“Aku tidak mau ada budak, maka aku tidak boleh jadi tuan. Itulah ideku tentang demokrasi” Abraham Lincoln (negarawan dan presiden ke 16 Amerika Serikat, 1809 – 1865)
Oleh: P. Kons Beo, SVD
Kita sudah menang?! Namun, atas dasar apa itu diyakini? Sekian tebal kah rasa penuh percaya diri akan hal itu? Pro kemenangan lagi bersuara lantang. Demi maklumkan dan kibarkan panji kemenangan itu. Namun, nampaknya ‘tak semudah itu.’ Ibarat tak gampang menenun lembaran kemenangan dengan benang-benang yang dianggap kusut.
Sementara itu, gaung Pilpres sarat curangnya tak sekedar gertak sambal. Pilpres 2024 ini, sepertinya sudah berlumpur penuh noda. Yang terpercik ke sana-sini. Berita bau amis tentang MK hingga geliat Pilpres 2024 ‘yang berdaya operasi samar namun terang di mata publik, tak bisa disembunyikan.
Tapi, sudahlah. Intinya menjurus ke _pasti menang._ Narasi kemenangan, di hari-hari ini, lagi mencor dan membangun argumentum faktual dan logik sebagai titik tumpuhnya. Ini penting demi ‘cari muka dan bisa ambil hati publik.’ Iya, intinya pada nalar publik yang mesti dibuat ‘tanpa kesulitan’ menerima dan mengakui kemenangan itu.
Bagi sekian banyak elit politik, yang akhir-akhir ini tampil sejadinya di publik, tentu punya intensi politis strategik. Katakan begini saja, misalnya, untuk ikuti alur pikiran _Martin Luther King, Jr_: Sukses, pengakuan dan persetujuan, itulah cara nyaman dunia modern untuk disamakan dengan kelompok mayoritas dan kelompok pemenang.
Tak boleh disia-siakan kesempatan yang perlahan telah terbuka. Sukses (kemenangan), pengakuan (KPU-MK) serta persetujuan (suara publik) sungguh diharapkan dan diperjuangkan demi segera masuk dan terbilang dalam ‘lingkaran penguasa – istana.’
Sebab itulah, amatlah dimaklumi jika perang narasi dan adu lihai dalam benturan opini mesti digencari penuh sengit dan serius. Tak perlulah panjang lebar untuk bicara soal etika-moral politik. Tema dosa itu tak ada ruang dan tempat di wadah politik. Sebab demi kemenangan, orang hanyalah konsen dalam perang strategi. Dan kini lagi menanti penetapan sah atas kemenangan.
Di hari-hari ini, ‘dulu musuh kini sahabat, dulu benci sekarang rindu, dulu kontra kini pro, dulu dihujat sekarang disanjung selangit’ diputar ulang. Namun, apalah gunanya semua itu? Sebab di alam politik toh orang sudah terlatih untuk berlicin lincah demi kepentingan. Iya, itu tadi, semuanya tentang kekuasaan dengan segala imbas kenikmatan di baliknya.
Mari kita berselancar ke gelombang Jokowi.
Tetapi, di hari-hari ini, ‘kegesitan naluri politik Jokowi juga sungguh diuji.’ Telah berjibakutainya Jokowi yang sekian menderang demi Prabowo-Gibran, itu tak sekedar untuk terus bersinarnya sebuah dinasti politik. Tidak hanya itu! Tidak juga demi kesinambungan cita-cita politik bangsa dan negara. Sebab, siapapun Presidennya, ia toh tetaplah diamanatkan oleh bangsa dan negara untuk amankan cita-cita Proklamasi.
Jelasnya?
Jokowi sebenarnya lagi bongkar pasang peta politik tanah air demi nasibnya sendiri pasca kekuasaan. Setangguh apapun nanti pengaruh Gibran, andaikan misalnya Prabowo (Presiden) mulai ‘angkat tumit’ dan ‘balik badan’ dari Jokowi, ayahnya? Maka _Soft landing_ seperti apakah yang bakal dialami Jokowi, sementara musuh-musuh politik tetap mengincar nasib akhir kekuasaannya yang ambruk?
Jokowi ingin pulang dan memang harus pulang. Haruskah ia masuk kembali ‘kandang banteng’ setelah letih sepuluh tahun _kerja, kerja, kerja_ demi kehidupan tanah tumpah darah tercinta? Akan kah dia sambut penuh ramah? Rasanya sulit juga tuh, dengan PDIP yang sudah tersulut emosi di ubun-ubun. Di laga Pilpres dan Pileg?
Sepertinya Jokowi dan PDIP punya skor 1 – 1. Jokowi rasa sudah unggul di Pilpres, dan PDIP tetap jadi juara 1 untuk kuasai Senayan. Lalu, pertandingan apalagi yang mesti dimainkan demi buktikan pemenangnya? Jokowi tentu bersyukur atas kemenangan Prabowo – Gibran. Namun? Sekali lagi….
Di mana pastinya nanti Jokowi dapat bertumpuh teduh hati. PSI pun belum menentu nasib. Lagi dikeroyok ‘rame-rame’ karena manuver lonjakan suaranya sungguh ‘sim salabim abrakadabra.’ Bahkan orang sekelas Ade Armando itu tampaknya kelabakan untuk jelaskan ‘mujizat’ melonjaknya suara PSI dengan logikanya.
Presiden Jokowi nantinya bakal dikenang sebagai Bapa yang merakyat. Dengan sekian banyak gebrakan insfrastruktur. Namun, itu tak berlaku bagi para politisi dan massa, yang masih waras pada alur sistem pemerintahan demokratis.
Kecaman serius tertuju pada Jokowi. Dianggap telah mengacak-acak kelanjutan kepemimpinan dalam bingkai Pilpres demokratis yang semestinya. Nasib Jokowi sungguh tersandera oleh perbagai ‘suara miring, pengap dan tak sedap.’
Jokowi ‘harus kembali’ ke alam umum Indonesia, dengan ekstra sebutan sebagai ‘Presiden ke 7 RI.’ Dan di hari-hari ini ‘bom waktu Hak Angket’ terus digaungkan. Kendatipun demikian?
Bisa kah Jokowi cs hadapi tuduhan curangnya Pilpres itu? Maka, inilah kesempatan politis dan yuridis bagi segenap _unsur penyelenggara Pilpres 2024_ untuk membuka mata Indonesia Raya. Bahwa Pilpres 2024 ini tak cemar penuh curang seperti yang digaungkan sebagai opini publik.
Ribut adu pendapat di Senayan jauh lebih berwibawa ketimbang suara jalanan yang nampaknya sudah tak sabaran.
Pesta demokrasi Pilpres – Pileg 2024 telah terlewati. Kiranya Hak Angket bakal menyusul dan jadi bagian dari ‘naskah resmi’ pembubaran panitia Pesta Demokrasi ini.
Kiranya Prabowo – Gibran nantinya dapat memimpin, tanpa jalan sejarah penuh bengkoknya demi menuju Istana. Dengan pembuktian dan klarifikasi yang sahi..
Tentang para Presiden Republik tercinta, biarlah hanya Bapak Pembangunan, Soeharto, dengan keampuhan Supersemar-nya, yang amatlah misterius dan sakti itu, dan lalu dengan entengnya berlangkah untuk didaulat jadi penguasa Negeri.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro, Roma