali ke aksi ‘makan siang gratis’ ala Yesus. Iya, itu tadi, memang sungguh lahir dari kepekaan rasa teramat dalam. Tak mungkin orang sebanyak itu disuruh pulang ‘begitu saja. Sehari tak makan dan minum bisa berakibat fatal. ‘Mereka bisa rebah di jalan’ (Markus 8:3). Dan, segala yang mereka dengar dari suara Yesus pun bisa ‘hilang tak berbekas.’ Karenanya satu tindakan harus dilaksanakan. Dan di satu kesempatan lainnya?
“Kamu harus memberi mereka makan” (Markus 6:37). Itu titah Yesus bagi para muridNya. Apapun yang ada pada para murid mesti didayakan. Semuanya demi khalayak. Iya, demi ‘makan siang gratis.’ Sayangnya, anggota koalisi Yesus, murid-murid itu, tampak was-was. Penuh ragu. Itu berkaitan dengan seberapa tebal pundi-pundi anggaran.
“Roti dengan total harga 200 dinar bakal tak mungkin untuk orang sebanyak itu. Walau buat seorang hanya dapatkan sepotong saja” (Yoh 6:7). Itu semacam sangsi dari Filipus. Nada keraguan juga datang dari Andreas, “…ada lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apa artinya itu untuk orang sebanyak ini?” (Yoh 6:9).
Ini rasa penuh sangsi yang bisa dimaklumi. ‘Mau ambil uang dari mana untuk dapatkan roti dan susu gratis? Dan bagaimana harus membelinya di tempat yang sekian ‘hampa dan sunyi.’ Tetapi, toh akhirnya makan siang gratis itu tetap terlaksana. Mujizat telah terjadi. Karena kuasa Yesus, publik makan dan minum sejadinya. Malah tercatat, “masih tekumpul dua belas bakul setelah orang-orang pada makan.”
Namun, itu bukanlah ‘sisa-sisa makanan.’ Tafsirlah secara lain. Agar khalayak itu tak usahlah hanya berpikir tentang ‘laparnya sendiri.’ Dan menjadi lupa akan sesama yang lain. Katakan bahwa menjadi lupa akan generasi berikutnya. Agar janganlah ‘demi makan siang gratis, segalanya mesti tersedot sejadinya. Seolah-olah manusia itu hanya dari roti (makan gratis) saja. Toh, masih ada pojok-pojok lainnya demi kehidupan yang berimbang. Tapi, mari lanjut mencakar-cakar teks Injil.
Tindak penyembuhan masal dan ‘makan siang gratis’ ternyata punya gema populis. Bukannya Yesus tak tahu gejolak hati massa agar ia mesti didaulat sebagai Raja. Dan, tentu juga para murid – koalisi Yesus itu, yang juga mendulang simpati publik. Dan apakah yang disikapi Yesus setelah ‘tindak penyembuhan massal dan makan gratis itu?
“Karena Yesus, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia Raja, Ia menyingkir ke gunung, seorang diri” (Yoh 6:15).
Yesus, sebenarnya, sudah punya modal tebal ketenaranNya dari aksi-aksi populisNya itu. Terlalu mudah bagi Yesus untuk dipilih jadi raja, sekiranya ada pemilihan publik. Ia malah tak perlu bersusah-susah lagi dengan segala strategi untuk kembungkan jumlah simpati massa. Justru orang banyaklah yang mencari Dia. Lalu yang terjadi?
Saat orang banyak menemukanNya, Yesus justru ‘menampar’ mereka dengan kata-kata penuh tantangan. Dan Ia sungguh mengetahui motif di balik semuanya, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kamu mencari Aku, bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti itu dan kamu kenyang…” (Yoh 6:26).
Yang terlihat dan tertangkap dari Yesus bahwa Ia sedikit pun tak masuk dalam politisasi penyembuhan orang-orang sakit dan aksi makan siang gratis. Apa yang dilakukanNya sungguh lahir dari sikap penuh berbelahrasa akan nasib orang yang menderita dan akan situasi khalayak yang mencekam.
Tanah Air kini lagi menatap penuh harap akan program makan siang gratis. Yakinlah Prabowo-Gibran, dengan semua ‘perangkatnya’ telah mendesain penuh serius: Bagaimana semuanya bakal mulus dijalankan. Semuanya demi generasi anak-anak Indonesia yang sehat, kuat dan cerdas.
Prabowo-Gibran tentu telah bertolak pula dari ‘rasa penuh prihatin’ akan nasib anak-anak negeri yang ‘kurang makan, kurang susu, kurang gizi yang memadai.’ Jika memang telah terlantik, maka tumpah darah segera menanti bukti janji kampanye: Program Makan Siang Gratis.
Mari berandai di sisi lain, sekiranya Prabowo-Gibran (Presiden dan wakil) bersuara pada partai-partai Koalisi pengusung (Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, Bulan Bintang, Gelora, Garuda…) untuk berani hati berkorban demi ‘memberi mereka, anak-anak makan.’
Kini jutaan anak Indonesia tentu lagi berharap akan realisasinya ‘program makan siang gratis.’ Bersabarlah, anak-anak Negeri, hingga dilantiknya Prabowo-Gibran, jika memang tanpa sandungan berat dari gugatan seputar penuh coreng dan korengnya hasil Pilpres di tahun 2024 ini.
Tetaplah berharap untuk ‘program makan siang gratis…’
Verbo Dei Amorem Spiranti